Master Bercerita: Akibat dari Sikap Keras Kepala

Karena bertumbuh dalam lingkungan yang berbeda, setiap orang memiliki  tabiat yang berbeda-beda pula. Ada orang yang dipenuhi ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan. Ada pula orang yang keras kepala. Karena memiliki tabiat yang berbeda-beda, maka kita sulit untuk bersatu hati.

Pada zaman Buddha hidup, ada sebuah ajaran seperti ini. Di dalam kelompok Sangha, ada seorang Sangha yang sangat keras kepala dan selalu berbuat sesuka hati. Saat dia melakukan kekeliruan, anggota Sangha lain selalu mengingatkannya. Namun, dia selalu berpikir dirinya paling benar. Apa pun yang terjadi, dia enggan mengakui kesalahnnya. Karena khawatir sikap anggota Sangha ini akan mempengaruhi orang lain, Buddha lalu memanggilnya.

Buddha berkata padanya, "Pada salah satu kehidupan lalu, engkau adalah orang yang keras kepala. Akibat sikap keras kepala ini, engkau kehilangan nyawa. Di kehidupan ini, engkau kembali membawa tabiat ini." Anggota Sangha itu menjawab, "Yang Dijunjung, aku tahu karena sikap keras kepala ini, aku sulit berbaur dengan anggota Sangha lain. Aku juga sangat menderita karenanya. Apa yang terjadi padaku di kehidupan lalu?"


Buddha pun mulai bercerita. Dahulu, di Varanasi, India, ada seorang tetua. Istrinya melahirkan seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Anak itu tumbuh besar di lingkungan yang baik. Melihat banyaknya orang yang menderita, dia dipenuhi kontradiksi. Karena itu, dia berpikir untuk mendalami prinsip kebenaran. Dia pun meminta izin kepada kedua orang tuanya. Setelah itu, dia pergi ke wilayah pegunungan untuk mendalami prinsip kebenaran. Dia sangat tekun dan bersemangat.

Beberapa tahun kemudian, dia memperoleh pencerahan. Nama baiknya pun mulai tersebar. Banyak orang yang menaruh rasa hormat padanya. Saat ada sekelompok praktisi brahmana yang menyatakan ingin berguru padanya, dia juga menerimanya dengan sukacita. Suatu hari, seekor anak ular hijau yang berbisa masuk ke tempat mereka. Ular kecil itu sangat cantik. Ada seorang muridnya yang sangat menyukai ular itu. Dia lalu memelihara ular itu di dalam sebuah guci bambu.

Banyak praktisi lain berkata padanya, "Ular ini sangat berbisa. Janganlah memeliharanya. Lebih baik engkau melepaskannya." Praktisi ini berpikir, "Semakin kalian mengatakan bahwa ular ini berbisa dan memintaku melepaskannya, aku semakin enggan. Aku akan memelihara ular ini." Beberapa murid lain memberi tahu hal ini kepada guru mereka. Sang guru pun memanggilnya dan berkata, "Engkau jangan memelihara ular itu." Namun, dia tetap enggan mendengar nasihat.


Sang guru pun merasa tak berdaya terhadapnya, hanya bisa mengingatkannya untuk berhati-hati. Berselang tidak lama, sekelompok praktisi ini akan pergi memetik buah. Perjalanan itu membutuhkan waktu lebih kurang 3 hari. Praktisi itu membawa ular berbisa bersamanya.

Usai memetik buah, mereka kembali ke tempat tinggal mereka untuk menata buah-buah itu. Saat praktisi itu membuka gucinya untuk memberi makan kepada si ular, ular itu mengigit lengannya. Karena sudah kelaparan tiga hari, ular itu sangat marah sehingga mengigit lengannya. Dengan sangat cepat, bisa ular itu menjalar sehingga sang praktisi pun meninggal dunia. Saat mendengar kabar ini, sang guru sangat tidak berdaya dan merasa sangat sedih. Dia lalu meminta para muridnya untuk mengebumikannya.


Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada semua anggota Sangha di sana, termasuk yang keras kepala itu, "Tahukah engkau? Praktisi yang keras kepala itu adalah engkau yang sekarang. Meski berniat melatih diri dari kehidupan ke kehidupan, tetapi engkau memiliki tabiat buruk, yaitu sangat keras kepala dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Engkau sering menjalin jodoh buruk dengan orang lain. Engkau enggan mendengar nasihat orang lain. Dari kehidupan ke kehidupan, tabiat burukmu telah mencelakai diri sendiri dan meresahkan orang lain."

Setelah mendengarnya, anggota Sangha ini sangat malu dan bertobat. Buddha melanjutkan, "Engkau harus tahu bahwa saat kita memiliki tabiat buruk, maka noda batin akan ikut terbangkitkan sehingga kita merasa menderita. Engkau harus senantiasa bertobat dan mengikis noda batin. Kita harus berusaha mengendalikan pikiran buruk yang bergejolak. Jangan membiarkannya merajalela sehingga mendatangkan masalah dalam hubungan antarsesama." Jadi, noda batin bersumber dari hati dan harus kita lenyapkan sendiri.

Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -