Master Bercerita: Buah Karma si Pemilik Sapi


Kita harus senantiasa berintrospeksi diri dan menjaga pikiran kita. Kita harus tekun melatih diri dan senantiasa membina ketulusan dalam memperlakukan orang lain dan melakukan segala hal. Kita hendaknya memiliki hati yang tulus. Kita juga harus senantiasa waspada agar tidak membangkitkan ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan.

Karena itulah, dikatakan bahwa manusia adakalanya membunuh karena ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongan; adakalanya memelopori kejahatan untuk berbuat jahat, sehingga bersumpah, berikrar, dan berserapah untuk membunuh.

Sebersit pikiran yang menyimpang dapat menimbulkan serangkaian niat buruk. Niat untuk membunuh adalah niat buruk. Saat seseorang membunuh, berarti karma buruk telah diciptakan. Suatu karma yang tercipta pasti ada sebab dan kondisi pendukungnya. Jadi, sebab dari karma buruk adalah pikiran buruk.


Semua karma yang kita ciptakan berasal dari pikiran kita. Saat ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongan terbangkitkan, karma buruk akan tercipta.

Suatu ketika, ada seorang pria yang memelihara seekor sapi. Sapi itu sudah sangat gemuk dan besar serta siap untuk dijual.

Suatu hari, dia ingin membawa sapi itu ke pasar. Sapi itu tahu bahwa setelah dilelang, ia pasti akan dibawa ke rumah jagal. Karena itu, sekuat apa pun pemiliknya menariknya, ia enggan bergerak.


Pemiliknya bukan hanya menariknya dengan sekuat tenaga, tetapi juga memukulnya dengan kayu. Saat kayu itu patah, dia menggunakan pecut. Berhubung sangat sakit, sapi itu terpaksa mengikuti pemiliknya.

Saat memasuki kota, mereka melewati sebuah rumah orang kaya. Ada seorang pejabat yang kebetulan berjalan ke luar rumah. Melihat pejabat itu, sapi itu segera berlutut dan terus meneteskan air mata. Ia dengan tulus memohon pada pejabat itu untuk menyelamatkan nyawanya.


Pejabat itu sungguh tidak tega melihatnya. Dia lalu bertanya, "Ke mana engkau akan membawanya?"

Pemiliknya berkata, "Aku akan melelangnya untuk dijagal."

Pejabat itu pun berkata, "Berapa harga sapimu ini? Aku akan membelinya darimu."

Pemiliknya berkata, "Delapan ribu tahil perak."

Harganya sangatlah mahal, tetapi pejabat itu sungguh tidak tega. Dia berkata, "Baiklah, aku beli."


Namun, berhubung marah pada sapinya, timbul niat buruk dalam hati sang pemilik. Dia berkata, "Meski engkau menghargainya 3 kali lipat dari itu, aku tetap tidak akan menjualnya padamu. Aku harus menjagalnya sendiri. Aku akan memakan dagingnya dahulu, baru menjual yang tersisa." Tidak berdaya, sapi itu hanya bisa mengikuti pemiliknya.


Saat tiba di sebuah rumah kosong di tempat terpencil, pemilik sapi merasa bahwa tempat itu adalah tempat yang paling ideal untuk menjagal sapi dan memasak dagingnya.

Pada malam hari, dia pun menjagal sapi itu. Setelah menemukan tungku, dia pun mengumpulkan kayu bakar dan memasak daging sapi. Merasa sangat lelah, dia pun berbaring dan tidur.


Kala fajar menyingsing, dia merasa bahwa daging yang dimasak seharusnya sudah matang. Dia lalu berjalan menuju tungku. Dia menjulurkan kepala untuk memeriksanya.

Di rumah, sang istri merasa heran mengapa sudah hampir dua hari berlalu, suaminya belum pulang dari menjual sapi. Dia lalu menyusuri jalan untuk mencarinya.


Di sebuah desa, dia melihat genangan darah di depan sebuah rumah yang sudah ditinggalkan. Dia pun masuk ke rumah itu dan melihat suaminya yang bagian atas tubuhnya terendam di panci.

Di dalam air yang mendidih, daging sapi sudah empuk, bagian atas tubuh suaminya pun sudah empuk.

Dalam kisah ini, pria itu memelihara sapi demi dijual untuk dijagal. Ini sudah termasuk karma membunuh, apalagi timbul niat buruk untuk menjagal sapi itu sendiri.


Memelihara hewan untuk dijagal adalah karma buruk. Meski meminta orang lain yang menjagalnya, itu tetaplah karma buruk, apalagi dilakukan oleh diri sendiri. Bukankah ini disebabkan oleh ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongan? Itu hanya karena sebelumnya sapi itu enggan mengikutinya pergi.

Jadi, meski bertemu orang baik yang menawarkan harga tinggi untuk sapi itu, pemiliknya malah berniat untuk menjagalnya dan memakan dagingnya.


Keburukan seperti ini adalah keburukan berlapis yang menciptakan karma buruk besar. Besarnya karma buruk yang tercipta membuatnya langsung berbuah saat itu juga. Karena ketamakan, kebencian, kebodohan, dan kesombongannya, karma buruknya langsung berbuah.

Jika pria itu menjual sapinya, dia bisa mendapatkan uang sekaligus membiarkan sapi itu tetap hidup. Bukankah itu sangat baik? Hanya karena sapi itu enggan ikut dengannya, pria itu membangkitkan niat buruk untuk menjagalnya sendiri. Ini sungguh sangat jahat. Niat buruk manusia sungguh menakutkan.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari
Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -