Master Bercerita: Dua Setan Berebut Jenazah


Pikiran kita tidak boleh menyimpang sedikit pun. Saya sering berkata bahwa menyimpang sedikit saja, kita akan jauh tersesat. Jadi, pikiran sangatlah penting. Karakter dan kondisi batin kita bergantung pada pikiran kita. Jika pikiran kita menyimpang, menyelaraskannya bukanlah hal yang mudah. Jadi, kita harus menjaga pikiran kita. Begitu pikiran kita menyimpang, kita akan terjatuh dalam perangkap Mara.

Perlu kita ketahui bahwa dalam melatih diri, jika pikiran kita bergejolak, noda batin dan tentara Mara akan timbul, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Saat kita membangkitkan pikiran keliru, noda batin akan terus timbul, bagai ombak yang bergulung-gulung dan bergejolak di dalam hati kita.


Dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak memiliki pikiran benar, pengetahuan benar, pandangan benar, dan pemahaman benar, kita tidak akan bisa menyelamatkan diri sendiri, orang lain pun tidak bisa menyelamatkan kita. Jadi, dalam melatih diri, kita hendaklah bersungguh-sungguh menjaga pikiran kita.

Hari ini, saya akan menceritakan sebuah kisah tentang Yang Arya Revata. Secara harfiah, kata Revata berarti "perpaduan semu". Dalam Mahaprajnaparamita Sastra, terdapat sebuah kisah yang sangat menarik tentang Yang Arya Revata.


Sebelum menjadi murid Buddha, suatu hari, Yang Arya Revata pergi keluar. Saat langit gelap, dia menyadari bahwa tidak ada desa ataupun rumah di sekelilingnya, tetapi ada sebuah paviliun. Berhubung sudah berjalan sangat lama dan lelah, dia memutuskan untuk bermalam di paviliun itu. Jadi, dia menghamparkan jerami di lantai dan bersiap-siap untuk tidur.

Saat hampir tertidur, dia melihat satu setan menggendong satu jenazah ke dalam paviliun. Kemudian, satu setan lainnya berlari dengan cepat ke paviliun. Kedua setan itu memperebutkan jenazah itu.


Setan pertama berkata, "Aku yang menggendong jenazah ini ke sini."

Setan kedua berkata, "Namun, aku yang mendapatkannya dahulu." Setan kedua langsung mematahkan tangan dan kaki jenazah itu, lalu mulai memakannya.

Setan pertama berkata, "Engkau yang mendapatkannya dahulu, tetapi aku yang menggendongnya ke sini. Sulit untuk menentukan siapa yang berhak memilikinya."

Setan pertama enggan mengalah dan berkata, "Di sini ada satu orang. Dia melihat semuanya. Mari kita bertanya padanya. Biar dia yang menilai."


Revata yang hanya ingin beristirahat di paviliun itu malah melihat kedua setan itu berebut satu jenazah. Kini mereka malah memintanya untuk menilai. Apa yang harus dia katakan? Jika dia mendukung salah satu, yang lain pasti akan tersinggung. Jadi, bagaimana dia menjawabnya?

Kedua setan itu terus memintanya untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Bagaimanapun, pasti ada yang benar dan salah. Revata pun menjawab dengan jujur. Setan kedua sangat marah karena Revata mengatakan bahwa dia salah. Jadi, dia mematahkan kaki dan tangan Revata.

Melihat setan kedua mematahkan kaki dan tangan Revata, setan pertama pun mematahkan kaki dan tangan jenazah itu dan menjadikannya sebagai kaki dan tangan Revata. Tiba-tiba, Revata terbangun.


Dia memandang ke sekeliling paviliun, tetapi tidak melihat apa pun. Meski kaki dan tangannya dipatahkan di dalam mimpi, tetapi dia masih bisa berdiri dan berjalan. Kedua tangannya juga dalam kondisi baik. Akan tetapi, dia tidak paham makna dari mimpi tersebut. Dia berpikir, "Apakah anggota gerakku sekarang merupakan anggota gerakku yang semula?" Timbul tanda tanya besar dalam hatinya.

Dia bertanya pada setiap orang yang ditemui, "Lihatlah, siapa pemilik kaki dan tanganku ini?" Dia bertanya pada setiap orang.

Saat itu, ada sekelompok bhiksu yang kebetulan lewat. Dia segera menghampiri mereka dan bertanya pada mereka satu per satu, "Apakah kalian melihat tubuhku?"


Para bhiksu menjawab, "Ya, tubuhmu baik-baik saja."

Dia bertanya lagi, "Apakah ini sungguh kaki dan tanganku?"

Para bhiksu lalu bertanya, "Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Dia lalu menceritakan mimpinya kepada mereka.  Mendengar ceritanya, mereka merasa bahwa Revata bisa dibimbing. Jadi, mereka membabarkan Dharma untuknya.

Mereka berkata padanya, "Setiap orang merupakan darah daging orang tuanya. Tubuhmu diberikan oleh orang tuamu. Manusia mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati. Tubuh ini tidaklah kekal." Mendengar semua ini, Revata tiba-tiba tercerahkan. Dia menyadari bahwa tubuh ini hanyalah perpaduan semu. Tanda tanya dalam hatinya sudah terhapus.


Dalam Sutra Agama dikatakan, "Dalam bermeditasi dan memasuki samadhi dan menjaga pikiran agar tidak bergejolak, Revata adalah yang terunggul." Setelah mendengar penjelasan para bhiksu, Revata menyadari bahwa tubuhnya hanyalah perpaduan semu dan dia tidak perlu melekat padanya. Dia lalu mengikuti para bhiksu itu untuk menemui Buddha, menjadi murid Buddha, dan mulai melatih diri.

Dia bisa sangat fokus karena pengalamannya di paviliun itu. Jadi, bermeditasi di mana pun, dia bisa memusatkan pikiran tanpa terpengaruh oleh kondisi luar. Karena itulah, Buddha berkata bahwa Revata unggul dalam bermeditasi dan memasuki samadhi dan pikirannya tidak bergejolak.


Saudara sekalian, bukankah kita harus senantiasa bersungguh hati menjaga pikiran kita? Jika bisa berpikiran benar, kita dapat menghapus semua noda batin. Kita melatih diri demi menghapus noda batin yang menimbulkan berbagai tabiat buruk.

Tabiat buruk ini memengaruhi pandangan orang lain terhadap kita dan sama sekali tidak bermanfaat bagi kita. Jadi, kita sungguh harus senantiasa memperbaiki tabiat buruk kita. Terlebih, kita harus senantiasa membina pikiran benar. Saat pikiran kita benar, secara alami noda batin akan lenyap.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah         
Seulas senyuman mampu menenteramkan hati yang cemas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -