Master Bercerita: Kebijaksanaan Membimbing Orang

Dalam kehidupan sehari-hari, berbicara adalah hal yang mudah. Sesungguhnya, ada empat jenis kejahatan melalui ucapan, yakni berdusta, berkata-kata kosong, berlidah dua, dan berkata-kata kasar. Karena itu, kita harus waspada dalam berucap.

Berdusta berarti mengatakan hal yang tidak sesuai kenyataan atau menciptakan gosip. Tanpa mengetahui yang sebenarnya, mereka mengarang banyak cerita demi mencapai tujuan dan memperoleh kesenangan sesaat. Adakalanya, ini bisa membuat hati masyarakat menjadi tidak tenang.

 

Yang kedua ialah berkata-kata kosong. Meski tidak menyukai seseorang, tetapi demi mendapat keuntungan, mereka mengucapkan kata-kata manis. Mereka memujinya di hadapannya, tetapi menjelek-jelekkannya di belakang. Mereka berkata-kata kosong dan manis untuk menyenangkan hati orang lain agar bisa memperoleh keuntungan.

Yang ketiga ialah berlidah dua, yaitu mengadu domba dan menjelek-jelekkan orang lain. Ini tidaklah benar, apalagi berkata-kata kasar. Ini adalah kebiasaan buruk. Meski ingin bertutur kata baik, tetapi yang diucapkan malah kata-kata kasar karena sudah menjadi kebiasaan.

Ada orang yang berkata, "Saya tidak berniat buruk, hanya terbiasa." Orang lain juga menjelaskan, "Sesungguhnya, dia sangat baik, hanya lebih ceplas-ceplos dalam berbicara. Begitulah gaya bicaranya."

 

Setelah berkata-kata kasar, meski kita menjelaskan bahwa kita tidak berniat buruk, tetapi tetap telah meninggalkan kesan yang buruk bagi orang lain. Jadi, banyak hal yang harus dipelajari dalam berbicara. Kita harus bersungguh hati menjaga ucapan kita.

Untuk membimbing orang lain, kita harus menggunakan berbagai sikap dan cara berbicara. Adakalanya, kita harus berbicara dengan lantang dan tegas. Adakalanya, kita harus berbicara dengan lembut. Orang yang keras sangatlah banyak. Kita harus mempelajari cara berbicara dan metode untuk membimbing mereka.

 

Suatu kali, Buddha memimpin para anggota Sangha ke Magadha. Di sana, mereka menerima persembahan dari orang-orang. Lalu, mereka pergi ke sebuah hutan dan makan di sana.

Usai makan, Buddha berkata kepada para anggota Sangha, "Aku datang ke Magadha kali ini dengan dua tujuan. Yang pertama ialah meningkatkan keyakinan orang-orang terhadap Dharma agar mereka dapat memberi persembahan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha dengan rasa hormat yang lebih tinggi. Yang kedua ialah membimbing orang-orang di kerajaan tetangga Magadha. Orang-orang di sana tidak terdidik. Mereka sering berselisih dan berkelahi. Mereka tidak berprinsip dan tidak berbudaya. Aku ingin membimbing mereka."

Dengan percaya diri, Maudgalyayana berkata kepada Buddha, "Izinkan aku pergi membimbing mereka."

 

Saat tiba di kerajaan itu, Maudgalyayana melihat seorang pria membawa seekor ayam dan seorang wanita mengejarnya dengan membawa pisau dapur. Dia juga melihat dua anak muda berkelahi. Mereka heran melihat Maudgalyayana yang berjalan dengan penuh tata krama dan wajahnya yang tersenyum. Di kerajaan itu, tidak ada orang seperti itu.

Setelah memberi salam, Maudgalyayana berkata bahwa sikap mereka sangat kasar dan langsung menguraikan kesalahan mereka. Mendengarnya, orang-orang pun pergi.

Lalu, sebagian orang yang lebih kasar mendekatinya, mendorongnya, dan berkata, "Beginilah gaya hidup kami." "Apa yang salah?" Maudgalyayana diusir dari kerajaan itu. Lalu, dia kembali menemui Buddha.

 

Sariputra berkata kepada Buddha, "Yang Dijunjung, aku akan pergi ke sana." Sariputra pun berangkat ke kerajaan itu. Setelah tiba di sana, Sariputra berkata, "Hidup seperti ini sangat susah." "Kalian harus memperbaiki tabiat kalian." Akhirnya, sama seperti Maudgalyayana, Sariputra juga diusir dari kerajaan itu.

Dia pun pulang dan menceritakannya kepada Buddha. Buddha menggeleng-gelengkan kepala. Murid-murid utama-Nya telah pergi satu per satu, tetapi hasilnya tetap sama.

Buddha lalu meminta Bodhisatwa Manjusri untuk pergi ke sana. Dengan membawa misi, Bodhisatwa Manjusri pun pergi.


Melihat orang menangkap ikan, dia berkata, "Engkau sangat jago menangkap ikan." Melihat seorang pemburu sedang memanah, dia juga memujinya. Siapa pun yang ditemui, dia selalu memuji mereka.

Bodhisatwa Manjusri lalu menemui sang raja. Dia juga memuji sang raja, "Kerajaan Yang Mulia adalah kerajaan terkuat yang pernah aku kunjungi." "Ada begitu banyak ahli di berbagai bidang, ini berkat kebijaksanaan Yang Mulia." "Yang Mulia sangat hebat dalam memimpin."

Sang raja sangat gembira dan memerintahkan semua orang datang untuk mendengarkan ceramah Bodhisatwa Manjusri.

 

Rakyat pun berkumpul. Bodhisatwa Manjusri berbagi tentang banyak hal di seluruh dunia serta bagaimana orang-orang bekerja keras dan berjuang untuk meraih kesuksesan dan memperbaiki kehidupan mereka. Semua orang sangat gembira mendengarnya.

Bodhisatwa Manjusri lalu mengajak sang raja, menteri, dan rakyat untuk menemui Buddha. Dia telah menuntaskan misinya. Buddha pun mulai membabarkan Dharma.

 

Setelah mendengar Dharma, orang-orang meyakini, menerima, dan mempraktikkannya. Tentu saja, membimbing mereka membutuhkan waktu yang tidak singkat. Setelah memperoleh keyakinan orang-orang, Buddha pun pergi ke kerajaan itu untuk membimbing mereka. Perlahan-lahan, ajaran Buddha tersebar luas di sana. Jadi, dibutuhkan metode yang tepat.

 

Saat berniat untuk bersumbangsih, kita juga harus menggunakan metode yang tepat. Tutur kata yang lembut dan penuh cinta kasih dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan. Dengan demikian, barulah rakyat di kerajaan itu dapat harmonis, damai, dan bahagia. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh memahami hal ini.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah : Hendry, Karlena, Marlina, Stella (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras : Khusnul Khotimah
Sikap mulia yang paling sulit ditemukan pada seseorang adalah kesediaan memikul semua tanggung jawab dengan kekuatan yang ada.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -