Master Bercerita: Kebohongan Demi Nafsu Makan

Jika terlepas dari cinta kasih, maka kehidupan sehari-hari kita akan bagaikan salju di musim dingin. Namun, jika kita melekat pada ketamakan dan ego, maka ini bagaikan kobaran api di dalam tungku yang mudah melukai diri sendiri sekaligus merusak keharmonisan keluarga dan masyarakat. Kita harus mengembangkan cinta kasih universal yang bisa merangkul semua orang.

Cinta kasih universal ini bagaikan cahaya mentari di musim dingin yang mendatangkan kehangatan. Jika kita egois atau membangkitkan ketamakan, maka batin kita akan terbakar oleh api ketamakan. Ini akan berdampak bagi diri sendiri, keluarga, bahkan masyarakat.

Saya masih ingat tentang satu cerita rakyat. Ada sebuah keluarga yang beternak dan bertani di pegunungan. Kepala keluarganya sangat tekun dan hemat. Dia selalu berkata pada anak-anaknya bahwa hasil panen dan ternak hendaknya diusahakan untuk dijual, jangan dinikmati sendiri. Namun, seiring bertambahnya usia, dia mulai berpikir, "Saya memelihara begitu banyak kambing, tetapi tidak pernah makan daging."


Dia ingin mengonsumsi daging kambing. Namun, dia tidak memiliki alasan. Jika menjagal kambing tanpa alasan, dia bisa merusak prinsip yang diajarkan pada anak-anaknya. Dia khawatir anak-anaknya menjadi boros dan bergaya hidup mewah karenanya. Dia sangat gelisah. Suatu hari, saat sedang makan, dia tiba-tiba mendapat sebuah ide. Dia berkata pada istri dan anak-anaknya, "Tadi malam, saya bermimpi. Dalam mimpi saya, Dewa Pohon berkata pada saya bahwa hasil panen kita bisa berlimpah berkat bantuan Dewa Pohon." "Dewa Pohon berharap kita bisa menjagal seekor kambing setiap bulan sebagai persembahan."

Mendengar perkataannya, istri dan anak-anaknya merasa bahwa itu cukup masuk akal dan sudah seharusnya mereka berterima kasih kepada Dewa Pohon. Sejak saat itu, mereka menjagal seekor kambing setiap bulan. Beberapa tahun kemudian, dia menua dan sakit parah. Setiap kali memejamkan mata, dia seakan-akan melihat banyak kambing. Saat merintih karena kesakitan, rintihannya seperti suara embikan kambing. Di dalam hatinya, dia juga merasa bersalah karena telah membohongi keluarganya. Di tengah penderitaan seperti ini, dia meninggal dunia.


Suatu malam, putranya bermimpi tentangnya. Dia berkata, "Ayah telah membohongi kalian. Sekarang Ayah terlahir di alam binatang di luar kendali Ayah." Saat terbangun, sang putra menggeleng-gelengkan kepala dan berkata pada diri sendiri bahwa itu hanyalah mimpi. Suatu hari, saat dia mengeluarkan seekor kambing dari kandangnya untuk dijagal, kambing itu terus mengembik. Dia tidak tahu mengapa kambing itu terus mengembik.

Saat itu, seorang bhiksu kebetulan lewat. Melihat kambing ini terus melawan dan enggan berjalan maju, bhiksu itu berkata, "Ingatlah tentang kelahiran kembali. Kambing yang kamu bawa ini mungkin adalah ayahmu." Pemuda ini memperhatikan wajah kambing ini dan merasa bahwa ia mirip dengan ayahnya. Dia lalu merangkul kambing itu dan berkata, "Ayah. Ayah pasti sangat menderita."


Kita tidak tahu kambing ini merupakan ayahnya atau bukan. Namun, menjelang ajalnya, ayahnya sangat menyesali perbuatannya. Penyesalan pertama ialah kambing-kambing yang dijagal. Penyesalan kedua ialah kebohongannya. Dia membohongi istri dan anak-anaknya bahwa mereka perlu memberi persembahan kepada Dewa Pohon. Dia menjadikannya sebagai alasan untuk menjagal kambing setiap bulan. Inilah yang paling disesalinya.

Demi nafsu makan sesaat, dia mengarang cerita untuk membohongi keluarganya dan menjagal banyak hewan. Di dalam hatinya, dia sangat menyesal. Jadi, terkadang ketamakan dapat menimbulkan tragedi bagi keluarga, bahkan seluruh masyarakat. Secara individual, mungkin akan menimbulkan penyesalan. Jadi, kita sungguh harus lebih bersungguh hati dalam keseharian.


Kita harus senantiasa menjaga pikiran kita dengan baik agar pikiran kita selalu tenang dan jernih. Jangan biarkan nafsu keinginan sesaat menodai pikiran kita. Jadi, kita harus lebih bersungguh hati.

Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -