Master Bercerita: Kemalangan Seorang Wanita

Kita harus membina keyakinan dan keteguhan serta sungguh-sungguh memahami kebenaran tentang ketidakkekalan hidup. Adakalanya, kita merasa bahwa kehidupan kita penuh harapan. Namun, segala kondisi bisa berubah dalam sekejap. Keberuntungan dan kemalangan hanya dibatasi oleh sebuah garis halus. Dalam Sutra terdapat sebuah kisah.

Ada sebuah keluarga bahagia yang terdiri atas pasangan suami istri dan dua anak. Sang istri sedang mengandung dan sudah hampir melahirkan. Berdasarkan tradisi mereka, sang istri harus melahirkan di rumah orang tuanya. Karena itu, dengan kereta lembu, keluarga ini berangkat ke rumah orang tua sang istri dengan penuh sukacita.

 

Pada hari ketiga, mereka berhenti di bawah pohon besar dan berencana untuk makan siang di sana. Mereka juga melepas lembu mereka untuk mencari air dan rumput sendiri. Tiba-tiba, lembu itu melenguh panjang dan tumbang.


Sang suami lekas menghampirinya dan melihat bahwa ada seekor ular yang melilit kaki lembu itu. Dia lalu mengambil sebatang kayu untuk memukul ular itu. Namun, ular itu berbalik dan dengan cepat melilit tubuh dan lehernya hingga dia tumbang.

 

Melihat suaminya tewas, sang istri sangat sedih. Namun, demi anak-anaknya, dia harus melanjutkan perjalanan.

Pada malam hari, dia merangkul kedua anaknya erat-erat dan menangis tersedu-sedu. Hingga fajar menyingsing, dia kembali membangkitkan semangat untuk melanjutkan perjalanan dengan satu tangan menggandeng satu anak. Mereka terus berjalan hingga ke tepi sungai.

Berhubung sungai itu terlihat dangkal, dia pun menyeberanginya bersama kedua anaknya. Saat tiba di tengah sungai, dasar sungai tiba-tiba menurun tajam. Arus sungai sangat deras. Kedua anaknya hilang terbawa arus. Akhirnya, dia kehilangan kesadaran.


Setelah sadar, dia meraba perutnya dan mendapati bahwa anak dalam kandungannya sudah tiada. Dia kehilangan semua harapan dan akhirnya menjadi gila.

Semua orang tahu bahwa wanita itu tinggal di desa tersebut. Namun, berhubung dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, tidak ada yang bisa menolongnya.

 

Saat itu, seorang murid Buddha keluar untuk mengumpulkan makanan dan mendengar warga desa membicarakan wanita itu. Dia merasa kasihan pada wanita itu, tetapi tidak bisa mendekatinya karena wanita itu telanjang. Bhiksu itu juga tidak berdaya.

Saat melihat bhiksu itu, wanita itu dengan sendirinya mengikutinya hingga ke depan vihara. Buddha lalu menyuruh para bhiksu untuk lekas mengambil sehelai selimut guna menutupi tubuh wanita itu. Tiba-tiba, wanita itu menangis pilu. Dia menangis sangat lama.

Saat dia kembali mengangkat kepalanya, kondisi mentalnya sudah stabil. Dia bertanya kepada Buddha mengapa dia tiba-tiba mengalami pukulan sebesar itu.

Setelah mendengar kisahnya, Buddha berkata bahwa kehidupan memang tidak kekal, bagai gelembung air yang bisa pecah kapan pun. Kehidupan memang penuh penderitaan. Buddha lalu membabarkan Dharma bagi wanita itu.

Hati wanita itu perlahan-lahan tenang. Pada saat itu juga, dia menyadari kebenaran.


Pada zaman Buddha hidup, ketidakkekalan dan penderitaan terjadi di mana-mana. Begitu pula dengan zaman sekarang.

Saya masih ingat di rumah sakit kita, seorang relawan memberi tahu saya tentang kasus sebuah keluarga. Keluarga ini juga terdiri atas empat orang. Sang suami mengemudikan mobil untuk membawa istri dan anaknya ke Hualien guna menghadiri pemakaman ibu mertuanya. Saat sampai di Xikou, tiba-tiba terjadi kecelakaan lalu lintas. Sang suami dan istrinya meninggal di tempat, satu anak mengalami patah tulang, dan anak lainnya mengalami kebocoran limpa. Keduanya mengalami luka serius dan dilarikan ke rumah sakit kita.

Kini kedua anak ini sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Bukankah kisah yang kita dengar sekarang sangat mirip dengan kisah pada zaman Buddha hidup itu? Sangat mirip.

Keluarga yang terdiri atas empat orang ini juga naik mobil dengan gembira. Kisah pada zaman dahulu naik kereta lembu, sedangkan kisah zaman sekarang naik mobil. Sang suami yang naik kereta lembu tewas karena ular, sedangkan pasangan suami istri dalam mobil tewas karena tabrakan.

Sebelum insiden terjadi, bukankah mereka sangat bahagia? Insiden yang terjadi dalam sekejap membuat mereka menjadi tidak bahagia. Jadi, bahagia dan tidak bahagia hanya dibatasi oleh sebuah garis halus. Sungguh, kehidupan tidaklah kekal.

Setiap orang menaruh harapan akan masa depan, tetapi di dunia ini, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Kapan harapan akan hancur, tidak ada yang tahu. Jadi, yang terpenting ialah menggenggam saat ini. Apa pun yang seharusnya atau ingin kita lakukan, kita harus segera melakukannya. Dengan demikian, barulah kehidupan kita akan penuh harapan.

Janganlah hanya berfokus pada harapan yang terlalu jauh. Asalkan sudah menentukan target, kita harus menggenggam waktu untuk mewujudkannya. Karena itulah, saya sering berkata bahwa kita harus menggenggam waktu yang ada dan mempertahankan tekad hingga selamanya. Ikrar dan tekad yang baik harus sungguh-sungguh kita pertahankan. Jika tidak, kehancuran atau ketidakkekalan bisa datang dalam sekejap. Jadi, jangan membelenggu diri sendiri dengan terlalu banyak kerisauan.

Mempertahankan tekad saat ini dan menggenggam waktu yang ada, inilah yang terpenting.


Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah : Hendry, Karlena, Marlina, Stella (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras : Khusnul Khotimah

Keindahan sifat manusia terletak pada ketulusan hatinya; kemuliaan sifat manusia terletak pada kejujurannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -