Master Bercerita: Khayalan si Miskin


Banyak penderitaan di dunia. Ketidakkekalan ada dalam keseharian kita. Tiada satu orang pun yang benar-benar mengetahui apa yang akan terjadi pada momen berikutnya. Segalanya sulit diprediksi. Meski kehidupan ini tidak kekal, tetapi kita selalu berharap dan menganggap segalanya kekal. Jika kita semua dapat mencari jalan pelatihan diri dan menjaga pikiran sendiri dengan baik agar kita bisa kembali pada hakikat yang murni pada saat ini juga, maka inilah yang abadi.

Saya sering berkata bahwa kita harus menggenggam saat ini dan mempertahankan niat baik yang timbul seketika. Meski niat baik itu hanya muncul seketika, niat inilah yang harus kita pertahankan selamanya.


Bodhisatwa sekalian, momen saat kita benar-benar tercerahkan, itulah yang ingin kita capai. Sebagai makhluk awam, kita tidak luput dari perbuatan buruk lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Kita juga tak luput dari kesalahan lewat enam indra ataupun pemikiran sesat yang timbul dari pikiran yang tercemar. Kita mungkin juga melekat pada kondisi luar. Tanpa disadari, kita semua menciptakan karma buruk. Kita tidak sadar akan semua ini. Kita barangkali melakukan ini. Artinya, kita tidak sengaja atau tidak menyadarinya.


Tubuh, ucapan, dan pikiran kita tanpa sadar menanam benih sebab. Kini kita harus menuai akibatnya. Karena kita yang menciptakan karma buruk ini, akibatnya pun akan kita terima. Karena itu, pada masa kini kita bertemu berbagai masalah.

Di masa lalu kita mungkin menjalin jodoh buruk atau menanam benih yang tidak baik. Buah atau akibatnya bisa muncul pada saat ini. Jadi, kita harus berintrospeksi atas masa lalu, masa kini, bahkan masa depan; juga atas pemikiran salah yang timbul akibat pikiran yang tercemar. Masa lalu dan masa depan tidaklah nyata. Yang paling penting ialah menggenggam niat saat ini. Inilah yang paling nyata. Namun, kita sering kali lupa akan masa kini.


Kita sering memikirkan apa yang dilakukan orang terhadap kita di masa lalu atau memikirkan bagaimana membalasnya di masa depan. Kita malah lupa untuk menggenggam niat baik saat ini. Jadi, pikiran yang tercemar atau pikiran kacau seperti ini jangan terus kita simpan di dalam batin sehingga kita sibuk memikirkan masa lalu dan masa depan, lalu kehilangan masa kini. Kita tidak boleh kehilangan masa kini.

Ada seseorang yang sangat kekurangan. Sebagai yatim piatu, sejak kecil dia berjuang untuk bertahan hidup. Untuk menghidupi diri sendiri, dia pun kesulitan. Setiap hari dia harus mendaki gunung untuk mengambil kayu bakar dan memikulnya ke kota untuk dijual dan ditukar dengan beras.


Suatu hari, dia berangkat lebih awal dan menebang kayu sedikit lebih banyak dari biasanya. Kayu-kayu itu sangat berat. Dia mengangkatnya sampai ke kota dengan susah payah dan menukarkannya dengan sekarung benih padi. Dia memikul karung itu dan pulang dengan sukacita. Dia ingin membuat rencana bagi masa depannya. Dia ingin menanam padi di depan rumahnya.

Setibanya dia di rumah, hari sudah senja. Dia harus menunggu esok hari untuk mulai bercocok tanam. Namun, di mana sekarung benih itu harus disimpan? Dia takut benihnya dicuri orang atau dimakan tikus. Apa yang harus dia lakukan? Dia merasa tidak tenang. Lalu, dia melihat di rumahnya ada balok penyangga. Dia berpikir itulah tempat yang paling aman. Jadi, dia mengikat karung itu dengan tali, lalu menggantungkannya pada balok tersebut dengan sangat kuat. Dia merasa tenang, lalu berbaring sambil mengawasi karung itu.


Sambil terus melihat karung benih itu, dia berpikir, “Besok aku akan mulai bercocok tanam. Aku harus mencabuti rumput di lahan itu sampai bersih, lalu menaburkan benih di sana. Setiap hari aku akan mencabuti rumput liar. Beberapa hari kemudian, aku akan melihat tunas padi mulai tumbuh. Saat padi sudah berisi, aku bisa memanennya. Aku akan memiliki banyak benih. Benih-benih itu akan aku tanam kembali di lahan yang lebih luas. Jika aku menanam semua benih yang kumiliki, wah, lahan sawahku akan sangat luas. Aku akan terus giat bercocok tanam. Suatu hari, padi akan menguning dan aku akan memanen hasil yang berlimpah. Saat itu aku akan memiliki lumbung yang besar, yang bisa menyimpan begitu banyak benih. Aku akan menjualnya, lalu membangun rumah. Kemudian, aku akan menikah. Tak lama kemudian, istriku akan mengandung. Aku akan membangun keluarga yang bahagia. Tak lama kemudian, istriku akan melahirkan seorang bayi yang gemuk dan putih. Aku akan memberinya nama. Apa nama yang akan kuberikan?”


Dia terus memikirkan nama yang ingin dia berikan nanti. Kebetulan, atap rumahnya berlubang sehingga dia bisa melihat cahaya bulan dari sana. Bulan di malam itu sangat indah. Dia berpikir, “Bulan adalah nama yang bagus. Ya, itulah nama yang akan kuberikan.”

Saat dia mengkhayal demikian, tak disangka tali pengikat karung itu digigit tikus hingga putus sehingga karungnya jatuh tepat menimpa kepalanya. Orang ini pun tak pernah sadarkan diri lagi. Jadi, jangan biarkan pikiran mengembara dengan liar. Setiap saat kita harus menjaga pikiran kita ini.


Pikiran kita ini bisa menyatu dengan hati Buddha. Untuk itu, kita harus memiliki pikiran yang hening. Jangan ada pikiran pengganggu dalam batin kita. Masa lalu dan masa depan adalah pikiran pengganggu yang semu. Jadi, kita harus berfokus pada pikiran saat ini. Dengan begitu, kita akan bebas dari pikiran pengganggu.

Kita hendaknya bersama-sama berlatih sepenuh hati untuk memiliki hati Buddha. Kita memiliki tekad yang sama, yakni membentangkan jalan bagi dunia. Kita membentangkan jalan ini dengan cinta kasih. Inilah Jalan Bodhisatwa yang lapang dan rata.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari
Orang yang memahami cinta kasih dan rasa syukur akan memiliki hubungan terbaik dengan sesamanya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -