Master Bercerita: Kisah Gadis dan Selimut Putih


Kita hendaknya sungguh-sungguh menjaga pikiran kita hingga sangat tenang dan hening, senantiasa berada dalam samadhi. Yang dimaksud dengan samadhi bukan hanya melakukan meditasi duduk. Saat kita minum, makan, berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, semuanya merupakan bagian dari samadhi. Bahkan, dengan mengangkat tangan saja, kita bisa merasa sukacita.

Noda batin kita berasal dari pikiran keliru. Saat mendengar Dharma, kita merasa sukacita. Namun, saat menghadapi hal yang tidak kita sukai atau mendengar rumor dari orang yang memiliki jalinan jodoh buruk dengan kita, pikiran kita kembali bergejolak. Saat kita bersentuhan dengan kondisi luar, semua warna, aroma, cita rasa, dan sentuhan juga dapat membuat kita membangkitkan pikiran buruk. Jika pikiran kita bisa senantiasa berada dalam samadhi, secara alami kita akan tetap tenang, hening, dan damai saat menghadapi kondisi luar.


Menghadapi kondisi seperti apa pun, pikiran kita tidak akan bergejolak, bagai air yang tenang tanpa riak sedikit pun. Namun, jika konsentrasi kita kurang dan tidak bisa mempertahankan pikiran dalam samadhi, sebutir pasir yang jatuh ke dalam air saja bisa membuat pikiran kita bergejolak. Karena itu, kita harus tenang.

Kita hendaknya menjalani hari demi hari dan menghadapi semua orang, hal, dan materi di dunia dengan hati yang jernih bagaikan cermin dan tenang bagaikan air. Inilah pelatihan diri. Hidup di dunia ini, adakah orang di sekeliling kita yang tidak memiliki noda batin? Tidak ada. Saat mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan, apakah kita merasa risau? Ya. Apakah kita merasa marah? Ya.


Sebagai makhluk awam yang mempelajari ajaran Buddha, saat mendengar sesuatu yang tidak benar, kita heran mengapa ada orang yang berbuat demikian dan berkata bahwa itu tidak benar. Apakah kita merasa marah karenanya? Kita menyebutnya tidak benar karena merasa marah. Bagaimana kita melatih ketenangan?

Apa pun yang terjadi, kita hendaknya bersikap pengertian dan membiarkannya berlalu. Dengan demikian, kita tidak akan membangkitkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan. Setidaknya, kita harus berusaha untuk meredam api kemarahan dan menenangkan pikiran. Segala sesuatu yang telah berlalu biarkanlah berlalu. Untuk apa bersikap perhitungan? Dengan tidak bersikap perhitungan, secara alami kita dapat tetap tenang dan damai.

Ada sepasang suami istri yang hanya memiliki seorang putri tunggal. Saat putri mereka lahir, tiba-tiba bertiup angin yang mendatangkan sehelai selimut yang putih, lembut, dan indah. Karena itu, dia diberi nama yang berarti putih bersih. Yang menakjubkan ialah seiring pertumbuhannya, selimut ini turut membesar.


Sejak kecil hingga dewasa, pikirannya selalu sangat tenang dan damai. Dia sangat polos, patuh, pintar, dan bijaksana. Dia tidak tertarik pada materi apa pun. Saat dia memasuki usia nikah, ada banyak kerabat raja ataupun kerabat tetua yang datang untuk melamarnya. Namun, dia sama sekali tidak tertarik.

Suatu hari, dia berkata kepada orang tuanya, "Tidak perlu mengkhawatirkanku. Harapanku ialah meninggalkan keduniawian." Berhubung merupakan umat Buddha yang taat, orang tuanya merasa bahwa itu merupakan hal baik. Jadi, mereka dengan sukacita menyetujuinya.

Mereka lalu mengantar putri mereka ke hadapan Buddha dan berkata, "Putri kami ingin meninggalkan keduniawian." Dengan sukacita, Buddha berkata, "Aku menyambut kedatanganmu. Cukurlah rambutmu." Setelah itu, Buddha berkata, "Bergabunglah dengan komunitas bhiksuni Mahaprajapati dan berlatihlah dengan sungguh-sungguh." Dalam waktu singkat, dia langsung mencapai tingkat Arhat.


Suatu hari, Ananda bertanya kepada Buddha, "Mengapa bisa demikian? Apakah jalinan jodoh di kehidupan lampau yang membuatnya bisa meninggalkan keduniawian dan mencapai tingkat Arhat dengan lancar di kehidupan ini?”

Buddha lalu menceritakan bahwa dahulu, ada sepasang suami istri yang sangat miskin dan tidak memiliki apa-apa, bahkan pakaian pun tidak punya. Mereka hanya memiliki sehelai selimut compang-camping. Mereka keluar untuk mengemis dengan melilitkan selimut tersebut pada tubuh mereka. Saat satu orang keluar, yang lainnya akan menutupi tubuh mereka dengan jerami.


Suatu hari, sang istri melilitkan selimut di tubuhnya dan pergi untuk mengemis. Kebetulan, dia bertemu dengan seorang bhiksu. Dia berkata, "Bagaimana aku bisa berdana jika aku tidak memiliki apa-apa?" Bhiksu itu lalu menjelaskan sebab kemiskinan padanya dan berkata, "Engkau hendaknya segera mendengar ajaran Buddha."

Setelah pulang ke rumah, dia berkata pada suaminya, "Bolehkah aku mempersembahkan selimut ini kepada Buddha?" Suaminya berkata, "Kita mengandalkan selimut ini untuk pergi mengemis secara bergilir. Kita tidak memiliki apa-apa. Bagaimana kita bisa berdana?"

Sang istri berkata, "Kita bertahan hidup dengan mengemis. Suatu hari nanti, kita tetap akan mati. Lebih baik kita menggenggam jalinan jodoh untuk berdana." Suaminya akhirnya menyetujuinya.


Setelah menerima selimut tersebut, bhiksu itu membawanya ke hadapan Buddha. Buddha menerimanya sambil tersenyum. Buddha sangat sukacita. Raja dan para menteri heran mengapa Buddha terlihat begitu sukacita, bagai menerima persembahan yang sangat berharga. Buddha lalu berkata, "Selimut ini merupakan seluruh kekayaan mereka. Mereka mempersembahkannya dengan ketulusan penuh, inilah yang paling membuat-Ku merasa sukacita."

Bercerita sampai di sini, Buddha berkata, "Sang istri yang mempersembahkan selimut itu adalah kehidupan lampau bhiksuni ini. Dengan pikiran yang murni, dia bertekad untuk melatih diri. Di kehidupan sekarang, dia bertemu dengan-Ku serta dapat mendengar dan menerima ajaran-Ku. Karena itulah, dia bisa dengan cepat mencapai tingkat Arhat."


Lihat, inilah salah satu contoh. Kita semua mempelajari Dharma. Setelah mendengar Dharma, kita harus membina keseimbangan batin dan keikhlasan. Kita harus bisa melepas nafsu keinginan terhadap materi. Sejak masa tanpa awal, kita terlahir dengan membawa kegelapan batin dan terus menciptakan noda batin.

Sesungguhnya, pada dasarnya, hakikat kita sama dengan Buddha. Hakikat sejati kita tidak jauh dari kita dan tidaklah sulit untuk memasuki pintu kebijaksanaan. Asalkan kita mengubah pola pikir, Buddha akan ada dalam hati kita dan Dharma akan ada dalam tindakan kita.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)
Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -