Master Bercerita: Lima Pahala Menyapu


Saya sering berkata bahwa kita melatih diri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam segala sesuatu terdapat pelajaran yang bisa dipetik. Contohnya sekelompok relawan Tzu Chi yang kembali dari tempat yang jauh dan beberapa hari ini bekerja bersama para bhiksuni di Griya Jing Si.

Saat berbagi pengalaman, mereka berkata bahwa dapat kembali ke Griya Jing Si dan bekerja bersama para bhiksuni, mereka merasa sangat terinspirasi. Melihat para bhiksuni Griya Jing Si menggenggam waktu untuk bersumbangsih, timbul rasa hormat dan haru dalam hati mereka. Para bhiksuni Griya Jing Si adalah teladan mereka. Mereka berintrospeksi atas penggunaan waktu mereka.


Melihat para bhiksuni Griya Jing Si menggenggam waktu yang ada untuk melakukan hal yang bermanfaat, para relawan kita pun terinspirasi untuk lebih bersungguh-sungguh membawa manfaat bagi masyarakat, menerapkan semangat dan filosofi Tzu Chi dalam kehidupan sehari-hari, serta menyebarluaskan semangat Tzu Chi agar dipahami oleh lebih banyak orang. Inilah pelatihan diri dalam kehidupan sehari-hari.

Vihara Jetavana dibangun oleh Anathapindada dan Pangeran Jeta untuk Buddha. Saat Buddha membabarkan Dharma di Vihara Jetavana, Anathapindada setiap hari menyapu halaman dan lingkungan sekitar vihara.

Suatu pagi, Anathapindada memiliki urusan lain sehingga tidak datang untuk menyapu. Saat melakukan meditasi berjalan di luar, Buddha melihat halaman yang penuh dedaunan. Buddha pun berniat untuk mencari sapu. Begitu Buddha membangkitkan niat ini, Dewa Sakra pun mengetahui bahwa Buddha hendak menyapu.

Dewa Sakra juga mengambil sapu untuk menyapu halaman tersebut. Melihat Buddha menyapu, Kasyapa, Sariputra, dan Maudgalyayana juga segera mengambil sapu untuk menyapu. Saat murid-murid lain melihat Kasyapa, Sariputra, dan Maudgalyayana menyapu bersama Buddha, mereka juga segera mengambil sapu untuk menyapu.


Usai menyapu, Buddha berkata, "Ada lima pahala dari menyapu. Pertama, dapat menyucikan hati diri sendiri. Saat menyapu, kita juga menyucikan batin diri sendiri. Kedua, jika ada orang yang datang ke sini, melihat lingkungan yang bersih, hati mereka juga akan dipenuhi sukacita. Ketiga, bahkan para dewa pun akan membangkitkan sukacita dan memberikan pujian. Keempat, jika kita sungguh-sungguh merapikan dan membersihkan lingkungan, kita dapat menanam benih penampilan yang agung di kehidupan mendatang. Kelima, setelah meninggal dunia, kita akan terlahir di alam dewa. Lingkungan di alam dewa sangatlah bersih. Inilah lima pahala menyapu."


Saat Buddha menjelaskan hal ini, Anathapindada telah menyelesaikan kesibukannya dan bergegas pergi ke Vihara Jetavana. Saat tiba di sana dan melihat lingkungan sekitar vihara begitu bersih, hati Anathapindada dipenuhi sukacita. Namun, saat tahu bahwa Buddha dan murid-murid-Nya yang telah menyapu, Anathapindada tidak berani masuk ke dalam.

Saat melihatnya, Buddha sengaja bertanya, "Siapa di luar?" Murid Buddha menoleh dan berkata, "Anathapindada tidak berani masuk ke dalam."

Buddha lalu berseru, "Masuklah. Biasanya engkau yang menyapu lingkungan sekitar vihara. Hari ini kami semua bersungguh hati menyapu dan bersama-sama memperoleh pahala. Jika engkau senantiasa menghormati Buddha, Dharma, dan Sangha, masuklah dengan tenang." Anathapindada pun masuk ke dalam dengan tulus.


Buddha berkata, "Anathapindada membangun Vihara Jetavana dengan hati yang tulus. Dia tidak merasa bahwa dia adalah seorang pemberi. Dia berpegang pada kekosongan tiga aspek dana. Dengan sepenuh hati, dia datang untuk melatih diri dan menyapu setiap hari. Karena itu, kita hendaknya memujinya." Setelah Buddha berkata demikian, Dewa Sakra juga memuji Anathapindada.

Anathapindada bersumbangsih dengan berpegang pada kekosongan tiga aspek dana. Setiap hari, Anathapindada memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha dengan menyapu lingkungan sekitar vihara. Melayani Buddha dan Sangha merupakan perbuatan terpuji. Ini merupakan salah satu cara memberi persembahan. Contohnya yang dilakukan oleh Anathapindada.


Buddha juga mengajari murid-murid-Nya untuk menggenggam kesempatan guna melakukan praktik nyata. Buddha mengajari murid-murid-Nya bahwa lingkungan merupakan tanggung jawab bersama dan setiap orang hendaknya bersungguh hati membersihkannya.

Pelajaran kehidupan sehari-hari seperti ini membuat mereka dapat memahami kebijaksanaan dan keluhuran Buddha. Dengan mendekatkan diri dengan Buddha, kita dapat memahami hati Buddha dan sering mendengar ajaran Buddha. Setiap orang hendaklah memahami dan menyerap Dharma ke dalam hati.


Dalam melatih diri, kita harus senantiasa berkonsentrasi. Pikiran kita menentukan perilaku kita dan menyatu dengan hati kita. Dengan adanya konsentrasi, memikul kayu bakar dan air, menyapu, berkebun, dan memasak, semuanya termasuk melatih diri. Kita hendaknya melakukan segala sesuatu dengan tekad pelatihan yang teguh dan membawa manfaat bagi masyarakat dengan sepenuh hati dan tekad. Inilah pelatihan diri dalam kehidupan sehari-hari.

Pelatihan diri merupakan proses yang sangat panjang. Untuk menghasilkan emas murni, dibutuhkan penempaan secara terus-menerus. Semua orang memiliki hakikat sejati yang murni. Asalkan kita bersabar, bersungguh hati, dan membina pikiran baik, suatu hari nanti, kita juga bisa mencapai kebuddhaan.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Kebahagiaan berasal dari kegembiraan yang dirasakan oleh hati, bukan dari kenikmatan yang dirasakan oleh jasmani.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -