Master Bercerita: Melatih Kesabaran dan Melenyapkan Kebencian


Agar hidup damai dan bahagia di dunia ini, satu-satunya cara ialah merelakan. Di dunia ini, terdapat banyak hal yang kompleks. Setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda-beda. Memiliki pandangan yang sama dalam suatu hal tidaklah mudah. Jika tidak bisa mencapai kesepakatan, tentu hati kita akan merasa tidak senang.

Tanpa kesatuan dan keharmonisan, bagaimana bisa kita dipenuhi sukacita? Jika segala sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan, bagaimana bisa kita merasa damai? Jadi, dalam memandang segala hal dan memperlakukan sesama, kita harus melapangkan hati kita. Demikianlah hendaknya kita memperlakukan sesama. Bagaimana melapangkan hati dan memurnikan pikiran? Kita harus memiliki pikiran yang sederhana, sabar, serta tekun dan bersemangat melatih diri.


Saat melatih diri, kita harus bisa mengalah jika dengan demikian dapat membimbing orang lain. Jika orang lain benar, kita harus menghormati mereka. Jika mereka salah, kita harus bersungguh hati dan melapangkan hati untuk membimbing mereka. Inilah yang harus kita pelajari. Jika sesama manusia dapat saling mengalah dan saling membimbing, tentu semua orang akan dipenuhi sukacita.

Suatu hari, setelah mengumpulkan makanan, Buddha berjalan ke dalam hutan dan duduk untuk makan. Seusai makan, Beliau duduk bermeditasi sejenak. Saat bermeditasi, Beliau mendengar suara orang-orang berselisih di vihara. Beliau bersungguh hati mendengarkannya. Ternyata, para anggota Sangha tengah membahas siapa yang pernah melakukan kesalahan atau melanggar sila dalam kehidupan sehari-hari.


Di tengah pembahasan itu, disebutkan bahwa ada bhiksu yang pernah melakukan kesalahan. Seorang bhiksu dengan ringan berkata bahwa pada suatu hari, saat dia tengah menjalankan tugasnya, ada seorang bhiksu yang melewatinya sambil bertutur kata buruk sehingga membuatnya sangat tidak nyaman hingga kini.

Mendengar ucapannya, bhiksu yang disebutkan itu dengan lantang berkata, "Kapan aku bertutur kata buruk padamu?" Dia pun mengucapkan serangkaian kata-kata buruk. Bhiksu tadi tidak merespons dan berpikir, "Aku harus bersabar, aku harus bersabar." Namun, bhiksu yang berbicara dengan lantang tetap enggan berhenti dan para bhiksu yang membahas hal ini bersama pun tidak berani bersuara.


Buddha lalu menyimpan mangkuk-Nya dan berjalan kaki kembali ke vihara. Setelah tiba di vihara, Buddha duduk dan bertanya, "Apa yang terjadi? Aku sepertinya mendengar suara yang sangat bising. Sesungguhnya, apa yang terjadi?" Semua orang menatap satu sama lain. Bhiksu yang bertutur kata buruk pun tak berani bersuara. Lalu, seorang bhiksu menjelaskan apa yang terjadi.

Setelah mendengar penjelasannya, Buddha menghela napas dan berkata, "Jalinan jodoh dengan orang-orang di dunia ini menimbulkan noda dalam batin kita. Akumulasi noda batin inilah yang mendatangkan penderitaan. Kalian telah melatih diri. Mengapa tidak bisa menghindari pertikaian dan harus berselisih seperti ini?"

Seorang bhiksu lainnya berkata kepada Buddha, "Bhiksu yang bertutur kata buruk kemudian menyadari bahwa dirinya salah dan meminta maaf kepada bhiksu kedua. Namun, bhiksu tersebut tidak dapat memaafkannya."


Buddha lalu berkata, "Di alam Surga Trayastrimsa, Dewa Sakra berbagi sebuah perumpamaan dengan para dewa. Sebuah lentera dinyalakan demi membawa kecemerlangan bagi sekitarnya. Agar bisa menyala, lentera ini membutuhkan minyak. Ada seseorang yang mengambil minyak dengan gayung. Dia semula hendak menambahkan minyak, tetapi karena terlalu dekat dengan api, gayung tersebut malah terbakar dan tangannya ikut terbakar. Kita semua tengah melatih diri. Untuk apa terus mengungkit hal yang telah berlalu? Saat mendengar kesalahan kita di masa lalu, kita juga hendaknya tidak mencari alasan. Keduanya salah. Namun, bhiksu yang bertutur kata buruk telah berintrospeksi dan menyatakan pertobatannya, sedangkan bhiksu lainnya hanya diam dan tak merespons. Jika seseorang telah datang ke hadapan kita dan menunjukkan penyesalannya, kita hendaknya memaafkannya. Mengapa engkau enggan memaafkannya?"


Mendengar penjelasan Buddha, bhiksu yang enggan memaafkan berpikir, "Benar. Bertutur kata buruk adalah kebiasaan buruk. Jika enggan berubah, itu adalah masalahnya. Aku telah lama menyimpan kerisauan ini di dalam hati dan kembali mengungkit hal ini sekarang sehingga menimbulkan perselisihan. Aku mengerti sekarang dan menerima permintaan maafnya."

Demikianlah perselisihan ini terselesaikan. Bukankah manusia zaman sekarang juga seperti ini? Masa lalu biarkanlah berlalu. Mengapa saat melihat orang yang tidak kita sukai, kita masih membangkitkan rasa dendam dan benci, merasa tidak senang, dan enggan berinteraksi dengan mereka? Ini membuat kita merasa tidak damai. Ini bagaikan menyalakan api untuk membakar batin kita sendiri. Demikianlah orang yang tidak memiliki kesabaran.


Orang yang tidak berpikir terlebih dahulu saat menghadapi masalah akan sulit menjaga pikiran mereka dan mudah membangkitkan kebencian dan kemarahan. Kedua bhiksu dalam kisah tadi telah lengah dalam pelatihan diri mereka. Jika bersungguh hati dalam keseharian, mereka hendaknya segera memperbaiki tabiat buruk mereka di masa lalu. Namun, mereka terus menyimpan noda batin. Inilah yang disebut tabiat.

Menyimpan noda batin dan tidak bersungguh hati berarti tidak tekun dan bersemangat melatih diri. Berhubung tidak memahami kebenaran di dunia, mereka sering membangkitkan kegelapan batin. Mereka berdua sama.


Kedua bhiksu yang merupakan anggota Sangha pada zaman Buddha pun bisa seperti ini. Pikirkanlah, apakah kita juga pernah demikian? Jika pernah, kita harus segera menenangkan pikiran kita dan lebih bersukacita. Dengan hati yang lapang dan pikiran yang murni, kita akan merasa tenang dan bahagia. Jika bisa demikian, kita akan memiliki kondisi batin yang hening dan menakjubkan.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Felicia (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Orang yang mau mengaku salah dan memperbaikinya dengan rendah hati, akan mampu meningkatkan kebijaksanaannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -