Master Bercerita: Pedagang Bunga


Saat menghadapi kondisi luar dalam keseharian, kita merasa senang atau tidak senang? Setiap hari, dalam menghadapi semua orang dan hal, kita harus terlebih dahulu menyelaraskan pikiran kita. Pertama-tama, saat bertemu dengan seseorang, kita hendaklah membangkitkan sukacita; saat mendengar tentang suatu hal, kita hendaklah membangkitkan tekad agung. Janganlah kita merasa risau atau kesal.

Dengan hati yang penuh sukacita, semua orang akan terlihat baik. Dengan hati yang damai, segala hal akan terlihat baik. Jadi, baik atau buruknya jalinan jodoh, orang, dan hal yang kita temui bergantung pada pikiran kita. Intinya, baik atau buruk ditentukan oleh pikiran kita.

Dengan hati penuh sukacita, segala sesuatu akan terlihat baik. Rasa sukacita ini juga akan mendatangkan kondisi yang baik. Namun, jika hati kita tidak senang, kita akan merasa kesal saat melihat orang lain. Jika kita memiliki pikiran seperti ini, apakah hal-hal yang kita hadapi akan membuat kita merasa gembira? Tidak. Jadi, kita harus senantiasa ingat bahwa baik atau buruknya sesuatu bergantung pada pikiran kita.

Segala sesuatu dipelopori oleh pikiran. Dengan pikiran yang baik, kita akan bertemu hal yang baik.


Suatu hari, ada seorang petani bunga yang memetik sedikit bunga, lalu membawanya ke pasar untuk dijual. Seorang pria penganut ajaran luar menghampiri stannya dan menanyakan harga bunganya. Kemudian, Tetua Sudatta datang dan berkata, "Aku akan membeli dengan harga yang sama."

Pria itu lalu berkata, "Aku bisa membayar lebih. Biar aku yang membelinya."

Tetua Sudatta berkata, "Aku bisa bayar dua kali lipat."


Pria itu berkata, "Aku melihatnya terlebih dahulu. Aku juga bisa membayar lebih mahal darimu."

Tetua Sudatta berkata, "Aku membutuhkannya. Mengalahlah padaku."

Berhubung mereka berebut untuk membeli bunganya, pedagang bunga itu pun bertanya, "Mengapa kalian begitu membutuhkan bunga ini?"

Pria itu berkata, "Aku ingin memuja langit dan memohon berkah hari ini."

Tetua Sudatta berkata, "Aku ingin mempersembahkan bunga kepada Buddha sebagai wujud rasa hormat terhadap Buddha."


Pedagang bunga itu pun bertanya, "Siapa Buddha? Mengapa engkau begitu menghormati-Nya?"

Tetua Sudatta pun berkata, "Beliau telah memahami seluruh kebenaran alam semesta dan membimbing orang-orang ke arah yang benar sehingga yang tersesat dapat tersadarkan."

Pedagang bunga itu mengenal Tetua Sudatta dan tahu bahwa dia adalah orang yang berkarakter mulia. Pedagang itu lalu berkata, "Apakah aku berkesempatan untuk bertemu dengan Buddha?"

Tetua Sudatta berkata, "Aku bisa membawamu untuk bertemu dengan Buddha."

Pedagang bunga itu segera mengambil bunganya dan berkata, "Bunga ini tidak dijual. Aku akan mempersembahkannya kepada Buddha."


Dia pun mengikuti Tetua Sudatta pergi ke Vihara Jetavana. Saat melihat Buddha dari jauh, timbul sukacita di dalam hati pedagang bunga itu. Setelah tiba di hadapan Buddha, Tetua Sudatta bersujud kepada Buddha. Begitu pula dengan pedagang bunga itu.

Saat memejamkan mata, dia bagai melihat kelopak bunga berjatuhan di sekeliling Buddha. Hatinya dipenuhi sukacita dan berada dalam kondisi yang murni dan cemerlang. Buddha tersenyum padanya dan dia mempersembahkan bunganya kepada Buddha. Buddha menerimanya dengan sukacita dan bertanya padanya, "Apakah engkau memiliki harapan?"

Dia berkata kepada Buddha, "Aku hanya berharap kelak, aku bisa melatih diri seperti Buddha dan menjangkau orang-orang yang belum yakin kepada ajaran Buddha untuk membimbing mereka berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Jika ada orang yang menderita dan orang sakit yang tidak mendapat pengobatan, aku berharap bisa menolong mereka. Jika ada orang yang terbelenggu oleh noda batin, aku berharap bisa menjadi sandaran mereka dan membebaskan mereka dari belenggu noda batin. Jika bisa memiliki kesempatan seperti ini di kehidupan mendatang, aku sudah berpuas diri." Buddha sangat gembira karena demikianlah petapa yang sesungguhnya.


Pedagang bunga berterima kasih kepada Tetua Sudatta dan berkata, "Aku yakin kelak, aku juga bisa membimbing orang yang tak terhingga seperti dirimu." Semua orang di sana sangat terkejut dan heran mengapa dia memiliki berkah sebesar itu.

Buddha lalu berkata, "Dia telah melatih diri dengan tekun selama berkalpa-kalpa yang tak terhingga. Aku meramal bahwa dia juga akan menjadi Buddha kelak." Jadi, bertemu jalinan jodoh baik dan mitra bajik tidaklah sulit.

Lihatlah pedagang bunga itu. Meski orang-orang menawarkan harga tinggi untuk membeli bunganya, tetapi dia tahu apa yang harus dia lakukan agar dia memiliki kesempatan untuk melatih diri. Jadi, dia tidak tamak akan uang, melainkan menghargai bimbingan mitra bajik seperti Tetua Sudatta. Karena itulah, dia bisa mempersembahkan bunganya kepada Buddha.


Berhubung memiliki mitra bajik seperti Tetua Sudatta, dia dapat menggenggam kesempatan untuk mengembangkan potensi kebajikannya. Saya sering berkata bahwa kita harus menggenggam waktu yang ada dan mempertahankan tekad hingga selamanya.

Pencapaian kita dari waktu ke waktu berawal dari tekad yang kita bangkitkan. Jika kita bisa mempertahankan tekad, kita bisa selamanya berbuat baik dan membawa manfaat bagi masyarakat. Jadi, dalam menghadapi semua orang dan hal, kita harus senantiasa menentukan pilihan yang tepat serta memiliki rasa sukacita dan syukur.

Saat hubungan manusia harmonis, segala sesuatu akan berjalan sesuai keinginan. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh menggenggam setiap waktu dan kesempatan.


Lewat kisah pada zaman Buddha tadi, kita bisa memahami bahwa kebajikan harus segera dilakukan. Setiap orang yang kita temui adalah mitra bajik kita yang dapat membimbing kita. Kisah ini juga mengingatkan kita untuk selalu menggenggam jalinan jodoh.

Buddha membabarkan Dharma dengan metode terampil sesuai kondisi setiap orang. Semua ajaran Buddha memiliki kekuatan untuk mendukung pencapaian semua makhluk dan membuat mereka merasakan sukacita saat menerimanya.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -