Master Bercerita: Raja dan Juru Masak


Manusia selalu tersesat saat pikiran buruk terbangkitkan. Orang yang tenggelam dalam ketamakan, kebencian, kebodohan, nafsu seksual, dan sebagainya bagaikan berjalan melawan angin dengan membawa sebuah obor. Begitu angin bertiup, tangan kita akan terbakar oleh kobaran api. Orang-orang pada umumnya sudah mengetahui hal ini. Dengan perumpamaan sesederhana inilah, Buddha mengajari kita. Ini adalah pengetahuan umum. Kita hendaknya mengetahuinya. Ini juga mengingatkan kita untuk menjaga perilaku kita.

Berhubung telah terlahir di dunia ini, kita harus menjadi orang yang baik. Ini adalah jalinan jodoh. Karena itu, kita harus meluruskan pikiran kita dan berpegang pada ajaran Buddha untuk mencapai tataran kesucian. Inilah yang diajarkan oleh Buddha.


Lebih dari dua ribu tahun lalu, Buddha selalu membimbing orang-orang dengan hal-hal yang terjadi di dunia dan pengetahuan umum dalam kehidupan sehari-hari. Bisakah kita memahami kebenaran mendalam yang ingin diajarkan oleh Buddha kepada kita lewat hal-hal yang terjadi?

Ada seorang raja yang percaya pada ritual memohon berkah dari langit. Setiap bulan, ratusan ekor kambing, babi, sapi, dan hewan lainnya disembelih sebagai persembahan untuk langit. Pada hari sembahyang, juga ada wanita jelita. Sang raja bersyukur kepada langit dengan mempersembahkan minuman keras dan wanita jelita sebagai hiburan. Jadi, setiap hari, juru masak harus menyembelih banyak hewan. Juru masak ini sudah lanjut usia dan tidak mampu bekerja. Karena itu, istana mulai mencari juru masak baru.


Ada seorang pemuda yang merupakan umat Buddha yang menjalankan sila dan praktik murni. Dia ingin meninggalkan keduniawian. Namun, orang tuanya telah lanjut usia sehingga dia harus menghidupi mereka. Berhubung harus mencari uang, dia pun melamar pekerjaan sebagai juru masak tersebut.

Melihat hewan-hewan dikorbankan setiap hari dan para wanita dijadikan hiburan, pemuda itu merasa bahwa dia tidak dapat menjalankan tugas sebagai juru masak. Pengurus dapur dengan tegas berkata, "Engkau memang direkrut sebagai juru masak. Mengapa setelah masuk ke istana, engkau belum juga menjalankan tugasmu?" Pemuda itu berkata, "Aku adalah praktisi Buddhis yang menjalankan praktik murni. Aku tidak bisa menyembelih hewan."


Pengurus dapur lalu melaporkannya kepada raja. Raja sangat murka dan menyuruh pemuda itu menghadapnya. Raja berkata, "Jika engkau tidak menjalankan tugasmu, aku akan memberimu hukuman mati." Pemuda itu menjawab, "Aku lebih rela dihukum mati daripada harus membunuh makhluk hidup lain." Mendengar ucapannya, sang raja berkata, "Aku akan memberimu waktu tujuh hari untuk memikirkannya. Jika engkau masih bersikeras, tubuhmu akan diinjak oleh seratus ekor gajah. Jika setelah itu engkau masih hidup, aku juga akan meyakini ajaran Buddha."

Sejak kecil, pemuda itu sangat menyayangi hewan dan sering bermain bersama kawanan gajah. Selama tujuh hari itu, hatinya sangat tenang. Tujuh hari kemudian, seratus ekor gajah telah menantinya. Pemuda itu dibawa ke lapangan dan ditengkurapkan di sana. Kawanan gajah terus mendekatinya.


Dia lalu mengangkat kepala dan kedua tangannya, bagai menyapa kawanan gajah. Gajah-gajah itu berhenti di hadapannya. Lalu, mereka mengenalinya. Dengan belalai mengarah ke langit, para gajah mengerik. Kemudian, mereka berlutut seakan-akan memberi penghormatan kepada pemuda itu.

Melihat kejadian ini, sang raja merasa sangat takjub dan heran. Raja yang sangat menyesal memanggil pemuda itu dan berkata, "Bagaimana cara engkau menaklukkan kawanan gajah?" Pemuda itu berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa. Sejak aku kecil, orang tuaku mengajariku untuk menyayangi semua makhluk. Aku ingin meninggalkan keduniawian, tetapi kini orang tuaku telah lanjut usia sehingga harapanku tidak dapat terkabul. Yang Mulia, ampunilah aku."

Raja lalu berkata, "Aku akan mengabulkan harapanmu dan menghidupi orang tuamu." Akhirnya, harapan pemuda itu terkabul dan dia benar-benar meninggalkan keduniawian. Kemudian, ajaran Buddha berkembang pesat di negeri ini.


Kisah ini terjadi seratus tahun setelah Buddha wafat. Dari sini, bisa diketahui bahwa dengan menjaga sila dan menjalankan ajaran, jalan kita akan menjadi sangat lapang. Orang yang menjalani pelatihan nonduniawi dapat melatih samadhi. Jadi, kita harus menjalani pelatihan nonduniawi.

Dunia Saha ini penuh dengan penderitaan yang tak terkira. Karena itu, kita harus mengubah dunia ini. Semoga di masa mendatang, dunia kita bisa seperti tanah Buddha Dharmaprabhasa yang sangat murni dan setiap orang dapat mempelajari Dharma dalam keseharian serta menumbuhkan jiwa kebijaksanaan.


Berhubung melatih samadhi, kita dapat menumbuhkan jiwa kebijaksanaan sendiri. Kita terus mempelajari Dharma dan menjadikannya sebagai santapan spiritual untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan kita. Untuk itu, kita harus menyerap banyak Dharma.

Contohnya pemuda dalam kisah tadi. Dia lebih memilih mati dan terlahir di alam surga daripada membunuh banyak hewan demi menyelamatkan nyawa sendiri, tetapi terlahir di alam neraka dan mengalami penderitaan selama berkalpa-kalpa yang tak terhingga. Dia sungguh bijaksana. Dia telah menyerap Dharma untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaannya. Jadi, kita harus menumbuhkan jiwa kebijaksanaan sendiri.


Kita menghayati Dharma agar jiwa kebijaksanaan kita bertumbuh. Tujuan kita melatih diri ialah membina pikiran yang murni dan terbebas dari noda batin. Dengan demikian, kita akan perlahan-lahan menuju Jalan Bodhi yang murni, lapang, dan lurus. Ini bergantung pada kita berfokus melatih diri atau tidak. Jadi, kita harus lebih bersungguh hati dalam mempraktikkan sila, samadhi, dan kebijaksanaan.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)
Jika selalu mempunyai keinginan untuk belajar, maka setiap waktu dan tempat adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -