Master Bercerita: Tujuh Hari Seribu Paku


Buddha datang ke dunia ini dan memberi bimbingan dengan berbagai metode dengan harapan setiap orang dapat menerima ajaran Buddha. Ajaran Buddha dapat membangkitkan kebijaksanaan, cinta kasih, dan welas asih kita. Mempraktikkan Dharma dalam keseharian, inilah tujuan kita mempelajari Dharma. Jadi, kita hendaklah mempraktikkan kebijaksanaan, cinta kasih, dan welas asih.

Buddha mengajari kita agar kita dapat mempraktikkan kebijaksanaan, cinta kasih, dan welas asih. Inilah yang ingin Buddha ajarkan pada kita. Ini tidaklah sulit dan bisa dilakukan asalkan kita bersungguh hati. Dengan keyakinan, kita secara alami dapat menyucikan hati dan menghapus noda batin. Buddha terus membabarkan Dharma dengan harapan kita dapat membuka hati; mempraktikkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan; serta menghapus noda batin. Dengan demikian, barulah kita dapat menyucikan hati. Ini sangatlah penting. Karena itu, kita harus sangat bersungguh hati.


Dahulu, dalam melatih diri, para Buddha harus tahan menghadapi berbagai ujian fisik dan batin, baru bisa membangkitkan kekuatan tekad dan ikrar agung. Saat berada di Rajgir, Buddha juga menceritakan sebuah kisah tentang menahan penderitaan demi menyelamatkan semua makhluk. Ada seorang raja yang memimpin rakyatnya dengan cinta kasih, bagai ayah yang mengasihi anak-anaknya, sehingga rakyat sangat menjunjungnya. Raja itu berharap rakyatnya dapat menghadapi usia tua, penyakit, dan kematian dengan tenang.

Suatu hari, dia berkata kepada menterinya, "Aku ingin mendalami Dharma untuk membantu rakyat memahami kelahiran kembali agar mereka dapat menghadapi usia tua, penyakit, dan kematian dengan tenang. Untuk itu, aku rela mengorbankan segalanya." Raja itu pun mengeluarkan sebuah pengumuman. Melihat pengumuman ini, semua orang sangat tersentuh.


Seorang petapa berjalan ke depan pengumuman dan berkata, "Aku bisa membabarkan Dharma untuk Yang Mulia." Mendengar kabar ini, raja itu secara langsung menyambutnya ke istana dan bersujud di hadapannya. Raja itu berkata, "Asalkan engkau bisa menjelaskan kebenaran tentang kelahiran kembali padaku, aku akan mengabulkan semua permintaanmu."

Petapa itu berkata, "Yang Mulia bisa mengabulkan semua permintaanku?" Raja menjawab, "Tentu saja." Petapa itu pun berkata, "Apakah Yang Mulia tahu betapa aku bekerja keras demi memahami kelahiran kembali?" Raja itu berkata, "Bagaimana agar engkau bisa memercayai ketulusanku?" Petapa itu berkata, "Apakah Yang Mulia bisa mengabulkan satu permintaanku? Jika Yang Mulia bersedia ditancapi seribu batang paku, aku akan memberi tahu Yang Mulia."


Raja itu berpikir, "Asalkan seluruh rakyatku dapat memahami kebenaran tentang kelahiran kembali, meski harus mengorbankan nyawa, aku pun rela." Jadi, raja itu berkata, "Baiklah, tetapi engkau harus memberitahuku dahulu tentang kebenaran itu. Jadi, sebelum mengembuskan napas terakhir, aku bisa mendengar kebenaran itu." Petapa itu berkata, "Berhubung Yang Mulia telah membulatkan tekad, aku akan memberi tahu Yang Mulia. Kehidupan tidaklah kekal dan segala materi pada hakikatnya ialah kosong. Hanya Dharma yang selamanya ada di dalam hati, tidak timbul dan tidak lenyap."


Petapa itu berhenti sampai di sini dan berkata, "Jika aku memberitahukan semuanya, Yang Mulia mungkin akan tidak rela ditancapi paku. Setelah Yang Mulia mengabulkan permintaanku, aku akan memberi tahu Yang Mulia tentang lanjutan Gatha tadi." Mendengar bahwa kehidupan tidak kekal serta Dharma tidak timbul dan tidak lenyap, raja itu sangat gembira. Namun, bagaimana agar bisa mencapai tingkatan tidak timbul dan tidak lenyap? Demi mempelajari lanjutan Gatha tersebut, raja itu berkata, "Baik, aku akan langsung mengabulkan permintaanmu."

Selama tujuh hari, petapa itu dilayani dengan penuh hormat di istana, sedangkan sang Menteri memalu sebatang demi sebatang paku ke tubuh raja itu hingga seribu batang. Rakyat merasa sangat tidak sampai hati. Raja pun berkata, "Yang aku inginkan ialah kedamaian abadi bagi kalian semua."


Raja itu menerima setiap batang paku dengan penuh sukacita. Setelah merasakan penderitaan, dia mengubahnya menjadi kebahagiaan serta merasa damai dan tenang.

Pada hari ketujuh, Sakra, raja para dewa, pun tersentuh. Dewa Sakra bertanya, "Untuk apa engkau berbuat demikian? Apakah engkau tidak menyesal?" Raja menjawab, "Aku bukan hanya tidak menyesal, bahkan dipenuhi sukacita. Jika aku menggunakan hati tertulus untuk menunjukkan sukacitaku, setelah hari ketujuh ini, tubuhku akan pulih dengan sendirinya."


Setelah raja itu berkata demikian, paku-paku yang menancap di tubuhnya tiba-tiba terlepas dan jatuh. Di tubuhnya pun tidak ada bekas luka. Rakyat dan Dewa Sakra sangat tersentuh. Buddha lalu berkata, "Raja ini adalah salah satu kehidupan lampau-Ku. Agar orang-orang dapat menghadapi hidup dan mati dengan tenang, Aku mengorbankan diri dengan sukarela dan penuh sukacita."

Buddha sungguh mempraktikkan kebijaksanaan dan cinta kasih demi membangkitkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan semua orang. Karena itu, kita hendaknya sepenuh hati mempelajari Dharma, seperti raja yang rela ditancapi seribu batang paku agar rakyatnya dapat memahami kebenaran tentang kelahiran kembali. Meski setiap batang paku mendatangkan rasa sakit baginya, tetapi dia merasa damai dan tenang.


Bisakah kita melakukan hal yang sama? Bisa, jika kita membangun tekad. Contohnya kita, apakah bersumbangsih melelahkan? Kita merasa bahagia dan bersyukur. Sebagian orang mungkin tidak bisa membayangkannya, tetapi kita yang terlibat langsung memang merasa demikian. Jadi, ini sangatlah berharga.

Pencapaian kita setelah bersumbangsih sangatlah berharga. Inilah tujuan pelatihan diri kita. Meski Dharma tidak berwujud, tetapi saya berharap kita dapat menyerapnya ke dalam hati dan mempraktikkannya. Untuk itu, kita harus lebih bersungguh hati setiap waktu.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah         
Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -