Mater Bercerita: Katyayana dan Nenek Miskin


Setiap hari, saya mengulas tentang noda batin. Karena noda batin, penderitaan sulit diakhiri. Dunia Saha ini adalah dunia yang penuh penderitaan. Intinya, banyaknya penderitaan berasal dari noda batin. Karena itu, dalam keseharian, kita harus menaklukkan noda batin.

Saat menghadapi kondisi luar, kita hendaknya waspada agar tidak membangkitkan ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan. Kita harus senantiasa menaklukkannya. Untuk itu, kita harus berpegang pada sila. Kita harus menggunakan sila untuk menaklukkan noda batin kita agar noda batin kita tidak terbangkitkan. Jika noda batin tidak terbangkitkan, kita tidak akan diliputi kerisauan. Jadi, pikiran kita harus tetap murni, barulah kita dapat mengamati sifat hakiki segala materi.


Saat kita memperhatikan sikap orang lain, orang lain juga memperhatikan sikap kita. Mungkin ada orang yang akan berkata bahwa kita sangat picik, dingin, dan sebagainya. Ini karena dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin menyinggung mereka tanpa sengaja sehingga membuat mereka membenci kita.

Di kehidupan sekarang, kita tidak tahu bahwa mereka telah banyak membicarakan kejelekan kita di belakang kita dan tidak senang pada kita. Jika demikian, di kehidupan mendatang, kita tidak akan memiliki jalinan jodoh baik dengan mereka.


Buddha juga sering menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan bahwa Beliau tidak bisa membimbing mereka yang tidak memiliki jalinan jodoh dengan-Nya karena Beliau pernah menyinggung mereka tanpa sengaja dan membangkitkan kebencian mereka.

Katyayana telah bersungguh hati melatih diri dalam jangka panjang. Pada zaman Buddha, Katyayana penuh welas asih. Dia melatih diri dengan bertapa dan menjalankan praktik murni. Dia sering mengumpulkan makanan dari orang kurang mampu.


Suatu hari, Katyayana pergi untuk mengumpulkan makanan. Saat melewati tepi sungai, dia melihat seorang nenek yang duduk di sana dan menangis. Dia lalu mendekati nenek itu dan berkata, "Nenek, mengapa engkau menangis hingga begitu memilukan di sini?"

Nenek itu berkata, "Seumur hidup, aku sangat menderita. Sejak kecil, aku mengikuti orang tuaku bekerja di rumah seorang tetua. Setelah orang tuaku meninggal dunia, aku tetap bekerja sebagai pelayan di rumah tetua ini. Tetua ini sangat kejam terhadap pelayan. Seumur hidupku, memperoleh sehelai pakaian saja sangat sulit bagiku. Aku harus berulang kali menambal pakaianku yang telah sobek. Selain itu, aku juga harus memakan makanan yang kotor dan basi. Hidupku sangat menderita sehingga aku tidak ingin hidup lagi."


Katyayana dengan lembut berkata, "Nenek, hidupmu menderita sekali. Mengapa engkau tidak menjual kemiskinanmu?" Mendengar ucapannya, nenek itu mendongak untuk menatap Katyayana dan berkata, "Bagaimana bisa kemiskinan dijual? Siapa yang mau membeli kemiskinan?"

Katyayana berkata, "Engkau bisa menjualnya padaku." Nenek itu berkata, "Kemiskinan tidaklah berwujud. Bagaimana aku menjualnya padamu?"

Katyayana berkata, "Apa yang engkau bawa?" Nenek itu berkata, "Sebuah kendi. Aku hendak menggunakannya untuk mengambil air."


Katyayana berkata, "Aku sangat haus sekarang. Mangkukku kosong. Engkau bisa mengambil air dan mempersembahkannya padaku. Engkau berkesempatan untuk menciptakan berkah. Engkau tidak miskin."

Nenek itu berkata, "Dengan mengambil air dan mempersembahkannya padamu, aku dapat menciptakan berkah?" Katyayana berkata, "Benar." Nenek itu pun segera menggunakan kendi untuk mengambil air.

Katyayana berkata, "Mengertilah bahwa dunia memang penuh penderitaan. Engkau hendaknya sanggup menanggung penderitaan di kehidupan sekarang. Dengan senantiasa mengingat Dharma di dalam hati, memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha, dan menolong sesama, engkau bisa menjadi orang yang kaya batin. Demikianlah cara engkau menjual kemiskinan." Demikianlah nenek itu menjual kemiskinannya.


Setelah pulang, dia terus mengingat Dharma di dalam hati dan memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha dengan air setiap hari. Suatu hari, setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, dia duduk dan meninggal dunia dengan damai. Nenek itu lalu terlahir di alam surga. Dia bisa terlahir di alam surga berkat bimbingan Katyayana. Demikianlah Katyayana melatih diri di dalam Sangha.

Beliau membimbing orang dengan Dharma begitu ada kesempatan dan jalinan jodoh. Jadi, dalam pelatihan dirinya, Katyayana bukan hanya memutus dan menaklukkan noda batin, tetapi juga menggunakan kebijaksanaan dan kefasihannya untuk berbagi Dharma dengan orang yang ditemui. Contohnya nenek tersebut. Beliau menenangkan hati nenek itu sehingga dia dapat bersabar hidup di tengah kemiskinan dan menggenggam kesempatan untuk memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha. Dengan demikian, batinnya pun menjadi murni.


Dalam mempelajari ajaran Buddha, kita pun demikian. Daripada berharap terlahir di alam surga, yang terpenting, kita hendaknya membina ketenangan, kesabaran, dan keteguhan tekad, barulah kita bisa memperoleh kebijaksanaan yang dapat memahami segala kebenaran di dunia ini dan membangkitkan hakikat sejati kita. Ini sangatlah penting.  

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)
Orang yang mau mengaku salah dan memperbaikinya dengan rendah hati, akan mampu meningkatkan kebijaksanaannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -