Pelatihan Diri Surata

Dalam melatih diri, kita harus tahan terhadap kerja keras dan derita. Meski harus sangat bekerja keras, kita tetap harus tahan dan giat bersumbangsih. Jangan karena melihat betapa susahnya melatih diri, lantas kita merasa takut dan tidak berani bersumbangsih. Kita jangan demikian.

Apa yang dimaksud melatih diri? Melatih diri berarti menahan yang sulit untuk ditahan. Kita harus tahan terhadap cobaan tanpa berkeluh kesah. Inilah praktisi yang sesungguhnya.

Di dalam Sutra ada sebuah kisah seperti ini. Ada suatu masa di Negeri Sravasti, ajaran Buddha sangat berjaya. Baik raja, menteri, maupun orang berada, semuanya sangat tulus memberi persembahan dan mendengar Dharma. Di antaranya ada seorang pria miskin yang bernama Surata.

Ketulusannya terhadap ajaran Buddha melebihi siapa pun. Meski dia sendiri hidup kekurangan, tetapi dia sangat gemar membantu sesama. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membantu orang yang hidup sebatang kara, orang yang menderita penyakit dan kurang mampu. Dia mendapat pujian dari banyak orang.

doc tzu chi indonesia

Dia sering bermeditasi. Dia sering duduk di antara kelompok Sangha untuk mendengar Dharma. Dewa Sakra merasa jika Surata terus menghimpun karma baik, maka kelak posisinya akan tergantikan oleh Surata. Karena itu, dia mengutus sekelompok tentara Mara.

Saat itu Surata sedang bermeditasi, Sekelompok tentara Mara terus memarahinya. Akan tetapi, Surata tidak memedulikan mereka. Dewa Sakra kembali mengurus tentara Mara yang membawa pedang, tombak, dan senjata lainnya untuk membunuh dan memukul Surata. Akan tetapi, Surata tetap diam dan bergeming.

Dewa Sakra lalu menjelma sebagai manusia untuk mendekati Surata. Dewa Sakra mempersembahkan banyak emas, lalu berkata, "Jika kamu menerimanya, maka seumur hidup ini, kamu bisa hidup tanpa kekurangan. “Saya sudah sangat berpuas diri. Saya tak merasa saya hidup kekurangan,” jawab Surata.

Dewa Sakra bertanya, "Bagaimana jika ada banyak orang yang ingin memukul dan membunuhmu seperti tadi, apa yang akan kamu lakukan?"

"Saya akan bersabar."

"Bagaimana jika ada orang melukaimu dengan senjata?"

"Saya juga harus bersabar. Yang saya khawatirkan adalah mereka harus menuai buah karma buruk akibat perbuatan sendiri."

"Apa yang kamu inginkan dari pelatihan dirimu?"

"Saya tidak meminta apa-apa. Saya hanya berharap semua makhluk di dunia dapat terbebas dari penderitaan dan memperoleh kebahagiaan."

Mendengarnya, Dewa Sakra kembali bertanya, "Bagaimana jika kamu menjadi Dewa Sakra?"

"Seperti yang saya katakan, saya tak meminta apa-apa. Saya hanya ingin menapaki Jalan Bodhisatwa yang ditunjukkan Buddha." Dewa Sakra merasa tenang, lalu meninggalkan tempat itu.

 doc tzu chi indonesia

Surata hidup di zaman Buddha. Sesungguhnya, di masa sekarang, kita juga sering melihat orang seperti ini. Banyak orang yang meski hidup kekurangan, tetapi tetap berusaha untuk membantu sesama. Selain ingin membantu sesama, di tengah kehidupan serba sulit, mereka tetap membangkitkan ketulusan untuk mendengar Dharma setiap hari.

Meski tidak hidup berada, tetapi mereka sangat bekerja keras dan bersedia bersumbangsih untuk membantu orang lain. Contohnya Surata yang merupakan murid Buddha pada masa itu. Meski hidup kekurangan, tetapi beliau memiliki harapan yang sama seperti Buddha, yakni berharap semua makhluk yang menderita dapat terbebas dari penderitaan.

Surata memiliki hati yang setara dengan Buddha. Karena itu, Buddha sangat memuji umat perumah tangga yang hidup sangat kekurangan ini. Buddha berbagi kisah ini dengan banyak orang tentang bagaimana Surata meneguhkan tekad untuk melatih diri. Meski hidup serba kekurangan, tetapi Surata sangat gemar membantu sesama.

Dia rela kelaparan demi memberi makanan kepada orang lain. Inilah kebajikannya dalam melatih diri. Dalam mendalami Dharma, Buddha berharap kita dapat menapaki Jalan Bodhisatwa dan terjun ke tengah umat manusia tanpa takut bekerja keras.


doc tzu chi indonesia

Kita harus menstabilkan pikiran. Contohnya Surata yang hidup kekurangan. Meski hidup kekurangan, tetapi Surata memiliki tekad yang teguh dan hati penuh cinta kasih untuk bersumbangsih di tengah umat manusia. Dia dihormati oleh banyak orang. Bukan berarti harus menjadi orang berada baru dihormati orang-orang.

Meski hidup kekurangan, tetapi dia dihormati oleh banyak orang. Buddha juga sangat memujinya. Jadi, jika kita takut bekerja keras, dan menderita, bagaimana dapat disebut pelatihan diri? Yang terpenting dalam melatih diri adalah setiap orang harus saling menginspirasi. Contohnya Surata yang meski hidup kekurangan, tetapi menginspirasi banyak orang. Banyak orang yang memuji dan suka berada di dekatnya.

Di tengah masyarakat, setiap orang hendaknya memiliki sifat bersahabat seperti ini. Terhadap orang yang lebih muda, kita hendaknya menganggap mereka bagaikan adik; sedangkan terhadap orang yang lebih tua, kita hendaknya menganggap mereka bagaikan orang tua sendiri. Kita hendaknya menganggap semua orang bagaikan orang tua dan teman sendiri.

Di tengah masyarakat, kita juga harus belajar tidak terpengaruh dan senantiasa membangkitkan hati penuh sukacita untuk perlahan-lahan berjalan menuju kebajikan dan saling menginspirasi untuk menuju arah yang baik. Hanya dengan mengasihi sesama bagaikan keluarga, saling mendukung, dan saling menyemangati untuk menuju jalan yang baik, barulah kita dapat memahami ajaran Buddha dan memperkaya batin.

Dalam melatih diri, kita harus tahan terhadap kerja keras dan derita. Meski harus sangat bekerja keras, kita tetap harus tahan dan giat bersumbangsih. Jangan karena melihat betapa susahnya melatih diri, lantas kita merasa takut dan tidak berani bersumbangsih. Kita jangan demikian.

Apa yang dimaksud melatih diri? Melatih diri berarti menahan yang sulit untuk ditahan. Kita harus tahan terhadap cobaan tanpa berkeluh kesah. Inilah praktisi yang sesungguhnya.

Di dalam Sutra ada sebuah kisah seperti ini. Ada suatu masa di Negeri Sravasti, ajaran Buddha sangat berjaya. Baik raja, menteri, maupun orang berada, semuanya sangat tulus memberi persembahan dan mendengar Dharma. Di antaranya ada seorang pria miskin yang bernama Surata.

Ketulusannya terhadap ajaran Buddha melebihi siapa pun. Meski dia sendiri hidup kekurangan, tetapi dia sangat gemar membantu sesama. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membantu orang yang hidup sebatang kara, orang yang menderita penyakit dan kurang mampu. Dia mendapat pujian dari banyak orang.

Dia sering bermeditasi. Dia sering duduk di antara kelompok Sangha untuk mendengar Dharma. Dewa Sakra merasa jika Surata terus menghimpun karma baik, maka kelak posisinya akan tergantikan oleh Surata. Karena itu, dia mengutus sekelompok tentara Mara.

Saat itu Surata sedang bermeditasi, Sekelompok tentara Mara terus memarahinya. Akan tetapi, Surata tidak memedulikan mereka. Dewa Sakra kembali mengurus tentara Mara yang membawa pedang, tombak, dan senjata lainnya untuk membunuh dan memukul Surata. Akan tetapi, Surata tetap diam dan bergeming.

Dewa Sakra lalu menjelma sebagai manusia untuk mendekati Surata. Dewa Sakra mempersembahkan banyak emas, lalu berkata, "Jika kamu menerimanya, maka seumur hidup ini, kamu bisa hidup tanpa kekurangan. “Saya sudah sangat berpuas diri. Saya tak merasa saya hidup kekurangan,” jawab Surata.

Dewa Sakra bertanya, "Bagaimana jika ada banyak orang yang ingin memukul dan membunuhmu seperti tadi, apa yang akan kamu lakukan?"

"Saya akan bersabar."

"Bagaimana jika ada orang melukaimu dengan senjata?"

"Saya juga harus bersabar. Yang saya khawatirkan adalah mereka harus menuai buah karma buruk akibat perbuatan sendiri."

"Apa yang kamu inginkan dari pelatihan dirimu?"

"Saya tidak meminta apa-apa. Saya hanya berharap semua makhluk di dunia dapat terbebas dari penderitaan dan memperoleh kebahagiaan."

Mendengarnya, Dewa Sakra kembali bertanya, "Bagaimana jika kamu menjadi Dewa Sakra?"

"Seperti yang saya katakan, saya tak meminta apa-apa. Saya hanya ingin menapaki Jalan Bodhisatwa yang ditunjukkan Buddha." Dewa Sakra merasa tenang, lalu meninggalkan tempat itu.

 

Surata hidup di zaman Buddha. Sesungguhnya, di masa sekarang, kita juga sering melihat orang seperti ini. Banyak orang yang meski hidup kekurangan, tetapi tetap berusaha untuk membantu sesama. Selain ingin membantu sesama, di tengah kehidupan serba sulit, mereka tetap membangkitkan ketulusan untuk mendengar Dharma setiap hari.

Meski tidak hidup berada, tetapi mereka sangat bekerja keras dan bersedia bersumbangsih untuk membantu orang lain. Contohnya Surata yang merupakan murid Buddha pada masa itu. Meski hidup kekurangan, tetapi beliau memiliki harapan yang sama seperti Buddha, yakni berharap semua makhluk yang menderita dapat terbebas dari penderitaan.

Surata memiliki hati yang setara dengan Buddha. Karena itu, Buddha sangat memuji umat perumah tangga yang hidup sangat kekurangan ini. Buddha berbagi kisah ini dengan banyak orang tentang bagaimana Surata meneguhkan tekad untuk melatih diri. Meski hidup serba kekurangan, tetapi Surata sangat gemar membantu sesama.

Dia rela kelaparan demi memberi makanan kepada orang lain. Inilah kebajikannya dalam melatih diri. Dalam mendalami Dharma, Buddha berharap kita dapat menapaki Jalan Bodhisatwa dan terjun ke tengah umat manusia tanpa takut bekerja keras.

Kita harus menstabilkan pikiran. Contohnya Surata yang hidup kekurangan. Meski hidup kekurangan, tetapi Surata memiliki tekad yang teguh dan hati penuh cinta kasih untuk bersumbangsih di tengah umat manusia. Dia dihormati oleh banyak orang. Bukan berarti harus menjadi orang berada baru dihormati orang-orang.

Meski hidup kekurangan, tetapi dia dihormati oleh banyak orang. Buddha juga sangat memujinya. Jadi, jika kita takut bekerja keras, dan menderita, bagaimana dapat disebut pelatihan diri? Yang terpenting dalam melatih diri adalah setiap orang harus saling menginspirasi. Contohnya Surata yang meski hidup kekurangan, tetapi menginspirasi banyak orang. Banyak orang yang memuji dan suka berada di dekatnya.

Di tengah masyarakat, setiap orang hendaknya memiliki sifat bersahabat seperti ini. Terhadap orang yang lebih muda, kita hendaknya menganggap mereka bagaikan adik; sedangkan terhadap orang yang lebih tua, kita hendaknya menganggap mereka bagaikan orang tua sendiri. Kita hendaknya menganggap semua orang bagaikan orang tua dan teman sendiri.

Di tengah masyarakat, kita juga harus belajar tidak terpengaruh dan senantiasa membangkitkan hati penuh sukacita untuk perlahan-lahan berjalan menuju kebajikan dan saling menginspirasi untuk menuju arah yang baik. Hanya dengan mengasihi sesama bagaikan keluarga, saling mendukung, dan saling menyemangati untuk menuju jalan yang baik, barulah kita dapat memahami ajaran Buddha dan memperkaya batin.

Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -