Singa yang Penuh Hormat

Semua makhluk di dunia adalah makhluk yang berperasaan. Makhluk yang memiliki kehidupan dan perasaan, semuanya disebut makhluk hidup, termasuk manusia. Tak peduli manusia maupun hewan, dari kehidupan ke kehidupan, akibat tabiat yang berbeda-beda, mereka menanam benih karma yang berbeda-beda pula. Benih-benih yang ditanam meliputi benih baik dan benih buruk.

Saat berbuat baik, berarti kita menanam benih baik. Saat berbuat jahat, berarti kita menanam benih buruk. Akan tetapi, semua makhluk memiliki hakikat kebuddhaan. Bahkan hewan juga memiliki hakikat kebuddhaan.

Contohnya, saat ada anak gajah jatuh ke dalam lubang, induk gajah menangis di sana untuk meminta bantuan sehingga orang-orang segera datang membantu. Lihatlah, meski terlahir dalam wujud yang berbeda, tetapi hewan juga memiliki hakikat kebuddhaan yang setara dengan manusia. Kita harus memercayai hal ini.

doc tzu chi

Di sebuah hutan, ada seorang pratyekabuddha sedang melatih diri. Banyak hewan yang mengelilinginya. Ada seekor singa. Pratyekabuddha mengenakan jubah yang berwarna kecoklatan. Singa ini sangat menghormatinya. Suatu hari, singa ini sedang tidur. Datanglah seorang pemburu yang melihat singa ini. Dia berpikir, "Jika saya bisa mengambil kulit singa ini untuk dipersembahkan kepada raja, maka saya akan mendapat penghargaan yang besar."

Dia melepaskan dua anak panah secara berurutan ke arah singa itu. Mulanya si singa ingin menyerang balik pemburu itu, tetapi saat melihat jubah yang dikenakan orang itu, ia segera berubah pikiran dan membangkitkan rasa hormat. Sesungguhnya, sebelum masuk ke hutan, pemburu itu sudah tahu bahwa para hewan sangat menghormati petapa. Demi menjaga keselamatannya, dia mengenakan jubah berwarna kecoklatan.

Sebelum mati, singa itu melafalkan beberapa kata Dharani. Kemudian, turun hujan disertai bunga. Bunga-bunga menutupi tubuh singa tersebut. Si pemburu sedikit tercengang. Namun, berhubung singa itu sudah mati, dia lalu mengulitinya. Dia mengantarkannya ke hadapan raja.

Raja sangat terkejut. Beliau tahu bahwa hewan yang berbulu emas adalah hewan yang memiliki pelatihan diri. Raja bertanya kepada pemburu itu, "Adakah kejadian ketika singa ini mati?" "Ada. Singa ini melafalkan Dharani yang berbunyi, "Yalala bashasa svaha." Dharani ini memiliki delapan suku kata.

doc tzu chi

Mendengarnya, raja bertanya, "Apa makna dari delapan suku kata ini?" Pratyekabuddha menjelaskan kepada raja, "'Yalala' berarti hanya petapa yang telah mencukur rambut dan mengenakan jubah yang telah dicelup warna mampu terbebas dari kelahiran dan kematian. 'Bashasa' berarti para petapa yang telah mencukur rambut dan mengenakan jubah yang telah dicelup warna adalah orang suci dan luhur." 

"'Svaha' berarti petapa yang telah mencukur rambut dan mengenakan jubah yang telah dicelup warna dihormati oleh para dewa dan manusia." Setelah mendengarnya, raja memutuskan untuk membangun pagoda bagi singa tersebut dan menuliskan makna delapan kata yang diucapkan oleh singa dengan harapan orang-orang dapat berhenti membunuh makhluk hidup dan menghormati para petapa yang mencukur rambut dan mengenakan jubah.

Usai menceritakan ini, Buddha berkata kepada para murid-Nya, "Tahukah kalian? Pemburu itu adalah Devadatta yang sekarang. Singa itu adalah Aku yang sekarang. Raja itu adalah Bodhisatwa Maitreya yang kelak akan mencapai kebuddhaan. Pratyekabuddha itu adalah Sariputra yang sekarang."

Dari kisah ini, kita dapat melihat bahwa perbuatan yang berbeda menanam benih yang berbeda-beda pula. Manusia melatih diri, hewan juga melatih diri. Sejak berkalpa-kalpa lampau, singa itu sudah mendengar prinsip kebenaran di hutan. Hewan dan manusia di sana sudah menanam benih karma masing-masing.

doc tzu chi

Karena adanya benih, maka akan ada jalinan jodoh. Tanpa adanya jalinan jodoh pendukung, benih karma juga tidak dapat bertumbuh.

Benih memegang peran utama, sedangkan jalinan jodoh hanyalah pendukung. Jalinan jodoh merupakan pendukung untuk menumbuhkan sebutir benih.

Sejak dahulu kala, dari kehidupan ke kehidupan, benih perbuatan kita terus tersimpan di dalam kesadaran. Saat berbuat baik, maka kita menanam benih baik. Saat berbuat jahat, maka kita menanam benih buruk. Saat jalinan jodoh matang, maka benihnya akan berbuah.

Sejak zaman dahulu, sudah ada pemburu yang membangkitkan niat buruk demi kepentingannya sendiri. Ini sudah ada sejak dahulu. Sejak berkalpa-kalpa lampau, sudah ada singa yang memiliki hati penuh rasa hormat dan kesabaran untuk melatih diri. Ini tidak pernah berubah sejak dahulu.
Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -