Tikus Hitam dan Tikus Putih

Waktu berlalu dengan cepat dan kehidupan ini tidaklah kekal. Kita harus selalu tahu dan sadar bahwa hidup ini tidak kekal. Setiap saat dan setiap detik, ketidakkekalan terus mengintai kita.

Kita ambil satu contoh. Mungkin kalian sudah pernah mendengar kisah ini. Ada seorang pemburu. Suatu hari, saat dia sedang berburu, tiba-tiba ada banyak hewan buas yang mengepungnya dari segala sisi. Dia sendiri harus menghadapi begitu banyak hewan buas. Para hewan buas terus mendekatinya, apa yang harus dia lakukan? Dia segera berlari dan terus berlari hingga akhirnya melihat sebatang rotan. Saat melihat sebuah sumur, dia berencana untuk turun ke bawah. Melihat rotan itu, dia segera memegangnya dengan erat dan ingin turun ke dasar sumur. Kebetulan rotan itu juga cukup panjang untuk menjangkau dasar sumur.

 

Saat akan turun ke bawah, tiba-tiba dia melihat ada empat ekor ular berbisa di dasar sumur. Di bawah ada empat ekor ular, sedangkan di atas ada hewan buas yang siap menerkamnya. Pada saat itu, dia mendonggak untuk melihat rotan itu. Dia melihat ada dua ekor tikus, yakni Tikus Putih dan Tikus Hitam tengah menggerogoti rotan itu. Dia sangat khawatir. Jika tikus terus menggerogoti rotan itu maka rotan itu akan terputus. Dia melihat rotan itu semakin lama semakin tipis karena gigitan tikus, juga melihat empat ekor ular di dasar sumur yang tengah menunggunya. Dia sangat ketakutan. Dia ketakutan hingga mulutnya terbuka lebar. Dia lalu melihat sebuah sarang lebah di atas pohon. Saat sarang lebah itu pecah, madunya mengalir keluar. Kebetulan, madunya menetes tepat ke mulutnya. Karena merasakan manisnya tetesan demi tetesan madu, dia menjadi lupa dengan dua ekor tikus yang tengah menggerogoti rotan, juga lupa dengan empat ekor ular yang ada di dasar sumur.  Dia sudah melupakan semuanya.

Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang ketidakkekalan hidup. Mengenai kedua tikus itu, tikus putih melambangkan pagi hari. Waktu di pagi hari bagaikan tikus putih yang terus menggerogoti rotan hingga menjadi semakin tipis. Ia mengumpamakan setiap detik hidup kita yang terus berlalu tanpa henti. Setelah pagi hari berlalu maka tibalah malam hari. Tikus hitam melambangkan waktu di malam hari yang juga terus berlalu tanpa henti. Jadi, waktu kita dalam kehidupan ini sama seperti rotan itu yang semakin menipis. Seiring waktu berlalu, usia kita pun semakin bertambah. Saya sering berkata bahwa bukan usia kita yang bertambah satu tahun, tetapi kehidupan kita yang berkurang satu tahun.

Empat ekor ular di dasar sumur mengingatkan kita pada empat unsur pada tubuh, yakni unsur tanah, air, api, dan angin. Jika salah satu unsur tidak seimbang maka kita akan jatuh sakit. Contohnya, saat ada luka di badan kita, ia akan bernanah, membengkak, infeksi, dan lain-lain. Inilah ketidakselarasan unsur tanah. Ada pula penyakit pembengkakan oleh air atau penyakit darah yang sering disebut dengan leukemia.  Ini terjadi akibat ketidakselarasan unsur air.

Ada pula ketidakselarasan unsur api. Saat suhu tubuh kita mencapai 37 derajat Celsius, 38 derajat Celsius, 39 derajat Celsius, bahkan hingga 40 derajat Celsius, itu berarti unsur api di tubuh kita tengah tak selaras. Ada pula dengan ketidakselarasan unsur angin. Jika unsur angin kita tak selaras maka pernapasan kita akan terganggu. Jadi, jika empat unsur di dalam tubuh tidak selaras maka kita akan jatuh sakit. Ketidakselarasan empat unsur tubuh bagaikan empat ekor ular itu. Jika unsur tubuh tak selaras maka kita akan jatuh sakit.

 

Bukankah ini kondisi yang dialami manusia? Jelas-jelas kita tahu bahwa dua ekor tikus itu terus menggerogoti rotan. Sama halnya dengan kita tahu bahwa waktu kita terbatas. Berapa lama kita bisa hidup? Tiada orang yang tahu karena kehidupan ini tidaklah kekal. Saat rotan itu terputus, maka kehidupan kita juga berakhir. Tiada orang yang tahu berapa lama kehidupan kita. Kita semua tahu bahwa jika salah satu unsur di dalam tubuh tidak selaras maka ketidakkekalan akan cepat terjadi. Meski tahu, kita masih terus menikmati “madu” yang menetes ke mulut kita.

Madu melambangkan nafsu keinginan. Begitu merasakan manisnya nafsu keinginan, kita akan terus terbuai tanpa bisa mengendalikan diri. Untuk kembali ke jalan yang benar, sungguh bukan hal yang mudah. Jadi, bisa terlahir sebagai manusia, bisa mendengar ajaran Buddha, dan membangkitkan kesadaran untuk menelusuri ajaran Buddha, ini sungguh hal yang sangat berharga. Setelah memperoleh kesadaran sendiri, kita juga harus membimbing orang lain agar membangkitkan kesadaran. Kita juga harus membimbing orang lain agar membangkitkan kesadaran.

Saudara sekalian, dalam mempelajari ajaran Buddha, kita harus tahu untuk selalu meningkatkan kesadaran dan menyadari ketidakkekalan hidup karena waktu terus berlalu tanpa henti. “Empat ekor ular beracun” juga terus berusaha menyerang tubuh kita. Jika salah satu unsur di dalam tubuh tak selaras maka penderitaan kita akan tak terkira.

 

Gambar: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV Indonesia).

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina.

 

Keteguhan hati dan keuletan bagaikan tetesan air yang menembus batu karang. Kesulitan dan rintangan sebesar apapun bisa ditembus.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -