Yan Hui yang Tulus

Setiap hari, kita bekerja keras dan bersikap perhitungan. Apa tujuan kita sesungguhnya? Buddha mengajarkan kepada kita bahwa tubuh ini tidaklah bersih. Bukan hanya tubuh yang tidak bersih, bahkan perasaan juga mendatangkan derita. Saat mendengar ucapan orang lain, karena tidak tahu kebenarannya, maka timbul kecurigaan. Mungkin setelah mendengar sesuatu, kita merasa marah, tetapi tidak berani mengutarakannya. Semua perasaan ini mendatangkan derita. Karena itu, Buddha bertanya, “Apa sesungguhnya yang engkau perhitungkan? Mengapa engkau begitu menderita?” Beliau membimbing kita agar memiliki arah yang tepat dan pola pikir yang benar. Jika dapat memahami dari mana kehidupan berasal dan dapat memahami kebenaran di dunia ini maka kita tak akan bersikap perhitungan. Jadi, saya berharap setiap orang dapat menggenggam waktu untuk melatih diri.

Kita harus sungguh-sungguh memanfaatkan waktu. Jika kita tidak menggenggam waktu untuk mencerahkan diri pada kehidupan ini maka kapan kita tercerahkan? Sangat sulit untuk terlahir sebagai manusia dan menerima bantuan dari begitu banyak orang. Saat orang-orang bersikap ramah terhadap kita ataupun mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar kepada kita, apakah pembinaan diri kita sudah cukup baik untuk bersikap lapang dada dan penuh pengertian? Di tengah lingkungan seperti itu, apakah kita dapat berpuas diri (bersyukur-red)? Kita sungguh harus memanfaatkan dan menghargai setiap kesempatan untuk membina kelapangan hati. Musuh terkejam adalah pikiran kita sendiri. Jika dapat menyelaraskan pikiran maka tidak akan ada musuh di sekeliling kita. Jadi, kita harus senantiasa menjaga ketenangan pikiran agar pikiran tak berjalan menyimpang dan terpengaruh. Jika tidak, pikiran kita akan mudah menyimpang. Adakalanya, yang terlihat secara langsung saja belum tentu benar.

Pada zaman Konfusius, selama beberapa waktu, Konfusius dan murid-muridnya terperangkap di perbatasan Negeri Chen dan Negeri Cai. Selama tujuh hari, mereka tidak memiliki sebutir pun nasi untuk dimakan. Di antara murid-muridnya, Zigong-lah yang paling kaya. Karena itu, Zigong mencari cara untuk pergi keluar. Dia menggunakan barang yang dimilikinya untuk menukar sekarung beras dengan petani. Saat dia kembali, Zilu dan Yan Hui segera menerima beras itu. Zilu segera menyalakan api. Yan Hui segera mencuci beras untuk dimasak. Sebelum nasi disajikan, Zigong melihat Yan Hui memakan nasinya terlebih dahulu.

Zigong merasa sangat marah. Dia berkata kepada Konfusius, “Yan Hui memakan nasi terlebih dahulu sebelum disajikan untuk semua orang.” Konfusius berkata, “Meski kamu melihatnya secara langsung, tetapi saya tidak percaya. Saya tidak percaya bahwa Yan Hui adalah orang seperti itu. Saya akan menanyainya.” Saat Yan Hui datang, Konfusius berkata, “Tadi malam saya bermimpi. Saya bermimpi leluhur saya seperti ingin mengatakan sesuatu pada saya. Saya rasa setelah nasi matang, kita dapat menggunakannya sebagai persembahan.” Yan Hui menjawab,  “Tadi, saat memasak nasi, ada sebagian nasi terkena kotoran. Berhubung merasa sayang untuk membuangnya, saya memakan terlebih dahulu bagian nasi yang kotor. Jadi, sepanci nasi ini tidak dapat digunakan sebagai persembahan karena itu berarti tidak menghormati leluhur.”

Konfusius melihat murid-muridnya, “Apakah kalian sudah mengerti? Meski melihatnya secara langsung, belum tentu itu adalah kenyataan. Kita harus memiliki kebijaksanaan dan pikiran benar agar tidak terpengaruh oleh kondisi luar.” Jadi, kita harus merenung dengan cermat. Janganlah kita ceroboh. Saat kita ceroboh, apa yang kita pikirkan belum tentu benar. Saat pikiran tenang dan damai, barulah kita dapat berpikiran benar dan bertutur kata benar. Saat pikiran bergejolak, meski awalnya kita bertutur kata baik dan dapat berpikiran benar, tetapi saat menghadapi masalah, pikiran kita menjadi cepat menyimpang sehingga tutur kata kita ikut keliru. Jadi, kita harus senantiasa menjaga ketenangan hati dan menjaga pikiran agar tidak menyimpang.

Dalam melakukan segala sesuatu, kita harus dipenuhi sukacita, berhati lapang, dan berpikiran murni. Kita harus sangat bersungguh hati. Jadi, dalam melakukan segala sesuatu, kita harus bersukacita. Asalkan dapat melapangkan dada, apa yang bisa membuat kita tidak gembira? Apa pun yang orang lain katakan, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Kita harus menganggap bahwa mereka telah membantu kita mengendalikan kebencian dan pergolakan. Kita jangan memiliki rasa dendam dan benci. Kita juga tidak perlu berselisih dengan orang. Jika seseorang bertutur kata salah, maka kita hendaknya mengoreksinya. Jika mereka dapat menerimanya, maka kita harus turut bergembira. Jika tidak, kita juga harus berterima kasih.

Kita turut bergembira karena mereka meluruskan pola pikir yang keliru. Jika mereka tak dapat menerimanya, kita tetap harus berterima kasih karena sikap mereka dapat menjadi peringatan bagi kita untuk tidak bersikap demikian. Jika demikian, tak ada hal yang terjadi yang tak sesuai harapan kita. Saat segala sesuatu berjalan sesuai harapan, kita dipenuhi sukacita. Mengapa kita bisa dipenuhi sukacita? Karena kita telah berjalan di jalan yang benar tanpa bertemu rintangan. Inilah yang disebut dengan sesuai harapan dan tanpa rintangan. Sesungguhnya, siapa yang bisa merintangi kita? Rintangan terbesar adalah diri kita sendiri. Dengan membuka pikiran maka kita dapat memahami segala kebenaran. Karena itu, ada sebuah ungkapan berbunyi, dengan memahami satu prinsip kebenaran, kita dapat menembus prinsip-prinsip lainnya. Dengan membuka hati, kita pasti bisa memahami semua kebenaran.

 

Gambar: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV Indonesia).

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina.

 

Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -