Akhir Penantian Atikah

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

Perabotan dan perkakas milik Atikah dan Itoh tidak banyak. Tak sampai setengah jam barang-barang sudah selesai dipindahkan.

Sejak dibangun lebih dari 50 tahun lalu, rumah Atikah belum pernah tersentuh renovasi. Sewaktu ia dan suaminya datang ke daerah Pademangan Barat, Jakarta Utara, tempat itu masih dikuasai empang. “Tanahnya diuruk, trus dibangun rumah,” kata Atikah sekuat tenaga. Di rumah ini ia melahirkan anak-anaknya, kehilangan suaminya, terserang stroke, melawan banjir, dan banyak lagi. Tapi, tak terlintas sedikit pun keinginan untuk kembali ke tempat asalnya di Bogor. Sementara rumah yang mereka bangun kian keropos dimakan usia.

Tahun 1990, suami Atikah meninggal karena komplikasi penyakit jantung. Sebelumnya ia sakit cukup lama, “Sebulan di sini, sebulan di rumah sakit,” begitu Nano, anak kelima Atikah menggambarkan. Untuk mengobati ayahnya yang bekerja sebagai penjaga SD itu, sepotong demi sepotong tanah milik mereka dijual. Hingga ketika sang suami meninggal, tanah yang tersisa pun dibagi-bagi kepada 8 orang anaknya. Kebanyakan tanah itu menempel satu sama lain, potongan dari rumah induk yang dibangun almarhum suaminya. Atikah sendiri memilih tinggal dengan Masitoh (Ito), anak keenamnya.

Bulan April 2008, Tzu Chi menyurvei sejumlah rumah di Pademangan Barat dalam rangka Program Bebenah Kampung Tahap II. Rumah Atikah dan Itoh termasuk yang disurvei dan diluluskan sebagai penerima bantuan.

Kakak pertama Itoh telah meninggal akibat penyakit hernia. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki: Rahmat dan Iwan. Tanah yang diwarisi almarhum kakak pertamanya itu, bila digabungkan dengan tanah yang diwarisi Itoh kebetulan membentuk persegi panjang. Kedua sisinya berhadapan dengan gang kecil. Waktu relawan Tzu Chi mengadakan survei, Atikah, Itoh, Iwan, dan putra tunggal Itoh –Anwar- tinggal di bawah satu atap. Bagian tanah sang kakak dipakai untuk kamar tidur, dan bagian tanah Itoh dipakai untuk dapur dan kamar mandi. Sebulan sebelumnya, atap di atas dapur dan kamar mandi ambruk karena lapuk. Nano membuatkan kamar mandi darurat. “Saya nggak tau harus gimana, mau perbaiki, saya nggak mampu,” kata Itoh yang stroke 3 tahun lalu mengganggu gerakan tubuh bagian kanannya. Untuk bicara pun hanya sepatah patah.

Di rumah itu praktis tidak ada yang menopangnya. Atikah yang terserang stroke 8 tahun lalu sangat membutuhkan perawatan Itoh yang sendirinya hanya leluasa menggunakan sebelah tangan. Iwan masih terlalu hijau dan pendapatan Anwar dari menjaga toko di pasar besarnya Rp 50 ribu seminggu. Atikah harus mengandalkan pemberian dari anak-anaknya yang lain.

foto  foto

Ket : - Relawan Tzu Chi lebih dulu membersihkan rumah baru Atikah sebelum membantunya memindahkan
           barang dan perabotan. (kiri)
         - Rumah lama Atikah yang sudah melapuk menyebabkan perabotnya pun bertumpuk debu tebal. Dengan kain
           basah, relawan mengelap bersih perabotnya sebelum memasukkannya ke dalam rumah. (kanan)

“Sering kebanjiran. Segini,” kata Itoh, tangannya mengisyaratkan tingginya air yang masuk. Kira-kira setengah meter. Banjir bukan kejutan bagi warga di daerah ini. Entah sudah berapa kali lantai rumah itu ditinggikan, tanpa diikuti langit-langitnya. Kipas angin yang tergantung di langit-langit nyaris menyambar kepala relawan Tzu Chi yang mengunjungi rumah itu. Bagi yang berpostur tinggi, belum tentu dapat berdiri tegak di dalamnya.

Warisan untuk Anak
Hampir 3 bulan mereka harus menunggu. Dari gabungan kedua rumah itu, hanya bangunan di atas tanah warisan Itoh yang memenuhi kriteria untuk dibangun. Kedua tanah itu akhirnya benar-benar dipisahkan sesuai pemiliknya. “Minta pindah aja dia. ‘Kapan kelarnya?’ gitu,” kata Nano menceritakan ketidaksabaran Atikah menanti renovasi rumah usai.

Sabtu, 13 September 2008, rumah Atikah dan Itoh akhirnya siap dihuni. Pagi hari relawan Tzu Chi membersihkan dulu rumah dari sisa-sisa proses pembangunan. Mereka menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela, dan membersihkan sisa tetesan cat. Rumah itu mungil, hanya 15 m2 luasnya. Pekerjaan bertambah ringan karena dikerjakan bersama. Butiran keringat semakin nyata bertengger di dahi para relawan.

“Perasaan gimana ya.... ya senang rumah saya bisa dibangun, saya sungguh-sungguh senang. Ampe saya nangis rumah saya udah dibagusin,” Itoh harus berusaha keras mengucapkan kata-kata ini. Itoh berkata tak akan pernah menjual rumah ini. Baginya hanya ini yang dapat ia wariskan pada Anwar, anaknya.

foto  foto

Ket : - Ay Ay dan Tjie Khien Tjung memapah Atikah melalui sebuah jalan sempit menuju rumahnya yang baru
           selesai dibangun kembali. Di belakang mereka, Chandra membawakan kursi yang biasa diduduki Atikah
           sehari-hari. (kiri)
         - Atikah merasa cepat akrab dengan relawan Tzu Chi. Ia menyampaikan keluhan tentang rasa gatal lengan
           yang sering dirasakannya sewaktu tinggal di rumah lama. (kanan)

Relawan membantu pula Atikah dan Itoh memindahkan barang-barang mereka ke rumah baru. Tak sampai 2 putaran, perpindahan sudah selesai. Hanya sebuah laci plastik, perangkat masak, dan sebuah kursi, harta milik mereka. Kemudian tinggal memindahkan penghuninya. Ay Ay dan Tjie Khien Tjung, dua orang relawan Tzu Chi, memapah Atikah di sisi kanan dan kiri. Dengan langkah-langkah kecil menuntun Atikah berjalan memutar ke rumah barunya. Ia tidak memakai alas kaki. Beberapa tetangga melongok dan menyempatkan mampir.

Tak banyak senyum yang terkembang di wajah Atikah. Maklum, pagi itu kepalanya sedang pusing. Tapi nenek usia 70 tahun ini mengaku senang. Ini kesempatan pertama ia melihat rumahnya setelah direnovasi. Setidaknya rumah yang masih bau cat itu bisa menjanjikan lingkungan yang lebih bersih bagi Atikah. Mungkin bisa menghentikan batuk-batuknya dan menghilangkan gatal kulit yang dikeluhkannya pada Ay Ay. Rumah itu memang belum dilengkapi listrik, tapi Atikah dan Itoh sudah akan langsung tidur di sana malam itu. “Alhamdullilah saya bisa pindah ke sini,” tutur Itoh dengan ceria.

 

Artikel Terkait

Ladang Cinta Kasih yang Subur

Ladang Cinta Kasih yang Subur

17 Maret 2015 Selain mengajak untuk bersumbangsih membantu sesama,  Tzu Chi juga memberikan perhatian kepada anak-anak dengan menanamkan jiwa bersumbangsih pada diri anak-anak. Maka dari itu, Tzu Chi Tanjung Balai Karimun melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk mengajak bersama-sama bersumbangsih setiap hari berbuat kebajikan melalui celengan bambu.
Waisak 2556: Membangkitkan Ketulusan Hati

Waisak 2556: Membangkitkan Ketulusan Hati

24 Mei 2012 Mereka pun ikut merayakan 3 perayaan besar yang diadakan oleh insan Tzu Chi di seluruh dunia, yaitu perayaan Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia.  Ini adalah perayaan Waisak pertama yang diadakan oleh Kantor Penghubung Singkawang
Menuju Babak Baru Kehidupan Yang Lebih Baik

Menuju Babak Baru Kehidupan Yang Lebih Baik

24 Juni 2014 Sebanyak 19 rumah telah diresmikan dalam acara Serah Terima Kunci Program Bebenah Kampung Pademangan. Tawa ceria menghiasi wajah setiap warga karena impian mereka mendapatkan rumah layak huni telah tercapai.
Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -