My Dream: Terbanglah, Raih Mimpi-mimpimu

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Anand Yahya, Arimami Suryo A

Wei Jingyang membawakan The Soul of a Peacock dalam peringatan 10 tahun DAAI TV, Sabtu dan Minggu, 29 - 30 Juli 2017 di Aula Jing Si, Jakarta Utara. Dengan dibantu penerjemah bahasa isyaratnya, Jingyang mengungkapkan bahwa ia merasa senang bisa tampil di hadapan para penonton di Indonesia.

Kemeriahan peringatan 10 tahun DAAI TV yang menampilkan My Dream rasanya belum berakhir dan masih menyisakan ingatan indah di kepala. Terlebih ketika penonton menyaksikan 21 penari tunarungu dengan kompak menampilkan tarian Thousand-hand Avalokitesvara Bodhisattva (Bodhisatwa Seribu Tangan) yang popular. Ada pula yang terkesima dengan gemulainya tarian The Soul of a Peacock atau malah terpukau dengan angunnya penampilan sang MC bahasa isyarat.

Semua pujian memang sudah patut diberikan untuk para seniman penyandang disabilitas tersebut. Selain mereka berhasil memberikan suguhan yang indah, mereka juga telah mampu menginspirasi ribuan penonton. Apa yang mereka capai sekarang tentu tidaklah mudah.

Mereka menegaskan bahwa, walaupun kita tidak bisa menentukan di mana kelahiran kita, status kita, tempat kita, maupun situasi kita, tapi kita harus berbuat sebaik-baiknya dan jangan menyerah. Yakinlah kita pasti akan bisa mengejar mimpi kita.

Wei Jingyang: Si Merak yang Istimewa

“Saya sudah bergabung dengan My Dream sejak tahun 2007. Sudah 10 tahun,” ucap Wei Jingyang, penari The Soul of a Peacock. Dengan dibantu penerjemah bahasa isyaratnya, Jingyang mengungkapkan bahwa ia merasa senang bisa tampil di hadapan para penonton di Indonesia. “Saya bagaikan melihat saudara saya sendiri, setiap pertunjukan diakhiri dengan tepuk tangan dan sorakan yang sangat meriah, saya merasa kerja keras saya sudah mendapatkan imbalan,” lanjutnya memeragakan bahasa isyarat dengan mata berbinar.

Wei Jingyang lahir di Kota Heng Shui, Provinsi Hebei, Tiongkok. Tahun ini usianya baru menginjak 22 tahun namun dirinya sudah mencapai berbagai prestasi dalam dunia kesenian tari.

Sebenarnya Jingyang lahir dengan keadaan yang normal, namun ketika berusia satu tahun gadis cantik ini menderita demam tinggi hingga kejang. Ketika itulah Jingyang kehilangan pendengarannya.

Sejak saat itu, ibu Jingyang telah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi lingkungan. Ia selalu dibekali pengetahuan tentang gambar dan dibubuhi tulisan. Setiap saat, ibunya juga mengajarkan pengucapan kata-kata dengan penuh kesabaran untuk anaknya.

Jingyang merasa ia termasuk orang yang beruntung karena bisa bersekolah di sekolah umum. Ia bercerita bahwa teman dan gurunya memperlakukannya dengan sangat baik walaupun sebelumnya ia sempat merasa tidak nyaman.

“Ketika pertama masuk sekolah, ada guru yang memanggil saya tapi saya tidak merespon sama sekali. Teman saya lalu menarik saya untuk memberi tahu. Saat pulang saya bertanya pada ibu saya, ‘mengapa saya berbeda dengan teman-teman saya?’ ibu lalu mengatakan bahwa saya tidak bisa mendengarkan suara,” jelasnya. Melihat penjelasan ibunya, Jingyang menatap telinganya di cermin. Ia yang awalnya berpikir dunia ini tanpa suara, ternyata salah. “Saat itulah saya merasa sedih dan sepi.”

Wei Jingyang (tengah) berlatih dengan keras sejak usianya 10 tahun. Dalam tim ini, Jingyang juga didaulat untuk menjadi pemeran utama tarian balet untuk membuka konser My Dream.

Belajar menari sejak usia 10 tahun, membuat Wei Jingyang seakan menemukan dunia barunya. Ia mengaku membawakan setiap tarian dengan seluruh jiwanya. Maka jangan kaget melihat betawa luwesnya gerakan yang ia bawakan dalam The Soul of a Peacock, The Dance of Secret Garden, ataupun Thousand-hand Avalokitesvara Bodhisattva.

Mengetahui kondisi Jingyang yang berbeda, guru dan teman sekolahnya pun tak lantas mengucilkannya. Mereka malah selalu membantu Jingyang. Misalnya untuk bisa membaca gerak bibir gurunya, Jingyang selalu medapatkan tempat duduk di barisan pertama di kelas. Dukungan-dukungan tersebut membuatnya lulus dengan predikat yang memuaskan.

Belajar menari sejak usia 10 tahun, membuat Jingyang seakan menemukan dunia barunya. Ia mengaku membawakan setiap tarian dengan seluruh jiwanya. Maka jangan kaget melihat betawa luwesnya gerakan yang ia bawakan dalam The Soul of a Peacock, The Dance of Secret Garden, ataupun Thousand-hand Avalokitesvara Bodhisattva.

Walau sempat diprotes dan dilarang sang ibu untuk belajar menari karena menurutnya anaknya tidak akan bisa menari dan menyesuaikan dengan ritme musik, Jingyang tidak putus asa. Ia malah sengaja memanfaatkan kesempatan di ulang tahunnya ke-10 untuk meminta hadiah berupa kelas les tari. “Sejak saat itu saya masuk kelas tari pertama saya sebelum masuk ke tim My Dream,” kata Jingyang.

Bergabung dengan China Difabled People’s Performing Art Troupe (CDPPAT) yang menaungi pertunjukkan My Dream pun merupakan kesempatan yang berharga untuknya. “Di sana kami belajar mengenal ketukan. Pertama-tama, saya akan mengenal ritme musik terlebih dahulu, saya akan mengetuk cajon untuk menangkap tempo musik dan yang terpenting adalah guru pembimbing, dia adalah musik saya,” jelas Jingyang.

“Selama belajar, saya tidak menyangka guru balet memuji bentuk tubuh saya sangat bagus dan sesuai untuk menari balet. Karena disemangati olehnya, maka saya akhirnya mempunyai mimpi untuk menjadi putri balet. Saya menjalani latihan balet yang berat dan membuat saya menderita sekaligus bahagia karena saya bisa memakai sepatu balet dan rok tutu,” lanjutnya.

Dalam tim ini, Jingyang juga didaulat untuk menjadi pemeran utama White Swan yang dibawakan di HUT ke-60 Tiongkok. Selain itu ia juga bertanggungjawab menjadi penari utama dalam tarian balet “My Dream”.

Perjalanan hidup yang ia jalani itu membuatnya banyak sekali belajar bahwa, mereka bukanlah tidak mampu. “Kami hanyalah tidak leluasa, kami mempunyai mata, tangan, kami juga mampu menciptakan keajaiban dan kehidupan yang istimewa diri kami sendiri,” tegasnya.

Jiang Xintian: Anggun Bak Merpati

Tidak jauh berbeda dengan Wei Jingyang, Jiang Xintian, sang MC berbahasa isyarat pun bahagia bisa menghibur masyarakat di Medan, Jakarta, dan nantinya ke Surabaya. Baginya, kesempatan ini merupakan kali kedua ia tampil di Indonesia setelah sepuluh tahun silam. Ia pun bahagia karena kehangatan sambutan yang ia rasakan di Indonesia sama seperti ketika My Dream tampil di hadapan Master Cheng Yen di Hualien, Taiwan.

Walaupun sudah bergabung dengan My Dream selama 14 tahun dan sudah ratusan kali tampil di depan penonton, Jiang Xintian tetap saja terharu melihat riuhnya penonton usai melihat penampilan mereka. “Itu sebuah apresiasi yang luar biasa untuk kami,” ucapnya mengomentari tepuk tangan ‘tanpa suara’ dari penonton.

Sama seperti Wei Jingyang, Jiang Xintian juga terlahir normal. Ketika ia berumur tiga bulan ia mengalami panas tinggi dan radang paru-paru sehingga suntikan antibiotika merenggut pendengarannya. Ibunya sangat terpukul dengan kejadian tersebut.

Satu hari ibunya membawa Xintian pergi ke pantai, ibunya sangat putus asa dan memutuskan untuk bunuh diri membawa Xintian. Mereka berjalan menuju laut, semakin jauh dan semakin jauh dari daratan. Dia sama sekali sudah gelap mata sampai akhirnya ia sadar ketika mendengar tangisan keras anaknya. Melihat mata anaknya yang menangis ketakutan, ibunya lalu sadar bahwa ia memang telah memberikan kehidupan pada anaknya namun ia tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengakhiri hidup anaknya itu. Sang ibu pun bertekad: “Sekeras apa pun atau semenderita apa pun kehidupan Xintian nantinya, saya akan terus berusaha memberikan kehidupan yang bahagia untuk Xintian!”

Jiang Xintian, sang MC berbahasa isyarat dengan anggun dan luwes mengawali setiap penampilan yang dibawakan oleh tim My Dream. Sama seperti Wei Jingyang, Jiang Xintian juga terlahir normal. Ketika ia berumur tiga bulan ia mengalami panas tinggi dan radang paru-paru sehingga suntikan antibiotika merenggut pendengarannya.

Jiang Xintian (gaun merah) bersama tim My Dream menyambut penonton seusai memberikan penampilam mereka. Walaupun sudah bergabung dengan My Dream selama 14 tahun dan sudah ratusan kali tampil di depan penonton, Jiang Xintian tetap saja terharu melihat riuhnya penonton usai melihat penampilan mereka.

Tekad ibunya itu membawa Xintian menjadi orang yang kini penuh dengan semangat, kemandirian, dan bergelimang prestasi. Ia merupakan satu-satunya finalis Miss Universe dengan tunarungu, yang lolos hingga babak final sepanjang sejarah pagelaran kontes kecantikan dunia tersebut.

“Pengalaman memasuki babak final Miss Universe merupakan tantangan besar dalam hidup saya dan hal ini juga sangat berpengaruh dalam hidup saya karena itu merupakan pertama kalinya saya berlomba dengan orang-orang normal,” tuturnya.

“Saya merasakan rasa tegang karena keterbatasan fisik saya, saya takut saya tidak bisa menguasai ritme musiknya, dan pada sesi tanya jawab pun saya tidak bisa leluasa menjawab pertanyaan seperti kontestan lainnya,” lanjut Xintian.

Walaupun begitu Xintian tetap saja pernah mengalami kejadian yang membuatnya sedih. Satu ketika ia sedang berbincang dengan bahasa isyarat di jalan. Di sana ada sekelompok anak yang memanggil mereka ‘bisu’. “Saya bisa membaca gerak bibir dia dan saya sangat tidak senang,” katanya. Xintian lalu pulang dan memukuli kedua telinganya. Ibunya yang kebingungan pun bertanya tentang apa yang telah ia alami.

Memahami kesedihan anaknya, sang ibu mengambil kertas dan meremas lalu menyobeknya menjadi serupa kepingan salju. Ketika melihat ‘kepingan salju’ itu berterbangan, Xintian kembali bergembira. “Sekarang kamu seperti kertas ini tapi satu hari kamu akan menjadi kepingan salju dan semua orang akan menyukaimu,” tutur Xintian mengingat perkataan ibunya. “Ibu saya membuat saya berani menghadapi ketidaksempurnaan saya selama ini,” imbuhnya.

Di akhir perbincangan, Xintian berbagi semangat dengan mengutip satu syair dalam lagu Tzu Chi, “Dengan adanya kebajikan, dunia menjadi indah. Dengan adanya cinta kasih, kehidupan akan terus berlanjut. Dengan adanya welas asih, hidup menjadi lapang. Dengan adanya rasa syukur, hidup menjadi bahagia.”

“Kutipan lagu Tzu Chi di atas juga merupakan semangat Bodhisatwa Seribu Tangan dan juga prinsip kehidupan saya,” tambahnya.


Artikel Terkait

My Dream di Medan: Memotivasi Para Difabel dan Mengetuk Hati para Donatur

My Dream di Medan: Memotivasi Para Difabel dan Mengetuk Hati para Donatur

02 Agustus 2019

Para seniman yang tergabung dalam My Dream berasal dari latar belakang dan keterbatasan yang beragam. Walaupun mengalami keterbatasan, mereka mampu bangkit dan menjadi seniman kelas dunia. Mereka memotivasi para penyandang disabilitas dalam Coaching Clinic pada Kamis, 1 Agustus 2019 di Medan.

My Dream Kembali Memukau Ribuan Penonton di Jakarta

My Dream Kembali Memukau Ribuan Penonton di Jakarta

22 Juli 2019

China Disabled People’s Art Troupe (CDPPAT) atau My Dream akhir pekan lalu (20-21 Juli 2019) kembali menampilkan pertunjukkan yang memukau di Jakarta. Berlokasi di Grand Ballroom Swissotel, PIK Avenue, grup seni difabel asal Tiongkok ini berhasil mencuri perhatian ribuan penonton, lagi dan lagi.

Pewarisan Dharma Melalui Genta dan Genderang Insan Tzu Chi

Pewarisan Dharma Melalui Genta dan Genderang Insan Tzu Chi

01 Agustus 2017

Di awal acara  DAAI Night di Medan, suara genta dan genderang menggema ke seluruh ruangan, apalagi kali ini ada Li Gu (gendang besar) yang membahana. Seakan menyadarkan semua penonton bahwa sudah saatnya untuk mempraktikkan jalan kebenaran (ajaran Jingsi) dan berjalan di jalan Bodhisatwa (Mazhab Tzu Chi).

Dengan keyakinan, keuletan, dan keberanian, tidak ada yang tidak berhasil dilakukan di dunia ini.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -