My Dream di Medan: Memotivasi Para Difabel dan Mengetuk Hati para Donatur

Jurnalis : Nuraina Ponidjan (Tzu Chi Medan), Fotografer : Amir Tan (Tzu Chi Medan)


Agnes dan Tasya sebagai pembawa acara dalam tea gathering para donatur, pengusaha, dan para public service announcement DAAI TV Medan dengan para pemain My Dream.

My Dream, kelompok seniman difabel asal Tiongkok  kembali  hadir di Kota Medan dengan tujuan menginspirasikan warga Medan dengan semangat Mengubah hal yang mustahil menjadi mungkin atau nyata sekaligus  membangkitkan nilai kehidupan.

Sebelum menggelar konser amal di Selecta Ballroom pada tanggal 3 dan 4 Agustus 2019, My Dream terlebih dahulu berbagi inspirasi melalui Coaching Clinic pada Kamis, 1 Agustus 2019 di Gedung Tzu Chi Kompleks Jati Junction Medan lantai 5 dengan sejumlah siswa difabel dari beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Medan.

Coaching Clinic ini dihadiri 42 orang siswa beserta guru dari 5 Sekolah Luar Biasa, diantaranya : Yapentra, YPAC, SLB Karya Murni, SLB Abdi Kasih, dan Dwi Tuna Harapan Baru.  Dalam kesempatan ini My Dream menampilkan kebolehan dalam bermain seruling, Gu Zheng, dan tarian kupu-kupu, sedangkan dari Yapentra menampilkan Gondang dan Sigale-Gale, kemudian  kolaborasi permainan musik antara murid difabel Yapentra dengan My Dream  dalam 2 buah lagu yakni Ampar Ampar Pisang dan Zi Shang Zhi You Ma Ma Hao.

Berbagi Pengalaman yang mengandung nilai inspiratif
Tang Yu, seorang tunanetra, sejak kecil sudah belajar memainkan Gu Zheng , alat musik tradisional Tiongkok. Dalam pertemuan ini Tang Yu memperagakan cara memetik Gu Zheng yang memiliki 21 tali senar dan merupakan alat musik yang tidak mudah dimainkan, namun berkat kegigihan dan keuletannya berlatih  Tang Yu akhirnya bisa memainkan Gu Zheng dengan sangat bagus.

 

My Dream (di atas panggung) sedang berbagi pengalaman dan berbagi semangat kepada para pengujung yang hadir dalam sesi Coach Clinic.

Wei Tong dan Cheng Jing, sepasang  penari tarian Kupu-kupu. Mmenurut Wei Tong, ketika ia menari  ia akan merasa sangat bahagia. Dua tahun yang lalu Wei Tong untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dan mengunjungi kota-kota lainnya, salah satunya Medan.Ketika itu ia masih seorang pelajar dan belum memiliki tujuan hidup yang pasti, namun sekarang dia sudah dewasa dan berharap semoga performance tahun ini bisa lebih bagus dari dua tahun yang lalu. Sedangkan menurut Cheng Jing, ketika kakeknya mendaftarkannya di sekolah tari, mulai saat itu ia merasakan bahwa menari itu sangat menyenangkan karena menari tidak membedakan suku, agama, dan ras. Namun tantangan atau kesulitan yang dirasakan Cheng Jing adalah tidak bisa mendengar sedangkan dalam menari harus bisa mendengar tempo musik, maka untuk itu di dalam menghasilkan kesetaraan sesama penari harus dilatih kekompakan. Meski saat pertunjukan mereka bisa melihat aba-aba dari pelatih yang berdiri di samping panggung, namun untuk mencapai hasil yang bagus mereka harus giat berlatih dan harus bisa mengingat tempo-tempo tarian.

Kepada anak-anak yang mengalami keterbatasan fisik, Cheng Jing berpesan, “Kita bukan kurang beruntung dengan segala keterbatasan ataupun kurang beruntung dari orang yang normal, tetapi kadang kita kurang mengekspresikan talenta kita sendiri. Jadi kepada adik-adik yang difabel, yang penting di dalam mencapai kesuksesan adalah kita harus giat berlatih dan tidak gampang menyerah serta walaupun berapa banyak kesulitan yang datang menghampiri kita, kita tetap harus berusaha menggapai mimpi kita.”

Lain dengan Tan Wei Hai, seorang pemain Saxophone yang harus berlatih saxophone dengan begitu banyak rintangan karena penglihatannya tidak berfungsi lagi sehingga tidak bisa berlatih dengan melihat not musik yang tertera di buku musik, salah satu cara adalah mendengar dan memainkan alat musiknya berulang-ulang sampai mahir jadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berlatih. Dan pesan dari Tan Wei Hai adalah, “Ketika kita menekuni sesuatu itu haruslah  dengan ulet dan gigih dan bila mendapatkan hasil yang kurang baik, janganlah menyerah dan yang terpenting adalah kita harus merasa bahagia karena mendapat dukungan dari orang-orang di sekitar kita seperti guru, orang tua, dan juga teman-teman.”

 

Tan Wei Hai sedang memainkan seruling dengan nyaris sempurna.

Salah satu siswa Yapentra yang menyaksikan pertunjukan My Dream adalah Maruba Manalu  yang tunanetra . Maruba merasakan terinspirasi setelah mendengar sharing dari personal My Dream dan mengatakan “Personal My Dream begitu menghargai musik, menurut mereka bermain musik adalah seperti jalan menuju surga,  saya juga merasakan demikian dan marilah kita berusaha, jangan banyak mengeluh, giatlah berlatih dan siap menerima apapun yang terjadi”.

“Semoga dengan pertemuan ini bisa menghidupkan semangat dalam diri anak-anak difabel Medan, semoga yang selama ini merasa sesuatu itu tidak mungkin, maka kedepannya akan berubah menjadi sesuatu yang nyata”. Sylvia selaku koordinator acara mengharapkan.

Berbagi Pengalaman dan Mengetuk Hati Para Donatur
My Dream selalu menyumbangkan waktunya untuk misi kemanusiaan.  Setelah berbagi pengalaman di dalam memotivasi anak-anak difabel dari Sekolah Luar Biasa di sore hari, sesudah makan malam mereka mengisi acara tea gathering dengan para pengusaha dan donatur, hadir juga malam ini konsulat Jenderal (Konjen) Tiongkok. Tujuan acara tea gathering antara My Dream dengan para pengusaha atau para donatur adalah ingin mengetuk hati para pengusaha atau donatur agar bisa dengan segala kelebihan yang mereka miliki bisa membantu orang lain dan bisa membagikan cinta kasih untuk sesama.


Yapentra mempersembahkan tarian Gondang dan Si Gale gale.

Untuk sesi malam hari, yang sharing dari kelompok My Dream adalah  Liu Yi Tan dan Wei Jing Yang. Liu Yi Tan sebagai pemain dan pemimpin dari tarian Buddha Seribu Tangan yang beranggotakan 20 orang  merasa senang dan bangga menjadi penari Bodhisatwa Seribu Tangan di kelompok tari My Dream generasi keempat. Ke dua puluh orang penari Buddha Seribu Tangan ini adalah penari tunarungu, dimana mereka tidak bisa mendengar suara musik jadi mereka berpedoman dari gerakan guru tari mereka yang berdiri di sudut panggung dan yang paling sulit bagi Liu Yi Tan adalah menjaga kerapian dan menyatukan 20 orang penari menjadi 1 orang penari dengan tangan yang banyak dan beraneka variasi.

Sedangkan Wei Jing Yang yang juga seorang tunarungu sangat senang menari, dimana waktu kecil ibundanya tidak setuju Wei Jing Yang belajar tari karena dianya tidak bisa mendengar, namun karena melihat ini salah satu impian anaknya, akhirnya Ibundanya mendaftarkan Wei Jing Yang ke kelas tari orang normal yang membuat Wei Jing Yang tidak terkejar ketinggalannya dari teman-temannya karena keterbatasan dirinya, namun dia terus giat berlatih, melihat kegigihannya akhirnya gurunya mendaftarkan dirinya ke grup para penyandang disabilitas. “Setiap orang mempunyai mimpi, maka di dalam perjalanan hidup ini kita harus meraih mimpi kita, kita jangan gampang menyerah, dengan ketekunan, apapun akan kita lewati dan kita akan meraih kesuksesan” tutur Wei Jing Yang.

 

CEO DAAI TV Indonesia, Hong Tjhin mengucapkan terima kasih kepada para relawan dan donatur yang selalu mendukung DAAI TV.

Hong Tjhin, CEO DAAI TV Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para donatur dan para public service announcement DAAI TV yang selalu setia mendukung DAAI TV dalam menyebarkan cinta kasih dan mencerahkan dunia, seperti yang Master Cheng Yen katakan: “Yang terindah di atas langit adalah bintang-bintang, dan yang terindah di bumi adalah cinta kasih.”

“Saya merasa sangat bahagia karena para PSA DAAI TV, para donatur hadir malam ini dalam acara tea gathering yang kita buat dan juga sangat gembira melihat para donatur dan para pengusaha tertarik dan menyukai program DAAI TV yang selalu menyajikan tayangan yang mendidik dan mensucikan hati manusia," kata Chuwardi, relawan Tzu Chi yang menjadi koordinator kegiatan ini. 

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

My Dream di Medan: Memotivasi Para Difabel dan Mengetuk Hati para Donatur

My Dream di Medan: Memotivasi Para Difabel dan Mengetuk Hati para Donatur

02 Agustus 2019

Para seniman yang tergabung dalam My Dream berasal dari latar belakang dan keterbatasan yang beragam. Walaupun mengalami keterbatasan, mereka mampu bangkit dan menjadi seniman kelas dunia. Mereka memotivasi para penyandang disabilitas dalam Coaching Clinic pada Kamis, 1 Agustus 2019 di Medan.

Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -