Yang Tak Sempurna tapi Penuh Makna: “Batik Griya Difabel” - Satu Goresan, Seribu Harapan


Berpindah ke sisi lain dunia kreatif, ada kisah hangat dari Cimahi, tepatnya di Batik Griya Difabel. Tim Redaksi Majalah Dunia Tzu Chi di Bandung merasakan kehangatan yang luar biasa begitu melangkah masuk. Bukan kemegahan bangunan yang mencuri perhatian, tapi auranya yang terasa akrab dan menenangkan.

Di salah satu sudut ruangan, tercium aroma malam panas dari kompor batik. Terdengar suara tawa ringan bersahutan, dan tampak tangan-tangan cekatan menggoreskan canting ke atas kain putih. Yang membuatnya begitu istimewa? Semua karya di sini dibuat oleh teman-teman dengan disabilitas fisik.

Meski kondisi tubuh mereka terbatas, semangat dan kreativitasnya justru mengalir sebaliknya. Setiap goresan batik yang mereka hasilkan bukan sekadar corak, tapi cermin dari ketelatenan, kesabaran, dan perhatian luar biasa terhadap detail. Tak hanya menampilkan kearifan lokal, batik mereka juga membawa pesan kuat bahwa keterbatasan fisik tak pernah membatasi nilai sebuah karya.

Batik-batik ini menjadi simbol dedikasi dan keteguhan hati yang menjelma dalam bentuk keindahan universal. Mereka tak hanya menciptakan kain, tapi menghadirkan harapan dan membuktikan bahwa tangan-tangan berbeda pun mampu melukis keajaiban.

Mengubah Luka Jadi Warna
“Saya suka membatik tema alam. Adem bawaanya, Kang,” kata Ikhlas, seorang pembatik muda di Batik Griya Difabel. “Nah seperti bunga matahari itu, saya suka,” tambah Ikhlas, yang bakatnya sudah diakui masyarakat luas dan juga pernah menerima penghargaan langsung dari Presiden Jokowi.

“Bunga matahari itu tetap bersinar meski tumbuh dalam celah ketidaksempurnaan. Seperti saya.” Kata-katanya ringan dilengkapi tawa, tapi menohok kami.

Dengan wajah serius dan konsentrasi penuh, Muhammad Ikhlas menggoreskan cantingnya di atas selembar kain putih. Tangan yang bergerak perlahan namun pasti itu adalah cermin dari semangat yang tak pernah luntur, meski tubuhnya memiliki keterbatasan fisik.

Dulu, Muhammad Ikhlas sempat dikurung stigma dan perundungan karena fisiknya yang tidak sempurna. Sulung dari dua bersaudara itu mengingat bagaimana seorang teman sekolahnya pernah dengan lantang mengatakan bahwa ia tidak pantas hidup, tidak akan memiliki cita-cita, dan tidak akan bisa maju. Namun, ia membiarkannya saja. Ia sadar diri karena memang tidak bisa berjalan, dan mengakui bahwa hal itu benar, ia memang tidak seperti orang lain yang bisa berlari ke sana kemari.

Kata-kata kejam itu membuat Ikhlas tak berani keluar rumah. Ia putus sekolah, lebih banyak mengurung diri di kamar. Kemarahan dan kesedihan sempat menguasainya. Tapi di tengah kesunyian itu, yakni ada satu pelarian yang menenangkan, yakni menggambar. Di situlah pelan-pelan ia menemukan dirinya kembali. Dari coretan sederhana, lahir kekuatan yang membawanya bangkit.

Keberadaan Batik Griya Difabel membuat Ikhlas berdiri tegak: ia membatik, menggambar digital, dan bahkan bekerja sebagai ilustrator. Jika Anda melihat hasil karyanya, Anda mungkin akan terdiam. Siapa sangka, seorang pemuda yang dulu hanya diam di kamar dan ketakutan, kini bisa menjelma menjadi seseorang yang karyanya bicara lantang.

“Semenjak kenal dunia ilustrasi digital tahun 2021, saya bermimpi jadi ilustrator buku anak,” ceritanya berangan-angan, suaranya pelan namun yakin. “Sekarang saya juga membatik. Bisa bikin kaos, tas, dan lainnya,”. Ikhlas tersenyum, penuh rasa syukur dan keberanian. “Senang, bangga... dan kadang masih nggak percaya saya bisa sampai di titik ini. Tapi ini bukti, kalau kita juga bisa berdaya. Sama seperti orang lain.”

Dinas Sosial Jawa Barat bersama Batik Griya Difabel hadir dalam acara Karya Kreatif Jawa Barat & Pekan Kerajinan Jawa Barat 2023. Dalam perhelatan ini, mereka tak hanya memamerkan batik sebagai produk kerajinan, tapi juga sebagai bentuk ekspresi diri dan pemulihan jiwa. Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa dunia kerajinan bisa menjadi sarana inklusi sosial, tempat di mana kreativitas tidak mengenal batasan.

Jangan Ada Pikiran Sempit yang Membatasi Ruang Gerak
Di sisi lain ruangan, Nurdin sibuk mengatur warna-warna kain batik. Pria asal Cianjur ini sempat menjalani hari-hari sepi di kampung, hanya beternak ayam. Sekarang? Dia jadi koordinator pewarnaan dan salah satu orang yang disegani di Batik Griya Difabel.

“Saya belajar di sini, bahwa dunia difabel itu bukan soal kekurangan,” katanya pelan. “Tapi soal lingkungan yang belum ramah.”

Layaknya Ikhlas yang marah kepada orang yang merundungnya, Nurdin marah kepada Tuhan. “Ya… kenapa sih saya diciptakan tidak sesempurna orang lain?” katanya.

Dengan hati yang ringan dan ekspresi penuh ketenangan, Nurdin memulas batiknya satu per satu. Setiap warna yang ia usapkan di kain adalah simbol dari rasa syukur dan optimisme.

Lama sekali ia bertengkar dengan pikirannya sendiri. Sampai ia menerima tawaran pelatihan, menerima kursus bersama teman-teman difabel yang berujung menjadi pengrajin di Griya Batik Difabel. Lalu ketika ia datang di Batik Griya Difabel, ia melihat banyak teman-teman yang kekurangannya lebih darinya. Ia tertegun.

“Menangis, saya ke sini menangis melihat teman-teman yang lainnya. Saya nggak bisa…, nggak bisa berbicara,” ucap Nurdin terbata. Akhirnya ia sadar Tuhan punya rencana yang indah. “Terkadang mungkin ini teguran dari Tuhan sih, saya dikirim ke sini bukan hanya sekedar untuk belajar ilmu, tapi untuk ke depannya, untuk biar sejahtera di sini juga. Saya belajar tentang rasa syukur,” lanjutnya lirih.

Nurdin pun menggambarkan dunia disabilitas dengan cara yang membuat kami merinding. Katanya, “Tuhan menciptakan dunia ini luas, tapi bagi yang punya keterbatasan fisik, dunia terasa sempit. Tuhan menciptakan dunia ini ramai, tapi buat temanteman tuli, dunia itu sunyi. Tuhan menciptakan dunia ini penuh warna, tapi buat mereka yang tunanetra, dunia itu gelap.”

Dari empat tahun bersama Batik Griya Difabel, Nurdin menerima begitu banyak pelajaran berharga. Ia merasa bisa memahami lebih banyak hal, tentang dunia di sekitarnya, tentang dirinya sendiri, dan juga tentang arti memberi. Secara perlahan, kondisi finansialnya pun membaik, hingga ia mulai bisa ikut membantu orang tua. Dulu, ketika masih banyak waktu di rumah dan belum punya penghasilan sendiri, apa pun yang ia butuhkan harus meminta.

Sekarang, ia merasa bersyukur karena pelan-pelan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, dan bahkan bisa berbagi dengan orang tua. Menurutnya, itu adalah perubahan besar dalam hidup. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu meluangkan waktu sejenak untuk mengingat semua hal yang sudah dilalui, dan bersyukur.

Ia mengucap terima kasih, bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada dirinya sendiri, karena masih bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Ia merasa lega, karena sedikit demi sedikit bisa menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bermanfaat. Ia pun berharap, segala kebaikan ini bisa terus bertambah, dan hidupnya bisa terus memberi arti.

Motif-motif kontemporer yang tercipta di Batik Griya Difabel bukanlah hasil dari rancangan instan, melainkan proses panjang dari perjalanan penyembuhan. Di balik guratan motif itu, tersembunyi kisah jatuh bangun yang tak terucap, namun tertuang dalam seni yang indah dan bermakna.

Dunia Berubah dalam satu Detik
Dan di tengah semua itu, hadir sosok Anggi. Pemuda tangguh yang hidupnya berubah drastis dalam satu detik. Kecelakaan tragis yang dialami Anggi Jantika pada tahun 2014 mengubah seluruh hidupnya. Saat itu ia masih di bangku kelas 3 SMA, ketika motor yang ditumpanginya terpental akibat sebuah truk yang melindasnya. Kecelakaan itu meninggalkan luka fisik yang berat dan juga luka batin yang dalam.

Selama bertahun-tahun, Anggi bergulat dengan rasa putus asa. Ia bahkan sempat berada di titik paling gelap dalam hidupnya, hingga muncul pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

“Saya hampir bunuh diri, gelap banget rasanya. Dari emosi yang sulit saya tahan,” ujarnya dengan jujur. Namun, di tengah kegelapan itu, ia menemukan kekuatan dari dukungan orang-orang di sekitarnya dan juga dari keyakinannya kepada Tuhan.

Anggi Jantika (depan, kiri) menemukan cahaya baru dalam hidupnya setelah bergabung di Batik Griya Difabel. Dulu, ia sempat kehilangan arah dan semangat untuk melanjutkan hidup. Namun di tempat ini, ia menemukan keluarga baru yang menerima dirinya tanpa syarat.

Pada 2020, Anggi mulai membuka lembaran baru lewat pelatihan batik. Awalnya ia tidak terlalu suka batik, tapi pelanpelan seni ini mulai mengisi ruang kosong dalam hidupnya. Membatik menjadi cara ia mengekspresikan perjalanan hidupnya, lukisan demi lukisan kain batik yang ia hasilkan membawa makna tentang perjuangan dan harapan.

Saat ini membatik adalah semacam terapi, media untuk menyampaikan isi hati. “Kalau mood saya sedang nggak bagus, goresan saya juga kerasa berat. Tapi pas sedang bahagia, semua bisa mengalir,” ungkapnya.

Dari sehelai kain polos, Anggi menuangkan isi pikirannya, tentang hidup, luka, dan harapan. Setiap garis, setiap lengkungan motif geometri yang ia buat, punya cerita. “Garis tebal itu ibarat jalan hidup. Kadang lurus, kadang belok. Tapi tetap satu arah. Disatukan oleh garis putih… simbol bahwa di balik perbedaan, kita tetap satu,” ucapnya penuh makna.

Di tempatnya berkarya kini, Anggi merasa seperti pulang. “Nyaman, seperti rumah. Di sini gak sendiri. Ketemu teman-teman yang juga punya keterbatasan, tapi semuanya saling dukung. Gak ada yang merasa paling hebat. Gak ada yang ngerasa paling lemah.”

Anggi bukan hanya membatik dan melukis. Ia menyulam kembali rasa percaya dirinya yang dulu sempat hilang. Dari yang tertutup, merasa minder, bahkan sempat ingin mengakhiri hidupnya, ia kini berdiri di atas kaki sendiri. Ia menemukan arti hidup lewat warna, goresan, dan tawa teman-temannya. “Ternyata Tuhan ngasih saya jalan yang penuh warna. Lewat ceramah ustaz, lewat orangorang yang peduli. Saya diselamatkan.”

Kini, Anggi sudah menikah, dan punya anak berusia 10 bulan. Ia jadi tulang punggung keluarganya. Istrinya mendukung penuh, dan keluarganya bangga dengan apa yang ia capai lewat tangannya. Di balik batik-batik yang ia hasilkan, ada bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berkarya.

Soal stigma? Ia hanya tersenyum. “Dulu ada yang bilang saya cacat. Ya saya senyum aja. Berdoa aja. Biar Allah yang balas. Tapi saya percaya, karya bisa jawab semua omongan itu.”

Ketika ditanya soal harapannya, Anggi menjawab singkat tapi dalam: “Saya ingin jadi guru melukis. Bisa ngajarin orang lain… yang mungkin ngerasa hidupnya udah gak punya arah.”

Mendunia, Melawan Stigma
Di balik keberhasilan teman-teman difabel ini, ada satu sosok yang tidak bisa dilewatkan, Zaka Mubarok, Humas sekaligus salah satu pengelola utama di Griya. Kang Zaka, panggilan akrabnya, bercerita pada tahun 2020, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat mengadakan pelatihan intensif di Pusat Pelayanan Sosial Griya Harapan Difabel. Selama delapan bulan, para penyandang disabilitas dari berbagai kota dan kabupaten berkumpul, berjuang bersama untuk belajar dan mengasah keterampilan baru.

Tapi setelah pelatihan usai dan mereka kembali ke rumah masing-masing, kenyataannya banyak dari mereka yang masih merasa kesulitan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tim pun menyadari bahwa perjalanan pemberdayaan tidak berhenti saat pelatihan selesai, tanpa dukungan yang berkelanjutan, harapan yang dibangun selama delapan bulan itu bisa dengan mudah memudar.

“Sayangnya saat itu, tidak semua daerah siap melanjutkan proses pemberdayaan,” ujar Kang Zaka penuh keprihatinan.

Dari situ, muncul gagasan untuk menciptakan ruang yang tak hanya melatih, tapi juga merangkul lebih lama. Maka lahirlah Batik Griya Difabel. Awalnya sekadar eksperimen kecil dari seorang kepala lembaga yang punya cinta besar terhadap kain. Tapi dari kain itulah, kesempatan besar terbuka lebar.

Zaka Mubarok, pengelola Batik Griya Difabel, berdiri di antara karya-karya luar biasa dari para pembatik difabel. Dengan penuh rasa bangga, ia memperlihatkan hasil batik yang dibuat dengan cinta, ketekunan, dan semangat luar biasa. “Saya justru banyak belajar dari mereka,” tuturnya. Menurut Zaka, di balik keterbatasan fisik teman-teman difabel, tersimpan kekuatan dan inspirasi besar yang mampu menggugah siapa pun yang menyaksikannya.

Batik yang dibuat di sini bukan sekadar kain bermotif. “Kami menyebutnya batik abstrak atau batik kontemporer,” jelas Kang Zaka. Setiap guratan lilin dan warna bukan hanya hasil keterampilan, tapi juga ekspresi jiwa dan proses penyembuhan batin. Bagi sebagian pembatik, ini adalah terapi. Bagi sebagian lainnya, ini adalah suara hati yang tak sempat terdengar sebelumnya.

Keterampilan memang jadi pintu masuk. Tapi di balik semua itu, Batik Griya Difabel menawarkan hal yang lebih dalam, keberanian untuk berdamai dengan diri sendiri. Layaknya Kang Ikhlas, Kang Nurdin, dan Kang Anggi.

Butuh keberanian untuk melawan stigma dunia. Karena harus diakui, lingkungan kita masih belum sepenuhnya ramah bagi temanteman difabel. Meski ada banyak upaya dari berbagai pihak untuk menciptakan ruang yang inklusif, stigma dan keterbatasan pemahaman masih menjadi tantangan besar bahkan di lingkungan keluarga sendiri.

Tak sedikit difabel yang tumbuh dalam sunyi, merasa disembunyikan, bahkan dianggap aib. Di beberapa daerah, orang tua masih takut membawa anaknya ke pelatihan karena khawatir akan pandangan masyarakat yang menganggap disabilitas sebagai kutukan.

Lewat Batik Griya Difabel, mereka ingin menghadirkan ruang untuk berekspresi. Karena ketika masyarakat mereka tidak bisa, karya batik ini menjawab: “Kami bisa. Kami berdaya. Kami layak dihargai.”

Tapi di sisi lain, Kang Zaka justru tidak merasa sedang “membina” siapa pun. “Sejujurnya, saya justru banyak belajar dari mereka,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

“Bayangkan, ada yang hanya memiliki satu tangan tapi mampu membuat batik lebih rapi daripada kami. Mereka selalu datang paling pagi, tidak pernah mengeluh, dan bekerja dengan sepenuh hati. Sementara kami yang sehat sering kali menemukan banyak alasan.”

“Kadang saya berpikir, justru saya yang harus bersyukur bisa bekerja di sini. Karena setiap hari saya diingatkan tentang esensi menjadi manusia: kejujuran, kesabaran, dan ketulusan,” kata Kang Zaka sambil tersenyum, “mereka mungkin bertangan satu, tapi bisa berkarya. Masa kita yang lengkap malah menyerah?”

Bagi Kang Zaka, Batik Griya Difabel bukan sekadar tempat pelatihan. Tempat ini adalah ruang untuk bertumbuh, ruang untuk berkarya, berdamai dengan diri, dan membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi.

Buktinya? Batik buatan mereka telah menjelajah jauh. Mulai dari tangan-tangan pembatik yang minim pengalaman hingga kini bisa menyelesaikan pesanan ribuan kain dengan motif khas seperti Maung dan Gunung Pangrango. Bahkan, ada cerita batik mereka dipakai untuk suvenir girlband Korea TWICE.

Tak hanya menginspirasi di dalam negeri, batik karya teman-teman difabel dari Batik Griya Difabel juga telah melanglang buana hingga mancanegara. Beberapa karyanya bahkan menjadi buah tangan spesial bagi tamutamu luar negeri, termasuk girlband ternama asal Korea, TWICE. Ini membuktikan bahwa karya yang lahir dari ketulusan dan perjuangan selalu punya tempat di hati siapa pun, tanpa batas bahasa ataupun budaya.

Melalui setiap goresan batik, mereka menyampaikan pesan: “Kami bukan beban. Kami berdaya. Kami adalah manusia seutuhnya. Karena setiap helai batik mereka menyimpan cerita tentang keberanian melawan stigma dan harapan yang ditenun dari luka.

Lebih dari itu, yang membuat Batik Griya Difabel istimewa bukan cuma pelatihan atau produk yang dihasilkan. Tapi semangat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, manusiawi, dan membebaskan dari stigma. Karena selain pelatihan, ada bimbingan spiritual harian, ruang diskusi, bahkan dukungan untuk mendapatkan izin usaha, dan belajar digital marketing. Mereka dilatih untuk bekerja sekaligus didorong untuk jadi pemilik usaha yang mandiri.

“Kalau saja masyarakat mau lebih terbuka, mau mengenal mereka lebih dekat, akan terlihat bahwa mereka sama seperti kita. Bukan ‘cacat’, bukan ‘kutukan’, hanya sedikit berbeda,” ujar Kang Zaka tegas.

Dan tahukah Anda? Setelah meninggalkan tempat ini, kami tidak hanya membawa pulang kain, tetapi juga hati yang lebih hangat dan rasa syukur yang lebih dalam.

Penulis: Metta Wulandari, Rizki Hermadinata (Tzu Chi Bandung)
Fotografer: M. Dayar (Tzu Chi Bandung), Dok. Batik Griya Difabel, Dok. IG @scarlettofficial

Baca juga kisah bagian 1: Yang Tak Sempurna tapi Penuh Makna
Walau berada di pihak yang benar, hendaknya tetap bersikap ramah dan bisa memaafkan orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -