Yang Tak Sempurna tapi Penuh Makna: Jatuh Cinta pada Isyarat Tangan
Memiliki anak dengan kondisi istimewa memang jauh dari kata mudah dan bahkan menjatuhkan mental orang tua dan tak bisa dipungkiri bahwa kabar itu sering datang seperti petir di siang bolong, mengagetkan, mengguncang, bahkan menyakitkan. Banyak orang tua yang merasa hilang arah, bertanya-tanya: “Apa yang salah? Apa yang harus kami lakukan sekarang?”
Namun, dari guncangan itu, perlahan tumbuh pemahaman. Bahwa menjadi orang tua dari anak difabel bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan yang berbeda. Perjalanan yang mungkin lebih sunyi, lebih berliku, tapi juga penuh pelajaran tentang ketulusan, ketegaran, dan cinta yang tidak bersyarat.
Penerimaan tidak datang dalam semalam. Ia tumbuh bersama air mata, doa, dan momenmomen kecil yang akhirnya menyadarkan: anak ini tidak kurang, hanya berbeda. Dan dalam perbedaan itu, ada cahaya yang tak bisa ditemukan di tempat lain.
Lili Contohnya, ibu dari Julisman, seorang tunarungu sejak lahir. Tak pernah ada rasa kecil hati dalam diri Lili mengetahui anaknya istimewa. Maka, ia membawa anaknya berkegiatan Tzu Chi dan berakhir dengan sangat mencintai shouyu (bahasa isyarat tangan). Julisman pertama kali mengikuti kegiatan Tzu Chi pada tahun 2009, mengikuti jejak ibunya, Lili. Setiap ada penampilan shouyu di acara Tzu Chi, Lili dan Julisman selalu berpartisipasi.
Seorang tunarungu yang tak bisa mendengar tetapi belajar lagu isyarat tangan, kedengarannya hampir mustahil. Namun, Julisman sangat menyukainya dan berusaha belajar dengan sepenuh hati.
Shouyu sendiri merupakan bentuk bahasa isyarat yang digunakan untuk menyampaikan makna melalui gerakan tangan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Di Tzu Chi, shouyu bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi juga menjadi sarana menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual dengan cara yang indah dan menyentuh. Gerakannya yang puitis sering kali dipadukan dengan lagu-lagu bermakna, sehingga menciptakan pertunjukan indah dilihat oleh mata dan bermakna mendalam lubuk hati.
Semua bermula pada tahun 1981, saat Master Cheng Yen mengunjungi berbagai daerah di Taiwan. Beliau menyadari adanya kendala komunikasi antara relawan dan penerima bantuan yang tunarungu atau tuna wicara. Dari sanalah muncul dorongan untuk mempelajari bahasa isyarat sebagai alat komunikasi sekaligus bentuk kepedulian dan empati.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1989, Sekolah Keperawatan Tzu Chi berdiri. Saat itu, ada lagu mars sekolah yang sangat bermakna, Master berharap lagu ini bisa “didengar” juga oleh teman-teman tunarungu. Seorang relawan, Li Jing-ying, mulai belajar shouyu dengan serius, dan dari situ ia sadar bahwa bahasa ini bukanlah tentang gerakan semata, tapi benarbenar menjadi jembatan untuk menyentuh hati.
Tahun 1992, Li Jing-ying bersama para relawan membentuk Tim Shouyu Jing Si. Penampilan pertama mereka di acara Pemberkahan Akhir Tahun langsung mendapat sambutan hangat. Sejak saat itu, shouyu jadi bagian penting dalam berbagai acara Tzu Chi, termasuk dalam pembacaan adaptasi Sutra, sebagai cara menyampaikan nilai-nilai kebaikan dengan cara yang lebih universal dan menyentuh.
Hening tak Berarti Sepi
Lalu Julisman, begitu jatuh cinta dengan penampilan indah dalam keheningan itu. Gerakan lembut tangan yang seirama dengan lirik lagu dan iringan musik menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Di tengah keterbatasannya berkomunikasi secara verbal, shouyu menjadi bahasa baru yang tidak hanya bisa ia pahami, tapi juga ia kuasai dengan sepenuh hati. Dalam diamnya, ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Dan lewat shouyu, akhirnya ia menemukan cara untuk berbicara tanpa kata-kata.
Julisman, seorang penyandang tunarungu, aktif mengikuti berbagai kegiatan Tzu Chi dengan semangat yang tak kalah besar dari relawan lainnya. Yang membuatnya istimewa, Julisman sangat menyukai isyarat tangan yang digunakan dalam berbagai kegiatan Tzu Chi. Baginya, isyarat tangan bukan sekadar gerakan, tapi bentuk komunikasi yang penuh makna dan keterhubungan. Bahasa humanis khas Tzu Chi inilah yang membuatnya merasa diterima, dihargai, dan didorong untuk terus terlibat.
Lili tentu sangat bersyukur. Sebagai seorang ibu, ia sempat diliputi kekhawatiran saat melihat anaknya tumbuh dalam kesunyian yang sering disalahpahami oleh lingkungan. Bahkan, Lili pun sempat ragu dan takut jika dunia di luar sana akan terlalu kejam untuk anaknya. Tapi di balik semua itu, Lili tahu: Julisman adalah anak yang lembut, ringan tangan, dan memiliki hati yang besar. Ia tidak suka menyusahkan orang lain dan selalu bersikap ramah kepada siapa pun.
Karena itu, ketika mengenal komunitas relawan Tzu Chi, Lili merasa menemukan tempat yang bisa menjadi ruang aman dan positif bagi anaknya. Komunitas yang bukan hanya aktif dalam kegiatan sosial, tapi juga menjunjung nilai-nilai welas asih dan menghargai setiap individu. Maka Lili pun mulai mengajak Julisman ikut serta dalam berbagai kegiatan. Tak disangka, Julisman menikmatinya. Meski awalnya hanya membantu sang ibu di dapur: menggoreng, mengangkat bahan makanan, atau membereskan peralatan, Julisman tampak bahagia. Ia menikmati kesibukan yang membuat tubuhnya bergerak dan pikirannya tenang.
Namun, Lili tak berhenti di situ. Ia ingin Julisman bisa berkembang lebih jauh, mengenal dunia lebih luas lagi. Ia sempat mengajak Julisman ke wihara untuk belajar Dharma, tapi anaknya tampak kurang tertarik. Dari sinilah Lili mulai mencari cara lain. Sampai suatu hari, datang kesempatan itu. Ik Si Shijie, seorang relawan senior yang mengajar shouyu di komunitas mereka, mengajak semua relawan untuk ikut belajar gerakan isyarat tangan yang biasa dipentaskan dalam kegiatan Tzu Chi. Lili langsung teringat anaknya. Ia ajak Julisman ikut, tanpa ekspektasi besar. Tapi hasilnya sungguh di luar dugaan.
Dalam waktu singkat, Julisman menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Ia bisa mengingat gerakan demi gerakan dengan baik, menghafalnya sepenggal demi sepenggal, dan menyatukannya menjadi sebuah isyarat tangan yang utuh.
“Ingatannya sangat bagus, dia mengingatnya sepenggal demi sepenggal, disambung-sambung, gitu. Saya juga tidak menyangka dia bisa begitu cepat belajarnya,” cerita Lili dengan mata berbinar. Lagu pertama yang dikuasai Julisman berjudul Satu Keluarga, lagu yang menggambarkan kebersamaan, cinta, dan pengertian. Lagu itu terasa pas, seolah mewakili perjalanan hidup Julisman sendiri yang akhirnya menemukan tempat untuk diterima dan dicintai apa adanya.
“Bisa dibilang dia belajarnya tidak lama untuk satu lagu,” lanjut Lili. “Dia pernah dipuji juga oleh seorang relawan senior, katanya gerakan tangannya sangat bagus dan lembut.” Mendengar pujian itu, hati Lili menghangat. Bukan karena sanjungan itu sendiri, tetapi karena ia tahu, anaknya, yang dulu sering dianggap tak mampu, kini dihargai karena keindahan yang bisa ia ciptakan dengan tangannya sendiri.
Kini, shouyu telah menjadi bagian dari kehidupan Julisman dan Lili. Mereka rutin mengikuti latihan dan tampil dalam berbagai acara. Setiap kali tampil, Julisman tampak percaya diri. Gerakannya anggun, penuh makna. Dan setiap kali ia berdiri di atas panggung, Lili akan menatapnya dari kejauhan, dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya, senyum seorang ibu yang melihat anaknya tumbuh, berkembang, dan akhirnya menemukan suaranya sendiri dalam diam.
Menerima Tidak Semudah Membalikkan Telapak Tangan
Selain Lili, ada pula Anie Widjaja, relawan lainnya yang juga memiliki anak istimewa. Sebagai Ketua He Qi Angke, Anie aktif terjun dalam berbagai kegiatan komunitas. Anak bungsunya yang kini berusia 20 tahun, Lihong, adalah anak istimewa dengan down syndrome.
Saat mengikuti kegiatan, Anie sering membawa serta Lihong ke lokasi. Tidak mudah baginya, di tengah kesibukan kegiatan, ia tetap harus menjaga anaknya. Kadang-kadang, ia merasa seperti bermain petak umpet karena Lihong bisa tiba-tiba “menghilang” dari pengawasannya.
Lihong dengan sabar membungkus keripik bersama Efi (relawan) untuk persiapan Pekan Amal Tzu Chi 2025. Meski memiliki keterbatasan, ia tetap semangat mengambil peran sesuai kemampuannya. Dari halhal sederhana seperti ini, Lihong menunjukkan bahwa setiap orang bisa berkontribusi dengan tulus, apapun keadaannya.
“Bagi saya, Tzu Chi bagaikan universitas kehidupan. Sejak bergabung di baksos Tzu Chi tahun 2000 sampai sekarang, saya diberi kesempatan untuk belajar bagaimana menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah hubungan antarmanusia,” ujar Anie. Baginya, ujian sesungguhnya justru hadir dalam kehidupan sehari-hari, saat kedua anaknya tidak menurut, saat berbeda pendapat dengan suami, atau saat ada masalah keuangan dalam keluarga. Semua itu menguji dan melatih kesabarannya.
Dulu, ketika Anie mengandung anak pertamanya, salah satu temannya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan yang mendeteksi kemungkinan down syndrome pada janin. Anie berkata pada temannya bahwa bagaimanapun kondisi anaknya, ia akan menerimanya, sehingga tidaklah perlu melakukan pemeriksaan itu. Anak pertamanya lahir dengan sehat dan sempurna. Dua tahun kemudian, anak keduanya lahir, namun ternyata down syndrome. Anie dan suami sempat merasa syok waktu itu. Namun mereka belajar menerima meski harus menyiapkan upaya yang lebih besar dan pasti akan lebih repot.
Dalam merawat anak bungsunya, Anie yang dikenal cekatan, benar-benar diuji batinnya. Ia harus ekstra sabar menghadapi setiap “drama” kecil dari si bungsu. “Bila keinginan kecilnya tidak terpenuhi, dia akan protes dengan berdiam diri tidak bergerak. Padahal keinginannya kadang hanya hal kecil, seperti hanya ingin makan dengan sumpit, bukan sendok. Jadi perlu dengan hati yang jeli dan kesabaran mengamatinya,” cerita Anie. Dari anak keduanya ini, Anie juga semakin memahami hukum sebab akibat, ia menyadari antara dirinya dengan anaknya pasti ada jalinan jodoh dalam kehidupan lampau sehingga bisa bertemu lagi di kehidupan ini sebagai ibu dan anak.
Dalam keseharian kegiatan relawan, Annie menjadi sosok pendamping setia bagi Lihong. Ia tak hanya mengajak Lihong mengikuti berbagai aktivitas Tzu Chi, tapi juga memastikan bahwa ia merasa diterima dan aman di lingkungan relawan. Banyak relawan sudah mengenalnya dengan baik, dan secara alami turut menjaga dan memperhatikannya.
“Saya yang mempunyai sifat kerja cepat dan gesit, bertemu dengan anak ini, bila saya tidak menjadi murid Master (Cheng Yen), mungkin saya akan menjadi ibu yang ngotot dan marah-marah setiap hari,” ujarnya. Melalui kegiatan relawan Tzu Chi, Anie belajar bersabar, berpengertian, bertoleransi, berpuas diri dan bersyukur atas semua jalinan jodoh baik yang ia miliki. Ia sangat bersyukur bisa terus belajar, melatih diri, dan menerima kondisi keluarganya dengan lapang hati.
Inspirasi Terbesar
Berbagai kisah perjalanan panjang ini bukan semata tentang disabilitas, tapi tentang keberanian untuk bertumbuh dalam keterbatasan, dan ketulusan untuk terus melangkah, walau perlahan.
Dari Nabila, Ikhlas, Anggi, hingga para orang tua yang mendampingi, kita diajak belajar bahwa berdaya bukan soal fisik semata, tapi kemauan untuk terus mencoba, meski dengan langkah kecil.
Kembali lagi, seperti kata Master Cheng Yen, “Jangan pernah meremehkan diri sendiri, karena setiap orang memiliki potensi yang tak terhingga.” Maka tugas kita bukan memberi batas, melainkan memberi ruang. Karena ketika diberi kesempatan, teman-teman yang dianggap terbatas ini tak hanya mampu, mereka bisa menginspirasi.
Penulis: Erli Tan
Fotografer: Anand Yahya, Halim Kusin (He Qi Barat 1), Indra Gunawan (He Qi Angke), Dok. DAAI TV Indonesia, Dok. Pribadi