“Wati: Malaikat Tak Bersayap”

Jurnalis : Fithria Calliandra (Tzu Chi Cabang Sinar Mas), Fotografer : Dharmawanita 3 in 1 Xie Li Indragiri

Wati dan Suhar sedang memberikan susu kepada ketiga buah hatinya yang berkebutuhan khusus. Dalam kunjungan kasih ini relawan Tzu Chi Cabang Sinarmas memberikan bubur rasa beras merah, bubur nasi instan, susu cair kaleng, pampers, beras, minyak goreng, telur dan gula pasir.


Cinta seorang ibu kepada anaknya berlangsung sepanjang masa, namun sebuah pemberian yang hanya berupa materi tidak menjadi milik anak. Dan cinta seorang anak akan tetap bersama ibunya untuk selamanya, meskipun fisik si anak tidak berada di sisi ibunya”
 -Kata Perenungan Master Cheng Yen-

Rumah papan kayu itu sangat sederhana tampak usang digerus waktu. Teras depannya ada tangga dari papan yang sudah miring ke arah satu sisi. Tak ada barang berharga di dalam rumah ini.

Di sinilah Wati (32) dan Suhariadi (42) tinggal bersama tiga orang buah hatinya, Fitri Wahyu Setia (13), Siti Soleha (9), dan Muhammad Wiji Kasihani (4). Suhariadi bekerja menggarap lahan kebun yang tidak begitu luas. Terkadang dia membantu panen di ladang milik orang lain. Penghasilannya tidak menentu.

Suhar, begitu dia disapa, mengalami gangguan pendengaran. Sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Sementara Wati, mendedikasikan dirinya untuk merawat ketiga anaknya yang menderita keterbatasan fisik karena penyakit polio.

Pada awal kelahiran, ketiga orang anak wati lahir dalam kondisi normal dan sempurna. Di hari kedua pasca kelahiran tiba-tiba anak Wati mengalami kejang-kejang dan secara perlahan tidak berkembang seperti anak pada umumnya. Tak lama setelah itu, anak-anak Wati dan Suhar mengalami kelumpuhan.

Fitri Wahyu Setia (13) biasa dipanggil Semi terlihat seperti anak berusia 7 tahun. Badan Semi sangat kurus jauh di bawah berat badan normal anak-anak seusianya. Pergelangan tangan dan kakinya terlihat sangat menonjol. Rambutnya yang pendek membuat Semi terlihat seperti anak laki-laki.

Rambut Semi dipotong pendek karena air liurnya sering menetes membasahi pipi dan sampai ke rambut. “Rambut Semi lurus bu tapi dipotong gitu biar gak basah kena liur” ujar Wati.Tetapi Semi mempunyai kulit yang halus putih bersih seperti anak perempuan pada umumnya. Bola mata Semi tidak bisa fokus melihat ke arah depan, terkadang berputar dan mengarah ke atas.

Wati sedang menjelaskan kondisi ketiga orang buah hatinya kepada relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas yang sedang memangku Hanif.

Proses kelahiran Semi dibantu oleh bidan yang tinggal tak jauh dari rumah Wati. Semi lahir dalam kondisi normal dan sehat, ketika berusia dua hari, tiba-tiba Semi mengalami kejang.

Wati dan Suhariadi membawa Semi ke orang pintar (dukun) dan hanya diberi minum air putih yang sudah didoakan. Sejak mengalami kejang-kejang itu perkembangan fisik Semi sangatlah lambat berat badan tidak bertambah dan tinggi badan tidak bertambah.

Di usia 8 bulan, Semi belum bisa memiringkan badannya sendiri. Selain itu Semi juga masih sering mengalami kejang-kejang. Bulan berganti bulan, kaki Semi mulai mengecil. Jangankan untuk berdiri, untuk duduk saja Semi tidak mampu.

Kekhawatiran Wati semakin tinggi, Semi dibawa ke dokter dan dokter mendiagnosis Semi terkena polio. Mendengar hal ini, hati Wati sangat sedih. “Rasanya sedih sekali bu, langsung lemas badanku” ucap Wati dengan mata berair.

Wati dengan penuh kesabaran dan ikhlas merawat Semi yang tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang. Mulai dari makan, minum, berganti pakaian, dan mandi semuanya hanya dilakukan di tempat tidur. Semi juga tidak dapat berbicara, hanya mengeluarkan suara seperti rintihan. Dia juga paling suka makan bubur.

Namun, Semi bisa mengerti tentang keadaan disekitarnya. Diantara ketiga anaknya, Semi yang paling suka tersenyum dan menyapa orang yang ada didekatnya. “Tadi waktu saya gendong, dia bisa kasih tatapan dan senyuman. Senyumnya manis sekali.” ujar Rugun Adelina, salah satu relawan Dharma wanita (DhaWa) yang ikut berkunjung.

Anak keduanya Siti Soleha (9) kondisi fisiknya juga tidak berkembang. Siti seperti anak berumur 5 tahun padahal usia Siti sudah 9 tahun. Begitupun dengan Soleha (kakak dari Siti), kondisi fisik badan Soleha sangat kurus jauh di bawah berat badan normal anak-anak seusianya sehingga membuat tulang tangan dan kakinya terlihat sangat menonjol.

Berbeda dengan Semi, rambut Soleha terlihat ikal dan sedikit lebih tebal. Kulit Soleha juga terlihat putih tetapi ada beberapa bagian seperti bekas gigitan nyamuk. “Kalau Soleha sering gatal-gatal kaya merah-merah, kalau sudah dikasih bedak nanti lama-lama kering “jelas Wati.

Rugun Adelina sedang memangku Semi dan Elly Damanik sedang memangku Soleha. Relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas berkesempatan untuk mengunjungi keluarga Suhariadi yang sangat membutuhkan bantuan.

Soleha juga lahir di tolong oleh bidan yang juga membantu persalinan Semi. Lahir dengan keadaan normal seperti anak lainnya, tetapi kembali terjadi ketika berusia dua hari tiba-tiba Soleha mengalami kejang-kejang. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Wati segera membawa Soleha berobat ke bidan setempat.

Namun seiring waktu perkembangan berat badan dan tinggi Soleha juga sangat lambat. Sama seperti Semi. Di usia 8 bulan Soleha belum bisa miring ke kanan atau ke kiri, ditambah lagi Soleha sering bersuara seperti ada dahak yang terhenti di tenggorokannya.

Soleha juga sering melakukan gerakan seperti kejang-kejang. Sama seperti yang dialami Semi, kaki Soleha juga mulai mengecil. Jangankan untuk berdiri, untuk duduk saja Soleha tidak mampu. Akhirnya Soleha dibawa ke dokter dan diagnosis dokter pada waktu itu juga sama seperti Semi yang terkena polio.

Mendengar hal ini, perasaan Wati kembali diuji untuk kedua kalinya. Kedua anaknya mengalami kelumpuhan dengan gejala yang sama. “Rasanya seperti tidak terima bu, ya Allah ngopo kok anakku meneh, koyo ora kuat rasane ati bu (ya Allah kenapa anak saya lagi, hati saya tidak kuat rasanya)” cerita Wati dengan mata yang berlinang. Namun Wati berusaha ikhlas, tegar, tabah, dan berusaha kuat demi kedua anaknya.

Sifat Soleha sedikit berbeda dengan Semi. Soleha lebih sering rewel dan menangis. Seperti ada sesuatu dirasakan kurang nyaman. Hal ini yang Wati sering sering menggendong Soleha. Untuk berkomunikasi, bola mata Soleha juga tidak bisa fokus melihat ke satu arah, terkadang berputar dan mengarah ke samping kiri atau kanan.

Berbeda dengan Semi, Soleha agak memilih dalam hal makanan. Jika diberikan bubur nasi Soleha lambat untuk menelannya tetapi jika diberi bubur kemasan, Soleha lebih cepat menelannya. Soleha sangat menyukai bubur kemasan rasa beras merah dan juga bubur instan kemasan yang tinggal seduh.

Muhammad Wiji Kasihani (4), biasa disapa Hani anak bungsu juga terlihat seperti anak yang masih berusia 3 tahun. Dibandingkan kedua kakaknya, Hani tampak seperti anak laki-laki normal pada umumnya. Pipinya tembam, badannya lebih berisi, lebih gemuk, kedua tangan dan kakinya juga leher Hani tidak kaku seperti kedua kakaknya. Hanya saja jika diangkat maka kedua tangan, kaki, dan lehernya lunglai tidak bertenaga.

Relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas melalui Dharma Wanita menyerahkan bantuan kepada Ibu Wati yang berada di Desa Bagan Jaya Kec. Enok, Kab. Inhil Riau.

Hani juga bisa menggerakkan badan miring ke kanan atau ke kiri dan kadang sampai tengkurap. Tatapan mata Hani lebih merespon dengan baik Hani sangat suka menonton TV terutama film kartun. Jika sudah melihat TV maka Hani jarang menangis.

Hani lahir melalui tangan seorang bidan yang juga membantu persalinan kakak-kakaknya. Lahir dengan keadaan normal seperti anak lainnya, tetapi kembali terjadi ketika berusia dua hari tiba-tiba Hani mengalami kejang-kejang. Wati tidak membawa Hani untuk berobat. Kali ini ia sudah pasrah menerima keadaan anak bungsunya yang mempunyai gejala sama dengan kakak-kakaknya.

Aku wis pasrah wae bu, bukan menyerah tapi wis ikhlas menerima kondisi tiga anakku, wis garis seko Gusti Alloh. Kadang yo meratapi nasib kenopo kudu anakku, kenopo kabeh anakku koyo ngene (Saya sudah pasrah Bu, bukan menyerah tetapi sudah ikhlas menerima kondisi ketiga anakku, sudah garisnya Gusti Allah. Kadang ya meratapi kenapa nasib, kenapa harus anak saya, kenapa semua anak saya seperti ini) “ujar Wati kembali berlinang air mata.

Wati lebih sering memberikan susu dan bubur untuk Hani sebagai pengganti obat. Kebetulan Hani lebih cepat untuk makan dan minum, nafsu makannya bagus dibandingkan kedua kakaknya.

Semi, Soleha, dan Hani tidak pernah mencicipi susu dengan merk apapun karena keterbatasan ekonomi keluarga Wati. Sejak lahir mereka terbiasa minum susu cair kaleng. Jika diganti susu bubuk, justru ketiganya mengalami gangguan pencernaan.

Keterbatasan ekonomi membuat Wati jarang sekali membawa anak-anaknya periksa ke dokter, terutama dokter spesialis syaraf. Wati tidak mengetahui dengan pasti apa sebenarnya penyakit ketiga anaknya. Yang ia lakukan hanya mengurus ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang.

Satu per satu anaknya diperhatikan dari mulai berganti baju, mandi, makan dan minum dilakukan secara bergantian. Karena keterbatasan ekonomi juga, Wati jarang membeli popok sekali pakai. Sudah terbiasa ketiga anak Wati buang air kecil dan besar di celana masing-masing.

Tak heran alas tilam ketiga anaknya tercium bau menyengat dikarenakan celana yang basah dalam waktu lama. “Paling repot kalau salah satunya pas demam bu, terus satunya rewel, mana suamiku agak kurang dengar, perasaan wis campur aduk tenan bu (perasaannya sudah campur aduk)” cerita Wati.

Para relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas Kab. Inhil Riau berfoto Bersama di depan rumah keluarga Foto bersama di depan rumah Suhariadi.

Kunjungan kasih kali ini membuat relawan tak kuasa menahan sedih dan haru melihat anak-anak Wati dan Suhar. “Susah diungkapkan dengan kata-kata, sedih sekali, baru ini saya melihat kondisi anak-anak seperti itu” ujar Julianti Nst sambil menyeka air matanya.

“Sangat terharu sekali, Ibu Wati adalah sosok ibu yang sangat luar biasa, belum tentu saya sanggup bila berada diposisi Mba Wati, saya banyak belajar dari Mba Wati, harus lebih banyak sabar dan bersyukur untuk segala hal” ujar Rugun Adelina.

Pada kunjungan ini, relawan memberi bantuan berupa bubur rasa beras merah, bubur nasi instan, susu cair kaleng, pampers, beras, minyak goreng, telur dan gula pasir. “Semoga dengan memberikan bantuan ini dapat membantu dan bermanfaat bagi keluarga Suhar dan Mba Wati” ujar Melisa Agustina. Wati sangat senang dan merasa bersyukur atas bantuan yang diberikan oleh relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas. “Hanya Allah yang dapat membalas kebaikan ibu-ibu semua” ujar Wati haru.

“Tentu kita semua sangat sedih melihat apa yang dialami Mbak Wati ini, semoga kunjungan ini bisa membantu meringankan beban Mbak Wati dan keluarga. Dan semoga kami bisa mengupayakan juga pengobatan yang terbaik untuk anak-anaknya” harap Fithria Calliandra, relawan yang mengikuti kunjungan kasih ini.

Kita tidak bisa memilih bagaimana kita dilahirkan, tetapi kita bisa hidup optimis dan bahagia. Dari Wati kita belajar tentang pengorbanan dan perjuangan seorang ibu yang sangat luar biasa.

Di tengah keterbatasan kondisi ekonomi, suami yang memiliki keterbatasan pendengaran dan tiga anak menderita berkebutuhan khusus, Wati tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, menjalani kehidupan dengan sabar dan ikhlas. Wati selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada ketiga anaknya.

Bagi Semi, Soleha dan Hani sosok Wati adalah malaikat tak bersayap. Kasih saying Wati amatlah besar seperti matahari yang bersinar terang dan tidak akan berhenti sepanjang nafas anak-anaknya masih berhembus. Sesuai dengan kata perenungan Master Cheng Yen “Budi orangtua amatlah besar seperti matahari yang bersinar terang”.

Editor: Anand Yahya

Artikel Terkait

Harapan Dalam Kunjungan Kasih

Harapan Dalam Kunjungan Kasih

29 Februari 2016

Senyum cerah terlihat dari semua wajah para penghuni Panti Jompo Wisma Sahabat Baru, Jakarta barat, pada Minggu pagi, 21 Februari 2016, saat relawan Tzu Chi berkunjung. Walaupun kunjungan Kasih ke panti ini telah sering dilakukan, namun selalu membuahkan kisah dan pengalaman yang berbeda setiap bulannya.


Sentuhan Hati Dalam Kunjungan Kasih

Sentuhan Hati Dalam Kunjungan Kasih

26 April 2012 Untuk kali ini, pada tanggal 26 April 2012, para relawan Tzu Chi Bandung melakukan kunjungan kasih ke Panti Wreda Senjarawi yang berlokasi di Jl. Jeruk, no. 7, Bandung.
 “Wati: Malaikat  Tak  Bersayap”

“Wati: Malaikat Tak Bersayap”

04 April 2022
Wati (32), warga Desa Rukun Damai, Bagan Jaya, Elok, Riau merawat tiga orang buah hatinya yang mengalami keterbatasan fisik. Suhariadi (42), (suami Wati) juga mengalami gangguan pendengaran, sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain.
Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -