Agam, Sum-Bar: “Kami Terasing di Sini”

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha
 

fotoDr Ryan, anggota tim medis Tzu Chi memeriksa salah satu anak korban gempa yang menderita pilek, karena terlalu sering tidur di luar rumah akibat trauma yang dialami masyarakat.

 

 ”Lihatlah nak, tak ada yang melihat kami. Rumah kami hancur tenda pun kami tak ada, belum lagi makanan dan minuman yang sudah semakin habis, pening kali rasanya kepala ini,” lirih Masdariah.

Badannya yang kurus masih bergetar. Air matanya pun perlahan mulai tumpah. Sambil terisak, ibu dari 5 orang anak ini meratapi rumah orangtuanya yang sudah hancur karena gempa. Tidak hanya rumah orangtua, rumah wanita berumur 38 tahun ini juga tidak luput dari getaran berkekuatan 7,6 skala ricter tersebut. “Mana berani kami tinggal di rumah itu lagi. Ada gempa susulan sedikit saja, bisa langsung terkubur kami di dalamnya,” ucap Masdariah, sambil memperlihatkan keretakan yang terdapat di dalam rumah.

 

 

 

Nagari Malalak Barat
Kondisi kerusakan bangunan yang terdapat di daerah Bantiang Tengah, Malalak Barat, Kabupaten Agam, Padang Pariaman, memang cukup parah. Menurut data dari Wali Nagari Malalak Barat, Darminto, terdapat lebih kurang 650 rumah dalam kondisi rusak dan tidak lagi layak huni. “Di Malalak Barat, terdapat lebih kurang 700 kepala keluarga yang terbagi di dalam 4 jorong, yakni Hulu Banda, Jl Bantiang Utara, Jl Bantiang Tengah, dan Jl Bantiang Selatan. Dan menurut informasi yang kami kumpulkan, hingga saat ini ada lebih kurang 7 warga meninggal, dan satu orang yang mengalami patah tulang,” jelas Darminto.

Walaupun tidak banyak merenggut korban jiwa, namun hingga saat ini kondisi kehidupan di daerah tersebut masih sangat sulit. Trauma psikologis dan menipisnya persediaan makanan dirasakan oleh masyarakat karena terputusnya akses jalan ke luar desa. “Baru hari ini (5 Oktober 2009-red), pihak TNI dan Tim kesehatan dari (Yayasan) Buddha Tzu Chi yang berhasil masuk ke desa ini,” ucap Darminto.

Ia menjelaskan, setelah jalan berhasil dibuka (sejak pagi hari -red) masyarakat harus berjalan melewati longsor untuk mendapatkan bantuan. “Butuh waktu sekitar 3 jam untuk bisa keluar dari Malalak Barat.”

Mendaki Gunung, Lewati Lembah
“Takut sih, tapi senang,” ucap dr Kimmy mantap. Berbeda dengan kegiatan bakti sosial sebelumnya, kali ini tim medis Tzu Chi mendapatkan pengalaman baru dalam layanan pengobatan mereka. Untuk membantu masyarakat korban gempa yang berada di daerah Malalak Barat, Kabupaten Agam, Padang Pariaman, tim medis Tzu Chi yang terdiri dari 3 orang dokter, 2 perawat, 2 anggota TNI, 2 relawan Jakarta, 3 relawan Pekanbaru, dan 4 orang tim dokumentasi, harus melewati jalanan yang terputus akibat longsor karena gempa.

foto  foto

Ket :  -Kondisi-kondisi rumah di daerah Prapatan Jl. Bantiang Tengah, Malalak Barat, Agam, Padang Pariaman             cukup parah sebab daerah ini termasuk paling dekat dengan sumber gempa. (kiri)
         -Walaupun kondisi medan jalanan yang dilalui menuju lokasi pengobatan sangat sulit, namun masih tetap             aman untuk dijalani meski harus dengan berjalan kaki. (kanan)

Medan yang harus dihadapi pun cukup sulit. Bahkan, mobil tim medis Tzu Chi sempat terjebak di dalam jalanan longsor, yang baru saja berhasil dibuka oleh pihak TNI. “Kondisi jalan sangat licin. Apalagi kami baru berhasil membuka jalan ini pagi tadi,” ucap salah satu tentara TNI dari Yonif 131/BRS/Payakumbuh, yang membantu mengeluarkan mobil tim medis Tzu Chi dari lokasi longsor.

Kondisi ini diperparah dengan trauma psikologis yang dialami oleh sejumlah masyarakat. “Mayoritas korban yang meninggal saat gempa terjadi, adalah mereka yang tengah berada di area sawah maupun jalanan. Oleh sebab itu, untuk sementara ini mereka masih enggan untuk pergi ke sawah,” terang Darminto, memberi alasan kenapa persediaan maknan di desa ini semakin menipis  

Setelah melewati beberapa bukit dan lembah yang sangat indah dan juga menegangkan (karena kondisi jalan yang rusak karena gempa), para relawan Tzu Chi akhirnya tiba juga di Bukit Koto Andale. Karena longsor di bukit ini cukup parah, dan tidak bisa dilalui dengan menggunakan mobil, maka tim medis Tzu Chi memutuskan untuk berjalan kaki menuju lokasi pengobatan.

Untung saja para tentara TNI berbaik hati untuk membantu para tim medis Tzu Chi untuk mencarikan kendaraan agar tidak jauh berjalan. “Para anggota TNI mencarikan kami honda (sebutan masyarakat setempat untuk motor -red),” ucap Atiam, salah satu relawan.

Namun demikian, para relawan tidak bisa terus menggunakan motor untuk sampai ke lokasi pengobatan. Mereka tetap harus berjalan kaki, karena kondisi jalan yang longsor. “Baru kali ini saya berjalan sejauh ini. Biasanya saya juga sering berjalan jauh tapi dengan kondisi jalan yang datar, tapi kali ini saya harus berjalan melewati hutan dan tanah longsor yang licin dan curam,” ucap Jamaludi, salah satu relawan Pekanbaru yang turut serta.

Sesampainya tim medis di Kantor Wali Nagari Malalak Barat, tim medis dibagi ke dalam dua tim. Tim pertama bertugas di Praptan Jl Bantiang Tengah, sedangkan untuk tim kedua mengambil lokasi di Hulu Banda.

foto  foto

Ket :  -Kartani, 71 tahun, dengan semangat berjalan untuk mendapatkan pengobatan terhadap kondisi kakinya             yang sakit akibat guncangan gempa. (kiri)
         -Sambil terisak, Masdariah menuturkan kejadian saat gempa menghancurkan rumah orangtua dan             rumahnya. Hingga kini ia masih trauma untuk tinggal di bawah atap bangunan. (kanan)

Terima kasih
Setelah berjalan lebih kurang satu kilometer dari Kantor Wali Nagari Malalak Barat, tim medis pertama yang terdiri dari dr Ryan, suster Ning, bidan Ella (dari Malalak Barat), relawan, dan tim dokumentasi, langsung membuka posko pengobatan sementara di sebuah teras rumah.

Tidak perlu menunggu lama, para pasien pun mulai berdatangan. Mayoritas dari mereka mengeluh pusing dan tidak enak badan. “Mungkin karena mereka masih takut untuk tidur di dalam rumah, jadi banyak dari mereka yang masuk angin. Tidak hanya itu, masyarakat juga banyak yang menderita penyakit kulit. Mungkin air di sini kurang baik,” ucap dr Ryan, yang berhasil melayani lebih kurang 100 pasien (81 resep, dan 29 non resep).

Hampir tiga jam tim medis Tzu Chi melayani para pasien. Jumlah pasien yang cukup banyak dan terus berdatangan, membuat tim medis tidak sempat meluangkan waktu untuk makan siang. “Capek dan menegangkan memang, tapi semua hilang setelah melihat ramahnya masyarakat, dan keindahan alam daerah ini,” tutur Risma, salah satu perawat yang merasa terharu dengan keramahan masyarakat Malalak Barat, ”Walaupun tengah dirundung musibah mereka tetap berbesar hati. Mereka selalu ucapkan terima kasih, walaupun kami hanya singgah dan ucapkan rasa prihatin.”

Karena persediaan obat-obatan yang telah habis, pengobatan pun akhirnya ditutup meski masih ada beberapa warga yang terus berdatangan. “Obat yang kami bawa terbatas, apalagi kami dibagi menjadi dua tim sehingga persediaan obat sangat terbatas,” ucap dr Ryan. Mau tidak mau akhirnya tim medis pertama memutuskan untuk menyelesaikan pengobatan dan kembali ke bukit Koto Andale untuk pulang.

Namun karena tim medis kedua belum selesai, dan sudah tidak kuat untuk kembali berjalan ke Bukit Koto Andale yang berjarak lebih kurang 20 km. Maka tim medis kedua memutuskan untuk menginap dan akan kembali melaksanakan baksos besok. “Sebenarnya obat-obatan mereka juga sudah habis, tapi besok kami akan membawa obat-obatan untuk mereka agar bisa kembali mengadakan baksos, sekaligus menjemput mereka pulang,” tegas Atiam.

Semangat tim medis untuk memberikan bantuan pengobatan kepada daerah yang belum terjamah oleh bantuan ini mengetuk banyak hati. “Terima kasih, kalian mau datang dan peduli kepada kami,” ucap Eloy, salah satu warga sambil tersenyum haru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 
 

Artikel Terkait

Keinginan Untuk Berbuat Kebajikan

Keinginan Untuk Berbuat Kebajikan

07 Mei 2013 Kegiatan tersebut rutin dilaksanakan pada minggu ketiga setiap bulannya dan pada bulan depan (Mei 2013) kegiatan pelestarian lingkungan akan dilakukan pada minggu pertama setiap bulannya.
Setitik Harapan dari Pancaran Kasih

Setitik Harapan dari Pancaran Kasih

05 Juli 2013 Disaat seperti ini kasih sayang, serta perhatian dan bantuan yang diberikan oleh relawan Yayasan Buddha Tzu Chi di dalam suasana kekeluargaan sangatlah dirasakan oleh para korban kebakaran dan secercah harapan terpancar kembali di wajah mereka.
Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -