Belahan Jiwa yang Telah Pergi

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoTan Kim Ling (kiri) semasa hidup. Penyakit sirosis membuatnya banyak kehilangan tenaga dan daya ingat. Namun kepedulian relawan membuatnya kembali memiliki semangat untuk menjalani hidup.

Ketika orang terdekat tidak lagi setia karena ketamakan mengingkari kepercayaan. Ketika kemakmuran harus digantikan dengan carut marut kemiskinan atau tatkala impian indah harus dipupuskan dengan kemalangan dan simpati harus dibayar dengan tipu daya. Rasanya tak ada cara lain bagi Tjioe Tjing Siong untuk melampiaskan kekecewaannya selain membalas dendam.

Belajar Memaafkan
Berbekal kemarahan yang didorong oleh kebencian dan segenggam keberanian yang diselimuti kegelapan batin, Tjing Siong bertekad membalas dendam kepada teman ayahnya yang telah menipu keluarganya.

Bersenjatakan sebuah pisau belati dan ditemani oleh seorang adik, Tjing Siong lantas mendatangi rumah teman ayahnya yang terletak di daerah Senayan, Jakarta Selatan. Tjing Siong yang diliputi kemurkaan menunggunya selama berhari-hari di sana. Ia berharap teman ayahnya pergi meninggalkan rumah dan ketika lengah, Tjing Siong siap menghunuskan belatinya. Menghempaskan teman ayahnya hingga tersungkur di tanah dan melampiaskan semua amarah, kebencian, serta kesedihannya dalam satu waktu. Namun setelah ditunggu-tunggu satu minggu, teman ayahnya belum juga menunjukkan batang hidungnya. Merasa lelah menunggu tanpa hasil, Tjing Siong bersama sang adik akhirnya terpaksa meninggalkan tempat itu.

Suatu hari ketika sedang berjalan di pintu Besar Selatan, Jakarta Barat, Tjing Siong melihat sosok teman ayahnya berada di tempat itu. Bagaikan seorang pemburu Tjing Siong segera berlari mengejar teman ayahnya. Tetapi sebelum Tjing Siong mendekat, teman ayahnya sudah berlari tunggang langgang, lalu menghilang setelah menaiki sebuah taksi. Kejadian kejar mengejar ini terus terulang dan berulang kali pula Tjing Siong luput melampiaskan dendamnya. Sampai akhirnya Tjing Siong yang aktif beribadat ke gereja mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Pada perjalanan spiritual yang lebih mendalam, Tjing Siong mulai bisa melupakan kebencian dan belajar memaafkan musuhnya. Sedikit demi sedikit, Ia mulai melapaskan dendam yang selama ini ia pikul bertahun-tahun di kedua pundaknya. Kasih telah membuatnya kembali pada kehidupan yang normal.

foto  foto

Ket: - Tjioe Tjing Siong (kaus merah) saat menyerahkan sepucuk surat kepada Johny. Cinta kasih dan              perhatian membuat Tjing Siong tegar menghadapi semua derita. (kiri)
          - Orang tua Tjioe Tjing Siong. Meski usianya telah lanjut tetapi ia masih memiliki kekhawatiran terhadap            kehidupan anak-anaknya, salah satunya adalah Tjing Siong. (kanan)

Istri Mengidap Penyakit Berbahaya
Mulailah Tjing Siong menjalani hari-harinya tanpa ada lagi rasa benci, membangun rumah tangga bersama Tan Kim Ling, dan bekerja sebagai pegawai di perusahaan farmasi. Perjalanan hidup yang berliku membuat Tjing Siong bersama Tan Kim Ling harus bekerja keras membanting tulang agar semua kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi. Namun sekeras apapun usaha yang ia lakukan, keberuntungan masih belum berpihak padanya. Pada akhir tahun 2006, menjelang tengah hari, Tan Kim Ling yang telah berusia 53 tahun tiba-tiba terjatuh dari tempat tidur. Tak banyak yang dikeluhkan Kim Ling saat itu, selain pandangan yang gelap dan badan yang terasa begitu lemas.

Dalam kecemasan, Tjing Siong segera membawa istrinya ke rumah sakit di daerah Tangerang. Hasil pemeriksaan laboratorium menjelaskan kalau Kim Ling menderita Sirosis, yaitu penyakit hati yang menyebabkan terjadinya peradangan sel hati dan membuat bentuk hati menjadi tidak normal. Dokter di rumah sakit itu mengatakan kepada Tjing Siong kalau istrinya tidak dapat hidup lebih lama lagi. “Paling cepat 3 bulan, paling lama 1 tahun,” kata Tjing Siong mengulangi ucapan dokter.

Di tengah kesedihan dan keputusasaan, tiba-tiba salah seorang teman Tjing Siong menyarankan agar ia mengajukan permohonan pengobatan ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Serasa mendapatkan harapan, Tjing Siong bergegas mendatangi kantor perwakilan Tzu Chi di Tangerang. Setelah semua syarat administrasi dipenuhi mulailah Tjing Siong membawa istrinya berobat ke RSKB Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. Ketika berobat di Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi, keadaan Kim Ling mulai memperlihatkan kemajuan. Meski penyakitnya sulit untuk disembuhkan, setidaknya setelah mendapatkan perhatian khusus dari para dokter dan relawan, semangat hidup Kim Ling kembali bersemi menuju pemulihan.

Namun, lama-kelamaan kondisi Kim Ling semakin tidak stabil. Kim Ling sering keluar masuk rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang selalu lemah dan harus menjalani rawat inap. Keadaam seperti ini berlangsung terus selama kurang lebih 4 tahun. Sampai akhirnya pada medio April 2010, kondisi Kim Ling kembali kritis. Tubuhnya semakin lemah tak berdaya dengan kesadaran yang kian menurun.

foto  foto

Ket: - Para relawan saat kembali menjenguk Tjioe Tjing Siong untuk melihat keadaannya dan menjadi sahabat            di tengah kesepiannya. (kiri).
        - Setelah beberapa kali mencoba bekerja, Tjing Siong menjadi sopir taksi serabutan, setelah itu ia menjadi           penjual pot tanaman. (kanan)

Surat untuk Tzu Chi
Perasaan Tjing Siong semakin hancur. Melihat kondisi Kim Ling semakin tak sadarkan diri, Tjing Siong tahu kalau ajal telah menanti istrinya dan waktu yang ia miliki untuk bersama-sama akan segera berakhir. Maka sepanjang hari Tjing Siong berada di samping istrinya yang terbaring di tempat tidur. Menggenggam jemarinya yang lemah dan membisikkan kata-kata terakhir di samping telinganya. Meski Kim Ling tak lagi mampu membalas perkataannya, tetapi Tjing Siong yakin kalau istrinya merasakan kasih yang ia persembahkan. “Dia tak dapat berkata apa-apa lagi. Selama ini dialah teman hidup saya. Kemana saya pergi, saya selalu ajak dia. Kita selalu bersama, pergi kerja bersama. Saya sangat kehilangan sebagian jiwa saya,” kata Tjing Siong bersedih.

Kecemasan dan keikhlasan bercampur aduk di hati Tjing Siong saat itu. Meski ia memiliki keinginan yang kuat untuk kesembuhan istrinya, tetapi suratan takdir tak mampu ia elakkan. Tepat tanggal 20 April 2010, pukul 02.00 dini hari Tan Kim Ling meninggal dunia. Di tengah kesedihannya di rumah duka, Johny Chandrina relawan Tzu Chi datang menghampirinya. Mengucapkan rasa belasungkawa dan menyemangatinya agar tak jatuh dalam keterpurukan. Maka setelah prosesi kremasi selesai dilaksanakan, Tjing Siong menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Tzu Chi sebagai ungkapan rasa syukur atas kasih yang ia terima selama ini. “Selama 4 tahun Tzu Chi memberikan pengobatan kepada istri saya dan para relawan setia memberikan penghiburan,” ungkapnya penuh haru di dalam suratnya. Dan sebagai tanda keseriusannya mengucapkan rasa syukur, Tjing Siong membeli sebuah celengan bambu, mengisinya sedikit demi sedikit. Setelah cukup penuh ia serahkan kepada Johny. Cinta kasih telah membuat Tjioe Tjing Siong mampu melupakan semua kebenciannya dan menggantikannya dengan maaf. Akhirnya. Cinta kasih pula yang mengantarkannya pada Tzu Chi, memberinya kekuatan hati di tengah putus harapan dan tahu berucap syukur.

  
 
 

Artikel Terkait

Membantu Korban Kebakaran di Tamalanrea, Kota Makassar

Membantu Korban Kebakaran di Tamalanrea, Kota Makassar

09 Desember 2021

Tzu Chi Makassar memberikan perhatian bagi 11 keluarga yang menjadi korban musibah kebakaran di Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.

Bulan Tujuh Penuh Berkah: Bulan Bakti dengan Membasuh Kaki Orang Tua

Bulan Tujuh Penuh Berkah: Bulan Bakti dengan Membasuh Kaki Orang Tua

25 Agustus 2022

Dalam rangka Bulan Tujuh Penuh Berkah, relawan Tzu Chi Makassar mengadakan kegiatan basuh kaki dan persembahan teh kepada orang tua. Kegiatan ini dihadiri oleh 59 relawan dan tamu.

Pekan Amal Tzu Chi 2019: Semarak Pekan Amal Tzu Chi

Pekan Amal Tzu Chi 2019: Semarak Pekan Amal Tzu Chi

21 Oktober 2019

Di sudut area kantin yang menjajakan makanan vegetarian, terlihat Tina Lee dan sejumlah relawan sedang sibuk berjualan, menggoreng, menyiapkan minuman, dan lain-lain. Mereka adalah relawan dari Da Ai Mama Tzu Chi School, yang sudah berpartisipasi dalam pekan amal sejak 2015.


Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -