Dalam Ikatan Jodoh (Bagian II)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

fotoLu Lien Chu, Ketua Tzu Chi Tangerang saat menyerahkan kwitansi atas sumbangan Watiyem kepada Tzu Chi. Bantuan yang diterima oleh kedua putrinya tidak membuat Watiyem lupa akan balas budi.

 

Awalnya Sakit 
Hari itu Maria sudah duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Kejuruan Pustek, Tangerang. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Beberapa benjolan tumbuh di kedua payudaranya. Merasa tidak nyaman, Maria lantas bercerita kepada salah satu temannya, “Kok ini (dada) ada benjolan kenapa ya?” keluh Maria. “Sudah periksa saja ke dokter,” saran si teman. Mengira hanya benjolan biasa, Maria pun mengacuhkannya. Sampai suatu hari, Mika kembarannya juga mengeluhkan hal yang sama, “De, ini kok ada benjolan kenapa ya?” tanya Mika. “Saya juga punya Mbak di situ. Mungkin kembar kali, jadi sama-sama punya,” kata Maria mencoba menalar. “Nggak, De. Kayaknya penyakit deh,” tegas Mika. “Ya udah kita periksa aja ke dokter ya,” balas Maria.  

 

 

 

Karena belum memiliki keberanian dan biaya untuk memeriksakan diri ke dokter, Mika dan Maria mengadu kepada Linda, bibinya. Hingga akhirnya dua tahun kemudian berita ini mereka sampaikan sendiri ke Maria Situhardja. “Tante, saya kok ada benjolan  di dada,” kata Mika. Penasaran, Maria langsung membuka baju Mika dan memeriksa sendiri. “Oh, kok keras,” Maria terperanjat. “Sudah berapa lama?” tanya Maria. “Sudah ada dua tahun,” jawab Mika. “Loh, kok! Kenapa baru kasih tahu sekarang” kata Maria heran. Mika yang panik tidak banyak berkata-kata saat itu. “Ya sudah, kamu nanti pergi saja ke klinik minta diantar Linda,” perintah Maria.

Karena tumor dipayudara Mika lebih terasa sakit, Maria Situhardja segera memerintahkan Linda untuk meminta dokter melakukan biopsi. Selesai biopsi, dokter menyarankan agar tumor di payudara Mika harus diangkat melalui operasi. Biaya operasi saat itu berkisar Rp 9 – 10 juta. Karuan saja Linda yang mendengarnya menjadi lemas. Biaya sebesar itu hanya untuk mengoperasi satu orang saja, bila dua orang tentu menjadi dua kali lipatnya.

Sekali lagi Linda dengan berat hati mengajukan permohonan bantuan kepada Budhi. Tetapi sayang, kondisi usaha sedang sepi, Budhi hanya mampu membiayai satu kali operasi. Itupun hanya untuk mengoperasi Mika, karena ia terlihat lebih kritis dibandingkan saudaranya.

Memahami keadaan usaha majikannya yang tak seramai dahulu, membuat Linda harus berusaha keras mencari cara untuk memperoleh separuh lagi biaya. Ketika itu Linda sempat berpikir untuk meminta bantuan kepada Yayasan Buddha Tzu Chi, karena waktu itu ia sering menyaksikan tayangan Da Ai TV. Tetapi bagaimana cara dan di mana ia harus mengajukannya, membuat keinginan memohon bantuan itu seolah buntu. Linda juga sudah berusaha mengajukan permohonan keringanan biaya kepada rumah sakit dengan menyertakan surat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) milik Mika dari Jawa Tengah. Karena berbeda wilayah, hasilnya pun sia-sia. Surat itu tidak berlaku di luar domisili.

Di tengah keputusasaan, ketika sedang beribadat di gereja, Linda bertemu dengan Liana. Dari obrolan ringan akhirnya berujung ke masalah penyakit yang diderita oleh Mika dan Maria. “Coba Mba Lin datang aja ke Buddha Tzu Chi,” saran Liana. Liana adalah pasien penerima bantuan Tzu Chi yang menderita TBC tulang dan kini telah sembuh. Serasa mendapat angin segar, Linda lanjut bertanya, “Gimana caranya dan di mana mengajukannya?”

foto  foto

Ket: - Ketika duduk di kelas 2 SMK. Maria merasakan sesuatu yang beda di tubuhnya, beberapa benjolan tumbuh             diantara kedua payudaranya. (kiri).
        - Rabu, 16 September 2009, Lu Lien Chu, Shinta, dan Yeti Purnamasari kembali datang mengunjungi Mika            dan Maria di tempat kerjanya. Lu Lien Chu sangat gembira dan merasa kagum kepada Budhi dan Maria yang            begitu peduli kepada Mika dan Maria. (kanan)

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Liana, pada 27 Juli 2009, Linda bergegas mendatangi Kantor Tzu Chi Tangerang di Lippo Karawaci. Linda lalu bertemu dengan salah satu relawan. Saat itu Linda disarankan untuk mengisi formulir dan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Dalam melengkapi SKTM ini, Linda harus pulang ke kampungnya di Caruban, Kecamatan Kare, Madiun, Jawa Timur. Kepulangan Linda kali ini selain untuk mengurus surat-surat, ia juga bermaksud memberitahu keadaan Mika dan Maria yang tengah sakit kepada kedua orangtuanya.

Kedatangan Linda yang tak terencana membuat kejutan bagi Watiyem dan Rahman. Hati mereka diliputi berbagai pertanyaan, “Kamu kok pulang. Ada apa toh, Lin?” tanya Watiyem. Linda yang masih membisu membuat Watiyem semakin penasaran. Dengan kalem Watiyem mendesak, “Ada apa, Lin, kok diam saja?” Tanpa basa-basi Linda langsung masuk ke inti persoalan. “Lek (bibi- red) kamu ikut aku ya ke sana (Jakarta) sekarang. Anak kamu dua-duanya sakit,” terang Linda. “Dua-duanya sakit apa, Lin?” tanya Watiyem penasaran. “Dua-duanya sakit kanker payudara,” balas Linda. “Ya Allah..! Lah ini bagaimana, Lin?” teriak Watiyem terkejut.

Rahman yang semula berdiam santai mendadak menjadi tegang. Di benaknya terpikir kondisi kehidupannya yang sulit, akan ditambah dengan kanker yang diderita kedua putrinya. Penyakit mematikan yang sulit disembuhkan. Tak kuat membayangkan, Rahman pun jatuh pingsan.

Setelah diberi minum, tak berapa lama kemudian Rahman tersadar. Dan Linda baru menjelaskan, “Tenang saja, Lek. Lek tak bawa ke sana, tak cari jalan keluarnya. Periksa di rumah sakit memang minta biaya Rp 10 juta untuk operasi satu orang.” “Lah, bagaimana Lin. Sedangkan penghasilan saya dan suami saya tidak begitu banyak, sehari pun belum tentu bsa mendapat Rp 100 ribu. Bagaimana terkumpul Rp 10 juta,” keluh Watiyem. “Ya sudah, Lek. Nanti biar saya yang cari jalan keluarnya minta bantuan ke Buddha Tzu Chi,” Linda menenangkan. “Ya sudah,” jawab Watiyem pasrah. Akhirnya Watiyem ikut bersama Linda ke Tangerang.

foto  foto

Ket: - Di tengah kesibukannya Tanpa buang waktu Maria langsung menanya kapada Shinta tentang keputusan Tzu           Chi untuk membantu Mika dan Maria. Permohonan yang disetujui membuat Maria Gembira dan segera                meminta Linda untuk keberangkatan Mika dan Maria. (kiri).
        - Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi, sejak dahulu Watiyem sudah mempunyai keikhlasan hati. Tak            jarang ia merelakan uang yang ia pinjamkan bila orang yang meminjamnya tidak mampu membayar.            (kanan) 

Menit Keberuntungan
Di Jakarta, 6 Agustus 2009, Shinta, relawan Tzu Chi Tangerang langsung mendatangi Mika dan Maria guna menyurvei keadaan yang dilaporkan dalam formulir permohonan. Ketika itu Mika sudah mengeluh nyeri kepada Shinta. Dengan berbekal informasi dari kunjungan itu, Shinta membawa kasus ini dalam rapat. Apa yang ia lihat dan dengar, ia sampaikan kepada Lu Lien Chu di depan forum rapat.

Tanpa banyak pertimbangan, melihat kondisi Mika yang genting, Lien Chu dan relawan Tzu Chi Tangerang lainnya langsung menyetujui Mika dan Maria menjadi pasien bantuan Tzu Chi pada 11 agustus 2009.               

Di tempat terpisah, Mika, Maria, dan Linda menanti dengan kecemasan. Khawatir Tzu Chi tidak jadi membantu, Linda memutuskan untuk memulangkan sementara Mika dan Maria ke kampung, dengan harapan Jamkesmas milik Mika bisa digunakan di Madiun dan berobat di sana.

Pada pukul 12.00, salah seorang saudara mengantar Mika dan Maria ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta untuk naik kereta api ke Madiun. Di atas kereta api, barang-barang Mika dan Maria sudah disusun rapi di atas rak dan mereka sedang menanti keberangkatan yang tinggal beberapa menit lagi.

Di Kantin Murah, Maria masih sibuk melayani beberapa konsumen yang berbelanja. Tiba-tiba ia melihat Shinta yang tengah melintas. Cepat-cepat Maria memanggil. Tanpa membuang waktu Maria langsung menanyakan kepada Shinta tentang keputusan Tzu Chi untuk membantu kedua ponakannya. Dengan yakin Shinta mangatakan permohonan itu sudah disetujui. Gembira bercampur haru, Maria segera meminta Linda untuk menghubungi saudaranya yang mengantar Mika dan Maria untuk membatalkan keberangkatan.

Beruntung, dua menit sebelum kereta berjalan, si saudara berteriak dari balik jendela kereta, “Cepetan turun! Orang yang di Tzu Chi mau bantu.” Bagai sambaran petir, berita ini sangat mengejutkan. Secepat kilat Mika dan Maria menghempaskan barang-barangnya dari balik kereta, kemudian mereka bergegas keluar.

Karena kondisi Mika dinilai genting, keesokan harinya, atas saran Lu Lien Chu, Mika di bawa ke Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih  Tzu Chi, Cengkareng Jakarta Barat. Pertama tiba di sana, Mika langsung diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam. Rasa sakit yang terus menggigit mendorong Lien Chu secepatnya meminta dr Hendri, S.Pb untuk segera menanganinya. Kebetulan ia sedang bertugas dan hasil pemeriksaan darah sudah kelihatan, maka hari itu juga operasi Mika dilaksanakan.

Sesudah Mika dioperasa, sebulan kemudian, 10 September 2009, giliran menyusul Maria yang dioperasi. Dibanding Mika, tumor Maria lebih kecil dan tidak terasa sakit.

foto  foto

Ket: - Watiyem yang semula berhati baik. Dengan keterbatasannya ia masih mau berbagi dengan orang lain. Maka            saat ia dalam kesulitan, ia masih bertemu dengan orang-orang yang tulus memberikan pertolongan            kepadanya.   (kiri).
        - Lu Lien Chu mengucapkan terima kasih kepada Budhi yang telah memberikan kelonggaran waktu bagi Mika            dan Maria untuk menjadi relawan Tzu Chi.  (kanan)      

Ingat Budi
Watiyem yang sudah 2 bulan berada di Jakarta menemani kedua putrinya berobat, melihat bantuan Tzu Chi telah memberikan harapan. Bukan saja terhadap kedua putrinya, tapi juga terhadap orang-orang di sekelilingnya, Linda, Budhi, dan Maria. Watiyem merasa yakin bahwa semua ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah mempertemukan kedua putrinya dengan orang-orang yang bijak, bekerja di tempat yang sesuai dengan majikan yang murah hati dan memperoleh bantuan Tzu Chi di waktu yang tepat.

Seolah harapan kembali menyala, Watiyem dalam suatu kesempatan bertanya kepada Mika, “Kamu punya uang berapa Mik?” “Kalau punya uang, biar sedikit kamu sumbang, Nak. Kamu kan sudah ditolong, masa kamu tidak balas budi,” kata Watiyem memberi nasihat. “Dua juta,” jawab Mika jujur. “Lah, emangnya kamu nggak kerja. Kamu belikan baju, belikan handphone, lebih baik kamu sumbang,” sarannya. “Untuk Mak gimana?” kembali Mika bertanya. “Mak tidak minta. Sekarang tinggal berapa uang kamu?” desak Watiyem. “Tinggal Rp 1,5,” kata Mika. “Yang Rp 1 juta kamu sumbangin. Kamu itu sudah disumbang banyak sekali loh, Nak,” pinta Watiyem.

Akhirnya tanpa ragu Mika menyerahkan tabungannya kepada Watiyem untuk didonasikan ke Tzu Chi. Meski hidup dalam keterbatasan, sejak dahulu Watiyem sudah mempunyai keikhlasan hati. Apa yang bisa ia berikan akan ia serahkan sepenuh hati. Tak jarang ia merelakan uang yang ia pinjamkan bila orang yang meminjamnya tidak mampu membayar. Atau membantu menggarap kebun tanpa bayaran bila ada yang meminta. “Meski saya kekurangan, tetapi kalau ada yang membutuhkan (bantuan), saya ikhlas membantu,” ujarnya.

Rabu, 16 September 2009, Lu Lien Chu, Shinta, dan Yeti Purnamasari kembali mengunjungi Mika dan Maria di tempat kerjanya, BSD, Sektor 1, Tangerang. Pada kesempatan itu, Lien Chu menyerahkan kuitansi beratasnama keluarga Watiyem.

Terlihat Lien Chu sangat gembira ketika bertemu dengan Maria Situhardja. Bercampur haru, Lien Chu mengaku kagum melihat Budhi dan Maria yang begitu baik kepada Mika dan Maria. Dengan tulus mereka mendatangkan Maria dari kampung, menyekolahkan dan sangat peduli dengan status Mika. Lien Chu berharap agar hubungan baik yang tidak membedakan ini terus berlanjut bagai satu keluarga yang saling membantu. “Karena Ibu Watiyem adalah seorang yang berbudi, maka ia bertemu dengan Budhi-Maria yang murah hati. Ini adalah sebuah jodoh. Sampai bertemu dengan Tzu Chi juga dikarenakan adanya jodoh baik,” terang Lien Chu.

Budhi yang hari itu ditemui juga mengucapkan terima kasih kepada Tzu Chi atas bantuan yang diberikan kepada Mika dan Maria. Ia mengaku tidak keberatan dan akan memberi kelonggaran waktu kepada Mika dan Maria bila mereka ingin ikut menjadi relawan. “Buat saya tidak menjadi masalah. Kalau Mika ingin membantu Tzu Chi setiap hari Minggu akan saya kasih. Sebab itu adalah kebaikan,” katanya dengan tegas.

Sekecil apa pun kebajikan tidak akan ada yang sia-sia. Setidaknya itulah prinsip bagi Budhi Mulyana Situhardja, Maria Situhardja, dan Linda. Mereka adalah orang-orang yang mengisi kesempatan dengan membantu orang lain dan pandai bersyukur.

Pada dasarnya apa yang ditanam hari ini, itulah yang akan dipetik kemudian hari. Si penabur benih akan menuai panen, si penebar angin akan menuai badai. Itulah hukum sebab akibat. Meki hidup dalam dalam kemiskinan, Watiyem tetap mempunyai hati yang baik. Dengan keterbatasannya ia masih mau berbagi dengan orang lain. Maka saat ia dalam kesulitan, ia masih bertemu dengan orang-orang yang tulus memberikan pertolongan kepadanya.

  

 
 

Artikel Terkait

Pemberkahan Akhir Tahun : Menanam Padi dari Angpau Master

Pemberkahan Akhir Tahun : Menanam Padi dari Angpau Master

12 Januari 2014

Setiap tahunnya insan Tzu Chi di seluruh dunia selalu menggelar acara pemberkahan akhir tahun, begitupun insan Tzu Chi Indonesia. Di acara pemberkahan akhir tahun ini, setiap insan Tzu Chi berdoa dan bersyukur atas berkah yang diterima sepanjang tahun.

Gempa Nepal: Benih yang Terus Ditabur

Gempa Nepal: Benih yang Terus Ditabur

11 Mei 2015
“Sebenarnya saya masih belum ikhlas. Saya masih mengharapkan rumah saya tidak rubuh. Alangkah bahagianya hati saya jika demikian halnya.”
Pelestarian Lingkungan Plus di Taman Aries

Pelestarian Lingkungan Plus di Taman Aries

05 April 2017
Relawan Tzu Chi di Jakarta Barat terus menggalakkan berbagai kegiatan pelestarian lingkungan. Bahkan kali ini, ada empat kegiatan yang ditambahkan, seperti membuat suvenir dari bekas bungkus kopi, membuat Garbage Enzyme, dan merawat kebun.
Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -