Di tengah lorong sempit yang kini dipenuhi bahan bangunan, Iis berdiri memandangi tembok rumah barunya yang tengah dibangun. Dengan tatapan penuh harap, ia menyentuh dinding bata yang suatu hari akan menjadi ruang aman bagi keluarganya. “Saya nggak nyangka rumah ini benar-benar dibangun,” ucapnya lirih. Rasa syukur tak henti mengalir dari matanya yang berkaca.
Sore itu, sinar matahari menyelinap lembut di sela-sela tiang rumah yang sedang dibangun. Iis Komaria (56) tampak menyapu lantai rumah barunya yang belum sepenuhnya rampung. Debu dan sisa potongan kayu ia rapikan satu per satu, seolah mempersiapkan rumah itu untuk tamu istimewa. Hari itu, ia berharap para relawan Tzu Chi dan Menteri PKP Maruarar Siarait mendatangi dan melihat secara langsung progres pembangunan rumahnya. Di matanya, rumah itu bukan sekadar bangunan baru tetapi jawaban dari doa-doanya selama bertahun-tahun.
Sebelum mendapat bantuan pembangunan rumah, Iis tinggal bersama dua anak dan adiknya di sebuah rumah tua di gang sempit di sudut Kota Bandung. Rumah itu berada di RT 001/003, Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler. sebuah bangunan sederhana yang dindingnya mulai mengelupas dan atapnya rapuh dimakan usia. Di rumah itulah Iis dilahirkan, dibesarkan, dan membesarkan anak-anaknya, bertahan dalam segala keterbatasan lintas generasi.
Dengan sapu di tangan, Iis menyapu lantai rumahnya yang masih dalam proses renovasi. Debu dan sisa semen belum hilang, tapi harapan sudah lebih dulu tumbuh di hati. Meski dikelilingi tembok belum jadi dan tumpukan bahan bangunan, senyum kecilnya menyimpan doa: semoga rumah ini segera berdiri kokoh dan menjadi tempat berlindung yang layak bagi keluarganya.
Seiring waktu, rumah itu tak lagi layak disebut tempat berlindung. Setiap kali hujan turun, bukan hanya air yang masuk, tapi juga rasa cemas yang menghantui. “Kalau tidur suka basah, air dari atas atap netes ke dalam rumah. Saya harus siapkan ember-ember di mana-mana,” ujar Iis lirih, mengenang hari-hari penuh kekhawatiran. “Pernah bagian lantai atas ambruk sedikit, saya sangat takut kalau rumah ini benar-benar roboh.”
Hari-hari Penuh Perjuangan
Sebagai buruh harian yang saat ini juga membantu membuat kue nagasari dengan penghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan, hidup Iis penuh dengan perjuangan. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, setelah selesai membuat kue nagasari di siang hari, ia melanjutkan berjualan gorengan setiap sore. Jika sedang beruntung, dagangannya bisa menghasilkan hingga Rp 50 ribu per hari.
“Anak saya ada yang masih sekolah dan satu lagi sudah bekerja di Jakarta. Saya hanya ingin mereka bisa hidup lebih baik dari saya,” ujarnya dengan nada lirih penuh harap.
Di tengah segala keterbatasan itu, satu hal yang tidak pernah ia tinggalkan adalah berdoa. “Siapa tahu ada bantuan untuk saya, karena kalau mengandalkan saya sendiri, membangun rumah itu tidak mungkin, suami saya sudah tidak bisa bekerja karena sakit,” ucap ibu dua anak ini.
Suasana penuh kehangatan dan canda tawa saat Wakil Ketua Yayasan Buddha TzuChi Indonesia Sugianto Kusuma, Ketua Komite Pembangunan Tzu Chi Eka Tjhandranegara, Wakil Ketua Komite Pembangunan Tzu Chi Pui Sudarto bersama Menteri PKP Maruarar Sirait dan Wali Kota Bandung, Sekertaris Daerah Provinsi Bandung bertemu warga. Di tengah sempitnya gang, hati mereka justru lapang disatukan oleh semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Kebahagiaan sederhana yang tak bisa diukur oleh ukuran rumah, tapi oleh kasih yang tulus.
Sampai pada suatu hari, harapan itu datang mengetuk pintu rumahnya. Relawan dari Yayasan Buddha Tzu Chi datang untuk survei dan mengabarkan bahwa rumahnya akan direnovasi atau dibangun ulang melalui program bebenah kampung renovasi rumah tidak layak huni, bekerja sama dengan Kementerian PKP dan Pemerintah Daearah Jawa Barat. Sesaat Iis sempat terdiam. Ia tak percaya.
“Saya pikir, nanti pasti diminta biaya tambahan. Saya takut karena enggak punya tabungan,” kenangnya. Namun kekhawatiran itu segera sirna ketika para relawan meyakinkannya, “Ibu tidak perlu pikirkan biaya apa-apa. Semuanya akan dikerjakan sampai selesai, tidak ada biaya tambahan sedikit pun,” jelas Iis mengenang perkataan dari relawan Tzu Chi.
Yang membuat Iis makin terharu adalah perhatian relawan Tzu Chi yang tak hanya memikirkan rumahnya, tetapi juga memastikan dirinya dan keluarga tidak terlantar selama masa renovasi. “Kami bahkan dikasih uang kontrakkan dari Pak Dedi (Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi). Saya bisa tinggal dengan tenang, tidak bingung cari tempat,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. “Saya benar-benar tidak menyangka. Rasanya seperti mimpi.”
Perhatian yang Menghangatkan Hati
Selama proses renovasi berlangsung, para relawan Tzu Chi Bandung menunjukkan perhatian yang mendalam kepada Iis. Mereka tak hanya datang untuk mengecek progres pembangunan rumahnya, tapi juga datang membawa senyum, mendengarkan cerita, dan memastikan bahwa Iis merasa didampingi.
Dengan suara bergetar Iis menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Menteri PKP Maruarar Siarait. Iis menyampaikan rasa terima kasih kepada Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma. Dia dipenuhi rasa syukur dan haru di hadapan para relawan Tzu Chi dan pejabat pemerintah pusat dan daerah provinsi Jawa Barat yang hadir.
“Saya merasa seperti punya keluarga baru. Mereka (relawan Ida Widawati) datang bukan cuma melihat tukang yang kerja, tapi seperti saudara yang peduli,” ungkap Iis. Di tengah kesibukan mereka, para relawan tak pernah lupa menanyakan kabarnya, mendengarkan keluh kesah dan menyemangati Iis untuk tetap kuat.
Setiap kunjungan relawan seolah menjadi pengingat bahwa Iis tidak sendiri. “Saya merasa diperhatikan. Bukan cuma rumah saya yang dibangun, tapi hati saya juga seperti diisi kembali,” tutur Iis dengan suara bergetar.
Harapan yang Kini Nyata
Kini, rumah Iis yang berdiri di atas tanah 22,5 m² dan luas bangunan 22,5 m² sedang dalam proses pembangunan. Rumah yang dulunya hampir roboh kini tampak berdiri kokoh, yang pasti Tzu Chi memberi rasa aman dan kenyamanan yang selama ini hanya ada dalam doa. “Nanti saya bisa tidur tanpa takut, anak-anak juga bisa belajar dengan tenang. Saya sangat bersyukur,” ucap Iis penuh haru.
Lebih dari sekadar bangunan, rumah itu adalah simbol cinta kasih. Simbol bahwa di tengah keterbatasan, masih ada tangan-tangan yang terulur, masih ada hati-hati yang peduli. Dan bagi Iis, bantuan itu bukan hanya soal rumah, tapi tentang kesejahteraan, harapan, dan masa depan.
Di tengah deretan senyum hangat dan gestur cinta dari para relawan dan warga, tergambar semangat gotong royong yang menyatukan. Tidak ada sekat antara yang membantu dan dibantu, semuanya berdiri sejajar sebagai saudara, berbagi harapan dalam pembangunan kampung yang lebih layak dan manusiawi.
Kisah Iis hanyalah satu dari 11 rumah tahap 1 di Kelurahan Jamika Kota Bandung. Banyak kisah penuh haru yang lahir dari Program Bebenah Kampung Renovasi Rumah Tidak Layak Huni yang dijalankan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
Program ini bukan sekadar pembangunan fisik rumah, melainkan juga pembangunan jiwa manusia yang tinggal di dalam rumah yang sehat, aman, dan nyaman. Dengan pendekatan humanis, relawan Tzu Chi Bandung dan Jakarta turun langsung, mendengar, memahami, dan menguatkan warga Jamika. Relawan Tzu Chi hadir bukan hanya sebagai pelaksana, tapi sebagai keluarga bagi para penerima manfaat program Bebenah kampung renovasi rumah tidak layak huni.
Dengan semangat gotong royong dan cinta kasih yang universal, Tzu Chi membuktikan bahwa ketika kita saling peduli, rumah tak hanya berdiri lebih kokoh, tapi juga menghangatkan hati penghuninya.
Editor: Metta Wulandari