Eratkan Hati Melalui Untaian Kasih

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

Sairi, satu dari empat pasien dari Kepulauan Seribu yang menjadi pasien mata (katarak) mendapat pelayanan yang ramah dari petugas medis. Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-59 ini bekerjasama dengan Dephan di RS DR Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan.

Sejak pukul 07.00 pagi, barisan bangku pendaftaran pasien bakti sosial kesehatan di Rumah Sakit Dr Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan sudah terisi penuh. Para pasien yang berasal dari wilayah Bintaro, Tangerang, Cengkareng, Pesantren Nurul Iman, dan Kepulauan Seribu tersebut akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menjalani operasi minor, mayor, katarak dan bibir sumbing, yang sempat ‘terlupakan’ karena keterbatasan ekonomi mereka. “Daripada buat operasi, mendingan buat makan, Mbak,” ucap salah satu pasien katarak.

Baksos kesehatan gratis yang diadakan 25 - 26 Juli 2009 ini merupakan kerjasama antara Pusrehab Dephan dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. “Ini adalah kali ketiga kami bekerjasama dengan RS Dr Suyoto Pusrehab Dephan,” tutur Agus Rijanto, selaku perwakilan dari Tzu Chi. Dalam sambutannya, Agus pun berharap selain meringankan penderitaan sesama, kegiatan tersebut juga mengeratkan tali persaudaraan di antara tim medis, relawan dan seluruh peserta baksos.

Seuntai Kasih antar Pulau
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Sairi, kalau akhirnya harapan untuk kembali menjalani ibadah salat Jumat di Masjid dapat terwujud. “Tadinya saya sempat putus asa karena hampir tiga bulan tidak ada kabar dari pihak Dephan,” ucap Sairi.

Lebih kurang tiga bulan yang lalu, Sairi memang telah melakukan pemeriksaan dalam kegiatan baksos kesehatan yang dilakukan oleh Dephan di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Namun karena saat itu, baksos yang dilakukan tidak ada tindakan operasi, maka penyakit katarak yang dideritanya tidak bisa langsung dapat ditangani. Setelah tiga bulan menunggu, tidak disangka akhirnya panggilan untuk operasi datang.

“Saya tidak percaya. Saya sempat berpikir kalau pihak Dephan tidak serius membantu saya untuk operasi, tapi ternyata saya salah. Tidak hanya operasi, biaya transportasi dan tempat menginap juga telah disediakan oleh Dephan,” jelas Sairi, yang merasa senang setelah mengetahui ada tiga orang lain yang mendapatkan fasilitas serupa dengan dirinya.

Sudah hampir tiga tahun Sairi tersiksa dengan keadaan matanya. Mantan nelayan ini sudah tidak bekerja sejak kedua matanya tidak lagi dapat melihat dengan jelas. “Awalnya saya merasa ada yang aneh dengan mata saya. Pelan tapi pasti, lama-lama penglihatan saya semakin kabur,” jelas Sairi.

foto  foto

Ket : - Baksos kesehatan yang diadakan tanggal 25-26 Juli ini juga diikuti oleh para santri dari Pondok Pesantren
            Nurul Iman, Parung, Bogor. (kiri)
         - Baksos kesehatan Tzu Chi ke- 59 yang diadakan 25 - 26 Juli 2009 ini merupakan kerjasama yang ketiga
          antara Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan Pusrehab Dephan. (kanan)

Ia pun menjelaskan, kondisi tersebut semakin parah ketika dirinya sempat terjatuh di tempatnya bekerja (perebusan ikan teri-red), “Saat itu, saya tengah mengolah ikan teri dan hendak beristirahat. Tiba-tiba saja pandangan saya berputar dan gelap, kemudian saya terjatuh membentur batu dan pingsan.” Sairi mengaku tidak tahu berapa lama dirinya pingsan, untung bosnya segera membantu dan menyuruhnya berobat ke puskesmas terdekat.

”Setelah diperiksa, saya baru tahu kalau saya katarak,” tutur Sairi. Dan semenjak itu, penglihatan Sairi pun semakin berkurang, yang akhirnya memaksanya untuk berhenti bekerja. ”Untuk berjalan saja, saya butuh bantuan orang lain, apalagi bekerja.” Kesedihan yang dirasakan Sairi tidak hanya karena sudah tidak lagi bisa melihat dengan jelas, akan tetapi dia sangat menyesal tidak lagi bisa salat Jumat di masjid dan mengajar cucunya mengaji. ”Tiga tahun ini saya kangen salat Jumat bersama,” ungkapnya lirih.  

Bapak dari tujuh anak itu kini hanya bisa tinggal di rumah dan menjalani kehidupannya dalam ketidakjelasan. Ia dan ketujuh anaknya adalah keluarga nelayan. “Dulu saya juga seorang nelayan, tapi sejak badan saya sudah tidak kuat lagi menahan dinginnya angin malam, maka saya berhenti menjadi nelayan dan bekerja di perebusan ikan teri,” kata Sairi. Penghasilan yang diperoleh Sairi pun tidak menentu. Apabila produksi dan permintaan ikan teri sedang banyak, maka dalam seminggu Sairi bisa menerima uang sebesar seratus ribu rupiah. Sebaliknya, apabila cuaca tengah tidak bersahabat, maka ia pun harus ikhlas menerima penghasilan Rp 5.000 dalam seminggu. Dengan penghasilan tersebut, otomatis Sairi pun tidak pernah berani untuk menanyakan biaya operasi katarak kepada dokter. “Saya yakin tidak mampu membayar biaya operasi,” tuturnya.

Penghasilan anak-anak Sairi yang juga nelayan juga tidak jauh berbeda. “Kalau hanya untuk membantu membelikan nasi atau membawakan lauk mereka masih mampu. Tapi untuk membayar operasi, saya yakin mereka juga tidak sanggup,” jelas Sairi yang mengaku tidak ingin menyusahkan anak-anaknya.

foto  foto

Ket : - Membasuh muka dan membersihkan kaki para pasien layaknya orangtua sendiri. Di sini relawan belajar
            melatih diri untuk mendapatkan kebijaksanaan. (kiri)
         - Para pasien ditangani dengan ramah sesuai dengan budaya Tzu Chi yang humanis, baik sebelum
           pelaksanaan maupun setelah operasi selesai dilakukan. (kanan)

Sekarang, doa Sairi terjawab sudah. Semenjak mendapatkan kabar kalau matanya akan dioperasi, Sairi mengaku sangat senang. Bahkan menjelang satu hari keberangkatannya ke Jakarta, Sairi mengaku sulit tidur karena senangnya, “Bukan takut, tapi karena senang jadi ga bisa tidur.”

Operasi mata Sairi berjalan lancar. Setelah operasi mata sang ayah selesai, Barmawi, putra keempat Sairi, mengucapkan rasa syukurnya. “Terimakasih saya ucapkan kepada yayasan yang membantu kami,” ucapnya haru. Dengan lembut, Barnawi mulai menyuapi ayahnya agar beliau bisa segera meminum obat. Bakti seorang anak kepada orangtua diperlihatkan Barnawi melalui setiap suapan nasi yang diberikannya. ”Senang sekali anak saya mau menyuapi saya,” tutur Sairi parau, menahan air mata di sudut matanya.

Cinta kasih dan perhatian para tim medis dan relawan sangat membekas di relung kalbu Sairi dan keluarga. “Saya tidak menyangka di zaman seperti ini, ternyata masih ada kepedulian sosial yang sangat tinggi. Saya berjanji, nanti kalau sudah sembuh saya juga mau berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Tidak peduli mereka dari luar pulau atau dalam pulau, cinta kasih mereka juga sama,” kata Sairi bertekad.

Kami Ada untuk Anda
   Tidak hanya Sairi yang merasakan kepedulian dari Tzu Chi dan Pusrehab Dephan. Lebih kurang terdapat 80 pasien mayor, 58 minor, 146 katarak, dan 2 bibir sumbing yang berhasil dioperasi. Selain operasi, para pasien juga mendapatkan pelayanan maksimal dari para relawan yang sudah bersiaga sejak pagi. ”Lebih kurang terdapat 120 relawan Tzu Chi yang berasal dari empat He Qi (Timur, Barat, Utara dan Selatan -red). Kami semua berkumpul jadi satu untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk para pasien,” tegas Christine, salah satu relawan Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Lebih kurang terdapat 80 pasien mayor, 58 minor, 146 katarak dan 2 pasien bibir sumbing yang berhasil
          dioperasi dalam baksos kesehatan Tzu Chi kali ini. (kiri)
         - Selain pelayanan medis, para pasien juga mendapatkan pelayanan dan pendampingan yang penuh cinta
           kasih dari para relawan Tzu Chi. (kanan)

Seperti sebelum masuk ke dalam ruangan steril, para pasien katarak yang mayoritas manula mendapatkan pelayanan cuci muka dan kaki. ”Biasanya saya hanya membasuh tubuh dan kaki orangtua saya kalau mereka sakit. Tapi saya bisa melakukan ini kepada para pasien adalah sesuatu yang sangat menyenangkan,” tutur Avianty, salah satu relawan yang bergabung dengan Tzu Chi karena mengaku tertarik dengan kegiatan sosial yang dilihatnya melalui tayangan DAAI TV Indonesia.

Tidak hanya praoperasi, para relawan juga terlihat hangat menyapa dan mendampingi para pasien pascaoperasi yang telah mereka lakukan. Seperti yang dituturkan oleh Avianty, ”Tidak hanya membantu mereka yang membutuhkan, dengan ini kita juga bisa belajar banyak, salah satunya adalah bersyukur dengan apa yang telah kita miliki saat ini.”

 

 

Artikel Terkait

Tzu Chi Bersama Pemprov DKI Serahkan Empat Kunci Bedah Rumah Untuk Warga Pegangsaan

Tzu Chi Bersama Pemprov DKI Serahkan Empat Kunci Bedah Rumah Untuk Warga Pegangsaan

11 September 2023

Penyerahan kunci warga penerima bantuan bedah rumah di Pegangsaan, Jakarta Pusat (10/09/2023) oleh Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma dan PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. 

Seribu Bibit Kehidupan untuk Melawan Perubahan Iklim

Seribu Bibit Kehidupan untuk Melawan Perubahan Iklim

03 Oktober 2023
Relawan Tzu Chi Pontianak bekerja sama dengan masyarakat, serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pontianak melakukan aksi penanaman 1.000 pohon mangrove pada 24 September 2023 untuk mempertahankan dan melestarikan hutan mangrove.
Prestasi Olahraga Anak-anak SMK Tzu Chi

Prestasi Olahraga Anak-anak SMK Tzu Chi

22 September 2020

Kabar gembira kembali menghampiri SMK Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Kali ini 3 siswanya, Fajri Jumadianto, Willy Sarifudin, dan Sopyan berhasil diterima di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ini menjadi kebanggan tersendiri karena ketiganya merupakan anak-anak dari Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng. 

Jangan takut terlambat, yang seharusnya ditakuti adalah hanya diam di tempat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -