Jurnalisme Empati Sebagai Sarana Memberikan Pendidikan

Jurnalis : Philip (He Qi Barat) , Fotografer : Indarto (He Qi Barat)

http://www.tzuchi.or.id/read-berita/jurnalisme-empati-sebagai-sarana-memberikan-pendidikan/6335

Maria Hartiningsih dalam Festival Budaya Humanis Tzu Chi, di Jing Si Tang Tzu Chi Center, Minggu Desember 2016.

Sering kita mendengar kata jurnalisme. Jurnalisme ini berasal dari kata journal yang berarti catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, dapat juga di artikan sebagai surat kabar. Orang yang melakukan kegiatan jurnalisme ini disebut dengan jurnalis, yang biasa memberikan informasi tentang kejadian yang terjadi setiap harinya. Laporan jurnalis ini biasanya disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa macam media, misal koran, radio, televisi dan internet.

Namun tidak dapat dipungkiri, dengan kemajuan zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu, telah membuat jurnalisme ini menjadi alat yang sesuai dengan keinginan pihak tertentu tersebut. Sehingga banyak berita yang kita lihat dan kita dengar belakangan ini banyak memiliki unsur kepentingan pihak tertentu. Dengan keadaan seperti ini, jurnalisme yang seharusnya memberikan catatan-catatan harian yang sebenarnya, akhirnya disalahgunakan demi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Jurnalisme Empati yang merupakan salah satu metode penulisan dengan cara memandang jurnalisme dari sisi lain menjadi topik seminar yang membuka Festival Budaya Humanis Tzu Chi, di Jing Si Tang Tzu Chi Center, Minggu Desember 2016. Jurnalisme Empati yang dibawakan oleh wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih ini memberikan sudut pandang berbeda tentang jurnalisme dan cara mengerjakan jurnalisme dari sisi narasumber.

http://www.tzuchi.or.id/read-berita/jurnalisme-empati-sebagai-sarana-memberikan-pendidikan/6335

Metta Wulandari (pegang mic) dari Yayasan Tzu Chi dalam sesi tanya jawab.


Didi Ariyanto dari tamu umum mengakui begitu pentingnya jurnalisme empati digunakan untuk menulis tentang korban.

Kenapa dinamakan dengan jurnalisme empati, karena metode jurnalisme ini mengajarkan kita untuk melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber. Bukan mencari dan memberikan berita sesuai dengan keinginan dari para pembaca maupun jurnalis sendiri, tapi bagaimana, apa yang narasumber ingin sampaikan dan nara sumber lihatkan tentang hal yang dia rasakan. Tujuan dari jurnalisme empati ini agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan merasakan apa yang nara sumber rasakan. Kebanyakan narasumber dari jurnalisme empati ini adalah mereka yang tersingkirkan, seperti para penderita HIV/AIDS, LGBT dan juga para korban dari kejahatan maupun korban bencana alam.

Maria memulai seminarnya dengan menceritakan awal kenapa ia mengerjakan jurnalisme empati. Ia sempat dimarahi oleh orang karena ada yang merasa jurnalis itu hanyalah menceritakan dan mengekploitasi penderitaan orang tanpa memberikan solusi. Dari sinilah Maria merasa bahwa sebagai seorang jurnalis ia harus bisa melihat dari sisi narasumber. Dengan begitu pembaca dapat merasakan apa yang narasumber rasakan.

“Karena apabila dia tidak dapat merasakan apa yang narasumber rasakan, bagaimana mungkin dia dapat menyampaikan parasaan narasumber kepada pembaca. Karena jurnalisme ini adalah memberikan pendidikan, bukan memberikan rasa kasihan semata,” terangnya.

Jurnalisme empati juga banyak digunakan untuk menulis tentang HIV/AIDS dan memberikan pengertian kepada masyarakat luas tentang arti sesungguhnya dari HIV Aids ini.

Ketua Panitia Festival Budaya Humanis, Henry Tando memberikan bingkisan dan kenang-kenangan kepada Maria Hartiningsih.

Maria juga menceritakan pengalamannya tentang bagaimana dia mewawancarai salah satu dari korban kekerasan seksual, yang mana jarang diangkat karena hal ini sangat sensitif, terutama bagi korban. Karena itu jurnalis dituntut untuk menggunakan empati yang baik juga pendekatan yang baik saat menghadapi korban agar dirinya tidak merasa diekploitasi.  “Tetapi dengan ceritanya dapat memberikan informasi yang benar dan berguna bagi masyarakat luas,” jelas Maria.

Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan dari para peserta yang kemudian menunjukkan isi hati dari Mariah. Bahwa menjadi tenar bukanlah keinginannya, tetapi menjadi jurnalis yang menggunakan jurnalisme empati adalah sebuah panggilan hati. Dengan demikian apa yang ia tulis, bukan hanya menimbulkan rasa kasihan dari para pembaca, tetapi menimbulkan semangat para pembaca. Para pembaca lalu memiliki hati dan rasa kemanusiaan supaya dapat memberikan bantuan yang semampunya.

Sesi tanya jawab pun mengakhiri materi dalam topik ini. Mariah berharap Jurnalisme empati akan selalu digunakan sehingga dapat menjadi wadah untuk memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat.


Artikel Terkait

Indahnya Menjadi Guru yang Berbudaya Humanis Tzu Chi

Indahnya Menjadi Guru yang Berbudaya Humanis Tzu Chi

17 Juli 2017

Mengawali tahun ajaran baru 2017/2018, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng selalu mengadakan pelatihan guru yang bertujuan memperkenalkan para guru yang baru bergabung. Tidak hanya itu, pelatihan ini juga untuk memotivasi guru dalam mengajar.  

Kamp Zhen Shan Mei: Berlari Mengimbangi Laju Tzu Chi Indonesia

Kamp Zhen Shan Mei: Berlari Mengimbangi Laju Tzu Chi Indonesia

10 Desember 2015
Liu Su Mei menegaskan bahwa membuat dokumentasi dari apa yang mereka lakukan kala itu adalah hal yang sangat penting. Hingga kini pun, dokumentasi adalah poin yang sangat penting. “Karena hasil dokumentasi bisa dimanfaatkan untuk mengajak orang lain dan menginspirasi mereka agar tergerak hatinya untuk membantu yang membutuhkan,” jelasnya dalam sesi sharing di Kamp Budaya Humanis Zhen Shan Mei (6/12/15).
“Citra Diri” dan Pengenalan Budaya Humanis Tzu Chi

“Citra Diri” dan Pengenalan Budaya Humanis Tzu Chi

03 September 2013 Bila kita dapat merubah diri kita menjadi baik, perubahan baik ini mungkin tidak hanya dapat dirasakan oleh orang lain tetapi juga lingkungan sekitar.
Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -