Hendry Chayadi membawakan sesi pembuka dengan tiga pertanyaan mendasar tentang arti kehidupan.
Aula Jing Si Indonesia kembali dipenuhi semangat relawan Tzu Chi dalam Kamp 4 in 1 yang digelar pada 27–28 September 2025. Dengan tema Satu Hati, Satu Tekad, Satu Tujuan, kamp yang dihadiri 733 relawan Tzu Chi dari berbagai kota di Indonesia ini menjadi ruang pembelajaran sekaligus perenungan mendalam tentang motivasi awal, tekad, dan arah perjalanan spiritual relawan.
Sesi pembuka dibawakan Hendry Chayadi yang mengangkat tiga pertanyaan mendasar; Kita datang dari mana? Kita datang untuk apa? Kalau pergi, kita pergi ke mana? Menurut Hendry, tiga pertanyaan ini menyentuh inti kehidupan, sebab jawaban atasnya menentukan cara seseorang memandang hidup.
“Kalau merasa datang karena karma, kita akan cenderung pasrah, merasa tidak bisa mengubah apa pun. Tapi kalau kita yakin datang karena tekad, maka kita menjalani hidup dengan ikhlas, mencari cara menghadapi kesulitan tanpa merasa menderita,” jelasnya.
Hendry menegaskan pentingnya menjaga niat awal atau motivasi. Ia mengutip ajaran Master Cheng Yen bahwa Bodhisatwa takut pada sebab, sementara makhluk awam takut pada akibat. Artinya, Bodhisatwa berhati-hati sejak awal menjaga niat, sementara manusia biasa sering baru menyesal setelah akibat muncul.
Suasana penuh semangat di Aula Jing Si Indonesia saat Kamp 4in1 hari pertama 27 September 2025. Ratusan relawan Tzu Chi mengikuti materi dengan penuh perhatian dan ketulusan.
Bagi Hendry, menjaga niat awal bukanlah perkara mudah. Prasangka sering menutupi pandangan hingga kita lupa bahwa setiap orang memiliki hati Buddha. Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa potensi kebajikan ada pada semua orang, dan relawan hadir untuk menapaki jalan Bodhisatwa yakni membantu mereka yang membutuhkan tanpa pamrih.
“Aset utama Tzu Chi bukanlah bantuan yang diberikan, melainkan relawan itu sendiri. Kalau relawan punya satu hati, satu tekad, dan satu tujuan, barulah mereka bisa membawa manfaat bagi semua makhluk,” tutup Hendry.
Menghadapi Dunia yang Tak Kekal
Huang Si Hao menyampaikan pentingnya ketangguhan kolektif menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.
Apa yang disampaikan Hendry tentang pentingnya tekad awal terasa selaras dengan materi dari Huang Si Hao, penanggung jawab Tzu Chi secara global untuk pengembangan kapasitas dan ketahanan relawan. Si Hao menegaskan bahwa meski niat baik adalah fondasi, relawan juga harus siap menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian.
“Dunia terus berubah dengan cepat, penuh bencana dan peperangan yang tak kunjung reda. Dari badai di Kuala Lumpur, banjir di Taiwan, hingga konflik bersenjata, semua ini menunjukkan adanya kekuatan besar di luar kendali manusia,” ungkapnya.
Menurut Si Hao, uang, kedudukan, dan kekuasaan tidak mampu menghentikan perang atau bencana. Justru yang dibutuhkan adalah kekuatan kolektif yang ia sebut sebagai Pintu Dharma Tanpa Batas, kerja sama tanpa batas, kemurahan hati tanpa batas, dan Bodhisatwa tanpa batas.
Relawan Tzu Chi di Taiwan menjadi contoh nyata, mereka turun membantu korban bencana, membersihkan rumah-rumah, menyiapkan makanan, hingga memberi dukungan moral. Tindakan itu tidak hanya menolong secara fisik, tetapi juga menyucikan hati dan menciptakan harmoni sosial.
“Dunia akan selalu membutuhkan pintu Dharma tanpa batas. Maka kita perlu tahu apa itu pintu Dharma Tzu Chi? Pintu Dharma Tzu Chi adalah Sutra Makna Tanpa Batas dan Sutra Teratai,” tegasnya. Ajaran ini menekankan tiga poin: menyucikan hati manusia, membuat masyarakat harmonis, dan membebaskan dari pertikaian.
Mengingat Tekad Awal
Zhang Hui Mei berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana Dharma menuntunnya dalam perjalanan spiritual.
Jika Si Hao menekankan ketangguhan kolektif, Zhang Hui Mei, Ketua Xie Li 2 di Hu Ai 1 di Distrik Nantun, Taichung, Taiwan mengajak relawan kembali ke dalam diri. Ia berbagi pengalaman pribadi tentang bagaimana Dharma menuntunnya. Awalnya ia tidak memahami cara mempraktikkan Dharma, namun melalui kelas bedah buku di komunitas, ia belajar bahwa dari perbedaan pandangan bisa lahir energi positif yang memperkaya pemahaman.
“Di komunitas, meski membaca buku yang sama, pandangan kita bisa berbeda. Tapi dari perbedaan itu muncul kekuatan untuk saling belajar,” ujarnya.
Bagi Zhang, Tzu Chi adalah keluarga besar tanpa batas negara. Ia merasa jodoh yang indah bisa mempertemukan relawan Taiwan dengan Indonesia. Bahkan, ia rela membatalkan rencana ikut lomba maraton demi hadir di kamp ini. “Maratonnya tidak jadi, saya memilih ke Indonesia. Karena ini adalah perjalanan jodoh yang sangat istimewa,” tuturnya sambil tersenyum.
Momen ini terasa makin berkesan karena bertepatan dengan ulang tahunnya. Kehangatan relawan Indonesia membuatnya merasa pulang ke rumah. Ia pun menutup dengan harapan bahwa suatu hari nanti keluarga Tzu Chi Indonesia dapat berkunjung ke Taichung, di mana mereka siap menyambut dengan penuh semangat.
Melayani dengan Hati
Hartini Harta Winata, Wylen Djap, dan Budiankes Yuswanto membagikan kisah perjalanan relawan Tzu Chi, dipandu moderator Christine Tjien.
Selepas kisah Zhang Hui Mei, suasana Kamp 4in1 di hari pertama makin semarak dengan sesi talkshow bersama tiga relawan Indonesia; Hartini Harta Winata (He Xin Sheng Huo Zu), Wylen Djap (Wakil Ketua He Qi Pusat), dan Budiankes Yuswanto (He Xin Logistik). Dipandu moderator Christine Tjien, mereka berbagi pengalaman perjalanan sebagai relawan Tzu Chi.
Hartini menuturkan perjalanannya yang sudah hampir 13 tahun, berawal dari banjir besar Jakarta pada 2012. Ia pernah menjabat Ketua Xie Li, Koordinator Sheng Huo Zu atau bagian pelayanan di He Qi Muara Karang selama enam tahun, dan sejak 2022 dipercaya sebagai He Xin Sheng Huo Zu. Awalnya, ia sempat kecewa karena lebih banyak ditugaskan di bidang Sheng Huo Zu, bukan langsung ke kegiatan amal. Namun, kesadaran bahwa dirinya adalah murid Master Cheng Yen membuatnya menerima setiap tugas dengan penuh tanggung jawab.
Tantangan terberatnya adalah membangun perencanaan dan koordinasi antar relawan yang mayoritas ibu rumah tangga. Ia memperbaikinya dengan komunikasi jelas, disiplin waktu, serta penugasan sesuai kemampuan. Kini, tim Sheng Huo Zu sudah lebih solid dan berkembang positif.
“Saya sangat bersyukur sekarang ini tim Sheng Huo Zu telah mengalami perkembangan yang positif,”tutur Hartini. ia pun merasa sangat bahagia dapat melatih diri, mengasah kemampuan, bermanfaat bagi banyak orang, serta dapat menjalin jodoh baik dengan banyak orang.
Raut wajah penuh semangat terpancar dari para relawan saat mengikuti Kamp 4in1. Peserta dari berbagai kota di Indonesia hadir dengan hati yang tulus untuk belajar dan berbagi.
Adapun Wylen Djap bergabung sejak 2007 setelah terinspirasi tayangan DAAI TV. Ia terus belajar dari relawan senior dan mendapat kepercayaan menjalankan sistem 4in1. Perjalanan 18 tahunnya penuh tantangan, mulai dari adaptasi budaya Tzu Chi hingga membangun kepercayaan sebagai Wakil Ketua Hu Ai. Saat menjadi Wakil Ketua He Qi Pusat, ia bertugas memastikan sistem 4in1 berjalan baik.
“Tantangan berbeda saya alami sebagai Wakil Ketua He Qi adalah memastikan bahwa sistem 4 in 1 berjalan dengan baik, namun tantangan terbesar yang sesungguhnya adalah mengalahkan ego diri sendiri untuk dapat tetap bersabar dalam menghadapi setiap masalah yang dihadapi,” ujarnya.
Beda lagi kisah Budiankes yang memulai perjalanannya sebagai relawan Tzu Chi sejak 2008 dan mulai bervegetaris sejak dilantik sebagai relawan komite di tahun 2011. Kegiatan pertama yang diikuti Budiankes adalah pembagian kupon beras bantuan dari Tzu Chi Taiwan untuk korban banjir di Indonesia. Saat itu Budiankes melihat bahwa bantuan yang diberikan Tzu Chi sangat tepat sasaran dan menghargai para penerima bantuan.
Budiankes menyampaikan di awal kiprahnya dalam kegiatan logistik masih sangat kekurangan tenaga relawan. “Tantangan yang saya alami sebagai fungsional logistik adalah melakukan pengembangan relawan logistik, terutama dikarenakan persiapan logistik sebagian besar dilakukan pada hari kerja” ungkapnya. Strategi yang dilakukan Budiankes adalah dengan pendekatan kepada para relawan, sehingga mempermudah dirinya dalam menjaring relawan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan logistik.
Antusiasme Para Relawan
Relawan Tzu Chi saling menyemangati satu sama lain di tengah suasana penuh kekeluargaan.
Lebih dari 20 tahun Herlina Nyana (67) mengabdikan diri sebagai relawan Tzu Chi. Perjalanannya tidak selalu mudah. Saat masih tinggal di Kota Bone, sekitar lima jam perjalanan dari Makassar, ia hanya bisa hadir jika ada bakti sosial kesehatan. Saat itu kesibukannya sebagai asisten apoteker dan mengurus anak-anak membuatnya belum bisa aktif sepenuhnya.
Namun setelah pindah ke Makassar, pintu pengabdian itu terbuka lebar. Kini, Herlina menjabat sebagai Wakil Xie Li 1 dan koordinator kegiatan bedah buku Tzu Chi Makassar. Bersama 12 relawan, ia datang ke Kamp 4 in 1 untuk memperdalam pemahaman tentang struktur dan tugas dalam organisasi.
“Karena saya ingin lebih jelas dengan apa itu 4in1. Sudah sering dengar, tapi mungkin kurang jelas tentang tugas dan kegiatannya. Kalau kami ke Tzu Chi Jakarta, pasti banyak sharing dari berbagai daerah, dan Tzu Chi secara internasional, jadi lebih luas wawasan kami,” jelasnya.
Dari kamp ini Herlina mendapat pelajaran berharga betapa pentingnya memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain. “Jangan pernah bosan mengajak, berbagi, dan selalu berusaha meng-upgrade diri. Kalau kita tidak memperbaiki ego, sulit mengajak orang lain dengan tulus. Kita juga harus belajar menerima, karena tidak semua orang bisa sama dengan kita,” tuturnya. Tahun depan, Herlina akan dilantik sebagai relawan komite Tzu Chi. Baginya, setiap langkah di jalan kerelawanan adalah kesempatan untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan menebarkan cinta kasih.
Herlina, relawan dari Makassar, mengikuti Kamp 4 in 1 untuk memperdalam pemahaman dan meneguhkan tekad di jalan Bodhisatwa.
Dengan semangat mendampingi relawan baru, Anton (kiri) berharap barisan Tzu Chi Jambi terus bertumbuh dan semakin banyak masyarakat terbantu.
Sementara itu Anton (44) telah menjadi relawan Tzu Chi sejak 2018. Sejak saat itu, ia tumbuh bersama komunitasnya di Tzu Chi Jambi hingga dipercaya menjadi ketua Xie Li. Saat ini, jumlah relawan Tzu Chi Jambi mencapai sekitar 150 orang.
Dalam Kamp 4in1 di Jakarta, Anton hadir bersama 19 relawan lainnya. Tujuan mereka sederhana, menyegarkan kembali semangat, memperkuat pengetahuan, dan mendampingi relawan baru agar tetap bersemangat. “Saya mau mendampingi relawan yang baru-baru agar mereka semangat. Sekaligus kami mau recharge pengetahuan kami tentang perkembangan Tzu Chi,” ungkapnya.
Salah satu materi yang paling berkesan baginya adalah tentang ketidakkekalan yang disampaikan oleh Huang Si Hao, pembicara dari Taiwan. “Saya sangat tergugah. Jadi kalau ada kesempatan berbuat baik, ya segera berbuat baik. Jangan menunda. Harapan saya, barisan relawan Tzu Chi Jambi semakin panjang, sehingga lebih banyak masyarakat yang bisa kami bantu,” ujarnya penuh semangat.
Relawan tersenyum hangat, memperlihatkan energi positif yang mewarnai Kamp 4in1.
Tampak jelas bahwa tema “Satu Hati, Satu Tekad, Satu Tujuan” benar-benar hidup dalam diri para relawan. Seperti disampaikan Streisand atau yang akrab disapa Nancy, selaku koordinator kamp, bahwa kegiatan ini menjadi ruang untuk menyatukan langkah, meneguhkan tekad, sekaligus memupuk semangat kebersamaan.
“Supaya relawan bersatu hati, memiliki tekad yang sama, tujuan yang sama. Jadi nanti ketika kembali ke komunitas masing-masing, mereka sudah tahu apa yang harus dipraktikkan,” ujarnya.
Kehadiran pembicara dari Taiwan juga membawa wawasan segar yang langsung mengalir ke hati para peserta, membuka pandangan baru yang bisa disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dan perjalanan ini belum selesai, esok hari para relawan masih akan menerima siraman rohani dari Shifu Griya Jing Si, melengkapi penguatan spiritual sebelum mereka kembali ke komunitas masing-masing dengan hati yang lebih bersih, tekad yang lebih teguh, dan semangat yang terus menyala.
Editor: Hadi Pranoto