Kebahagiaan Meri dan Ika di Tzu Ching Camp

Jurnalis : Apriyanto , Fotografer : Apriyanto, Widarsono (He Qi Utara)
 
foto

Meriyanti yang telah 3 hari mengikuti camp itu kian merasakan perih dan beratnya perjuangan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan dan merawat anak-anaknya. Rasa bersalah pun kian meliputi hatinya setelah ia menyaksikan drama "Sutra Bakti Seorang Anak".

Bagi sebagian anak, lahir sebagai anak tengah dapat menimbulkan perasaan kurang menyenangkan. Kebanyakan dari mereka merasa sebagai anak yang kurang diprioritaskan dalam keluarga karena bukan sebagai anak bungsu, tetapi juga tidak berperan sebagai anak sulung. Meriyanti lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Kedua kakak pertamanya laki-laki dan ia adalah anak perempuan pertama di keluarganya.

Di antara saudara-saudara yang lain, Aprisen kakak pertamanya adalah yang paling sering berselisih pendapat dengannya. Mulai dari beda pendapat hingga pertengkaran-pertengkaran dalam memperebutkan sesuatu.

Waktu itu sekitar tahun 2003, Meriyanti masih duduk di kelas satu SMA. Ayahnya yang bekerja sebagai wiraswastawan berencana membelikan sebuah komputer notebook merek Ferari untuk digunakan oleh anak-anaknya. Berhubung komputer yang dibeli hanya satu, maka penggunaannya harus saling bergantian antar anggota keluarga. “Papa coba beli satu dulu komputernya. Apa ada guna buat kalian,” jelas sang Papa kepada putra-putrinya. Pembagian jadwal pun dibuat untuk memberikan keadilan dalam pemakaian komputer.

Suatu hari saat giliran Meriyanti untuk menggunakan komputer, Aprisen yang tengah sibuk mengerjakan tugas sekolahnya enggan menyerahkan komputer kepada adiknya yang sedang keranjingan game online itu. Karena merasa diambil haknya, Meriyanti menjadi marah kepada Aprisen. Pertengkaran dua kakak beradik pun tak terhindarkan. Tinggallah sang mama yang berusaha menengahi pertengkaran mereka. “Mengalah aja dulu ya, ke koko (kakak –red). Koko lagi ada tugas,” bujuk Mama.  “Mama kok setiap kali (ribut), aku terus sih yang harus mengalah, kok bukan Koko yang mengalah?” protes Meriyanti. “Kan Koko lagi butuh internetan buat nyari tugas,” jelas Mama. “Kayaknya Mama pilih kasih deh. Dibandingkan sama Koko, Mama lebih  sayang Koko. Kalo Mama ga sayang sama aku kenapa Mama lahirin aku. Bikin susah aja!” ketus Meriyanti. “Mama bukan lebih sayang ke Koko. Tapi Koko memang lagi butuh internet. Mama ga pilih kasih. Coba dibandingkan dengan sepuluh jari, biar pun salah satu jari yang digigit tetap saja sakit. Mama tetap tidak pilih kasih,” jelas mama sambil menitikan air matanya. “Ya udah tenangin diri dulu sekarang. Nanti jangan lupa untuk turun makan,” bujuk Mama, sambil meninggalkan Meriyanti di kamar.

Merantau ke Negeri Orang
Seribu tiga ratus kilometer lebih dari Bengkalis Riau, Sukarman tengah menghadapi masalah terberat dalam hidupnya di Pati, Jawa Tengah. Endang istrinya diketahui mencintai pria lain selain dirinya. Setelah bekerja beberapa bulan di Singapura sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW), Endang kembali ke Indonesia. Tetapi Endang tidak langsung pulang ke Pati, melainkan singgah di Jakarta dan tinggal bersama dengan kekasih gelapnya. Semakin buruk lagi karena Endang mencintai pria yang sudah beranak istri, diperparah dengan Titi, putri dari pria itu adalah teman sekelas Ika Karmiati, putri sulung Endang.

Mengetahui pengkhiatan ini, Sukarman merasa sangat kecewa. Hari-harinya hanya diisi dengan termenung dan melewatkan kewajiban makan. “Aku paling kasihan banget sama Bapakku. Baru aku melihat Bapak tuh menangis. Bapak tidak mau makan, kerjaannya murung terus,” kenang Ika Karmiati. “Mungkin yang dipikirkan oleh Bapak itu anak-anaknya,” lanjutnya.

foto  foto

Ket : - Para peserta Tzu Ching Camp saat mengikuti upacara memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-64 pada
           17 Agustus 2009 di lapangan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat.   (kiri)
         - Games adalah salah satu kegiatan yang menghibur di tengah-tengah rangkaian acara Tzu Ching Camp.            Selain menghibur, games ini juga dimaksudkan untuk memberikan pesan, yaitu kekompakan.  (kanan)
           

Sebagai kepala rumah tangga, Sukarman adalah seorang pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Semua yang ia lakukan tak lain hanyalah untuk kebahagiaan keluarganya. Sejak muda Sukarman memang sudah berprofesi sebagai buruh tambang. Pekerjaannya ini membuat ia kerap kali meninggalkan keluarga untuk merantau ke daerah-daerah tambang, seperti Kalimantan atau Sumatera. Bila penghasilannya cukup, Sukarman baru bisa kembali ke Pati. Penghasilan Sukarman yang pas-pasan mendorong Endang untuk turut bekerja. Dua tahun setelah kelahiran  Noviana Dwidayanti, Endang merantau ke Jakarta lalu bekerja sebagai buruh pabrik. Pengasuhan Ika dan Noviana diserahkan kepada keluarga terdekat, paman dan bibinya Ika dari pihak ayah.

Lama bekerja di Jakarta dan banyaknya perusahaan-perusahaan yang dapat menyalurkan tenaga kerja Indonesia keluar negeri mendorong Endang untuk ikut mengadu nasib ke negeri orang. Singapura adalah negara tujuan Endang dalam mewujudkan impiannya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dan ini juga merupakan kesempatannya untuk pergi keluar negeri.

Tiga bulan bekerja di negeri orang tidak memberi kemajuan bagi keluarganya. Justru kepulangannya membawa kesulitan dalam kehidupan keluarga. Dengan mudah ia melupakan suami dan anak-anaknya demi kebahagiaannya bersama pria lain. “Aku pernah benci sama Ibuku. Saking sebelnya. Abis ibu ga pernah ngerti perasaan keluarga. Ngga pernah ingin tahu. Aku ga ngerti seorang ibu kok bisa kaya gitu ya,” kata Ika dengan linangan air mata.

Kesal melihat perilaku Endang yang tidak terpuji, Sukarman langsung mengajukan gugatan cerai. Cerai dikabulkan, mereka pun hidup terpisah. Endang mulai menjalani kehidupan barunya sebagai seorang istri dari pria yang telah berkeluarga di Tangerang, Jawa Barat. Sedangkan Sukarman kembali merantau, kembali meninggalkan keluarga. “Sejak kecil aku tuh ga pernah merasakan kasih sayang dari ibu. Ibuku udah merantau sewaktu aku masih kecil. Pak Le dan Bu Le aku yang sudah seperti orangtua sendiri,” terang Ika.   

foto  foto

Ket : - Linda shijie saat menyerahkan kenang-kenangan berupa celengan kepada para peserta Tzu Ching Camp.
           Pemberian celengan ini dimaksudkan untuk menanamkan semangat beramal pada diri generasi muda.             (kiri)
         -Sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih, para peserta Tzu Ching Camp menyerahkan kenang-            kenangan kepada mentor dengan penuh rasa hormat dan syukur.  (kanan)

Paman dan bibi Ika juga bukan keluarga yang berkecukupan. Lebih tepatnya kehidupan mereka sangatlah pas-pasan. Karena itu Nugroho, relawan Tzu Chi Pati yang melihatnya merasa iba dan menawarkan bantuan anak asuh Tzu Chi kepada Ika. Ika yang memiliki keiinginan kuat untuk bersekolah menyambut ajakan ini dengan sukacita. Sebelum bantuan anak asuh diajukan, datanglah Titis Prasetyo dan Endang Setyo, relawan Tzu Chi yang menyurvei kondisi kehidupan keluarga Ika. “Belajarnya yang rajin ya, biar tidak sia-sia,” pesan Endang kepada Ika. Tidak sampai sebulan bantuan pendidikan itu diterima oleh Ika, hingga mengukuhkannya sebagai  anak asuh Tzu Chi.

Ketika bantuan itu diterima, saat itu Ika masih duduk di kelas dua SMP— kini ia telah tamat SMA. Keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi membuat ia mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di STIKES ST. Elisabeth Semarang, Jawa Tengah.

Pada saat ujian saringan masuk pertama, Ika mengalami kegagalan di tes tertulis. Ika tidak menyerah sampai di situ, ia kembali mengikuti ujian saringan masuk pada gelombang kedua. Hasilnya tidak mengecewakan. Ia lulus tes tertulis pada gelombang kedua. Setelah lolos dari tes tertulis, Ika masih harus menjalani satu rangkaian tes lagi yang merupakan tes penentu, yaitu tes kesehatan. Tes ini membutuhkan waktu beberapa hari karena darah dari calon mahasiswa akan diperiksa di laboratorium untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit pada tubuh calon mahasiswa.

Pada tanggal 13 Agustus 2009, hasil tes kesehatan diumumkan dan Ika menjadi salah satu calon mahasiswa yang tidak lolos. Ika sendiri tidak mengetahui penyakit apa yang ada di tubuhnya hingga ia tak lolos tes. Akademi memang merahasiakan hal ini. Tetapi informasi dari salah satu mahasiswa menyebutkan kalau Ika menderita penyakit hepatitis. Berita ini jelas jauh lebih menyedihkan bagi Ika ketimbang kegagalannya untuk diterima sebagai mahasiswa di akademi keperawatan. “Aku sedih, kenapa aku harus menderita sakit. Aku tidak sampai hati kalau aku kasih tahu ke Bapakku aku sakit. Gimana kasih tahu Bapak, akan semakin berat nanti bebannya. Kasihan dia,” keluh Ika.

Membawa Perubahan yang Lebih Baik
Jumat, 14 Agustus 2009, bersama anak asuh Tzu Chi Pati lainnya, Hardono, Andi Wahyuda Widyaratna, dan Dwi Setiawati, Ika berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Tzu Ching Camp IV. Tiba di Jakarta siang hari, sorenya Ika bertemu dengan Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi di lantai dua RSKB Cinta Kasih, Cengkareng, Jakarta Barat. Hoey Leng yang menyambut Ika menanyakan sebab kegagalannya pada ujian saringan masuk akademi keperawatan. Ika menjelaskan kalau ia gagal di tes kesehatan. Menurut informasi yang didapat, ia menderita hepatitis, tetapi jenisnya belum diketahui. “Kalau nggak keterima kerja dulu aja, kalau memungkinkan kondisi untuk kerja. Tetapi kalau tidak, tiga bulan istirahat dulu aja tidak apa,” kata Hoey Leng membesarkan hati Ika. Untuk memastikan jenis hepatitisnya, maka Hoey Leng merujuk Ika untuk menjalani pemeriksaan ulang di laboratorium RSKB Cinta Kasih Tzu Chi.

Faktor kesehatan yang membuatnya tidak bisa melanjutkan kuliah di akademi keperawatan, kini Ika berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di akademi keguruan. “Sekarang harapan aku cuma ingin sembuh, terus aku bisa kerja dan tahun depan aku bisa lanjut kuliah ambil keguruan, berprestasi dengan baik dan mengabdikan diri,” harapnya. 

foto  foto

Ket : - Ika Karmiati yang kini merasakan kegembiraan setelah mengikuti Tzu Ching Camp. Di acara ini ia juga tahu
           mengenal syukur dan berterima kasih dari sebelumnya yang pernah membenci ibu kandungnya.  (kiri)
         - Hardono, salah satu anak asuh Tzu Chi Pati yang turut menjadi peserta Tzu Ching Camp IV kali ini. Menurut            Titis Prasetyo, relawan Tzu Chi asal Pati, anak-anak asuh Tzu Chi Pati yang ikut kegiatan ini adalah yang            terbaik. (kanan)
           

Tanggal 17 Agustus 2009, pukul 07.00. Peserta Tzu Ching camp mulai memadati ruang serba guna RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Selesai sarapan pagi, mereka bergegas pergi menuju lapangan rumah susun untuk mengikuti upacara kemerdekaan yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan murid-murid sekolah Cinta Kasih, karyawan RSKB, dan pengelola Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi.

Pada kesempatan itu, A. Edhi Harsanto, selaku inspektur upacara mengajak para hadirin sebagai bangsa Indonesia untuk dapat berkarya sebaik-baiknya dengan profesi mereka masing-masing dan mengembangkan cinta kasihnya. Ia juga berpesan bahwa kemerdekaan ini merupakan sebuah perjuangan yang dicapai dengan pengorbanan.

Tepat pukul 08.40, upacara memperingati kemerdekaan usai dilaksanakan. Meriyanti yang telah tiga hari mengikuti camp itu kian merasakan perihnya dan derita perjuangan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan, dan merawat anak-anaknya. Rasa bersalah pun kian meliputi hatinya sedari kemarin setelah ia menyaksikan drama sutra bakti seorang anak. “Kalau dipikir-pikir, kayanya dulu aku ini bodoh banget kenapa bisa sampai kaya gitu. Padahal Mama itu sayang sekali kepada kami. Kalau ada makan-makanan yang enak, Mama rela tidak makan demi kami berlima (dapat) makan dengan porsi yang besar. Atau terkadang Mama cuma makan sedikit saja,” kenangnya. “Sampai sekarang saya merasa dulu begitu bodoh sampai berkata kasar ke orangtua. Sampai sekarang masih nyesal. Sekarang aku udah rencana mau berubah, mau baikan dengan Koko.”

Tzu Ching Camp tidak hanya memberikan kegembiraan bagi para pesertanya, tatapi juga memberikan bekal yang bermanfaat, yaitu perubahan ke arah yang lebih baik. Ika pun merasakan dirinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Di Tzu Ching Camp ini ia merasakan adanya kebersamaan dan kekeluargaan yang ia dambakan selama ini. setidaknya sedikit luka di dirinya mulai terobati setelah mengikuti Tzu Ching Camp selama tiga hari. Tidak hanya itu, Ika juga mengenal rasa syukur dan merasakan besarnya cinta kasih yang diberikan oleh orang-orang yang bersimpati memberikan donasinya hingga membuat mereka bisa sampai di Jakarta untuk mengikuti Tzu Ching Camp. “Saya sangat berterima kasih sekali kepada para donatur, karena tanpa mereka tidak mungkin kami bisa sampai di sini. Aku memang sudah berkeinginan untuk mengikuti Tzu Ching Camp jauh sebelumnya, karena kakak-kakak yang pernah mengikuti Tzu Ching Camp menceritakan serunya acara ini. Jadi saya sangat berterima kasih sekali bisa mengikuti acara ini,” kata Ika haru.

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Lebih Sehat dengan Pengendalian Pikiran

Lebih Sehat dengan Pengendalian Pikiran

08 September 2016

Sebanyak 21 relawan Tzu Chi Komunitas He Qi Timur mengadakan kegiatan rutin berupa kunjungan kasih untuk para penerima bantuan pengobatan Tzu Chi pada tanggal 27 Agustus 2016.

Memaknai Bulan 7 Penuh Berkah

Memaknai Bulan 7 Penuh Berkah

23 Agustus 2017

Untuk merangkul lebih banyak Bodhisatwa yang memiliki niat tulus untuk bervegetarian, relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun mengadakan kegiatan sosialisasi bulan tujuh penuh berkah, Minggu, 20 Agustus 2017.

Bedah Buku Kebon Jeruk 3

Bedah Buku Kebon Jeruk 3

10 Maret 2014 Pertemuan kali ini membahas mengenai “Merenungkan bahwa Pikiran Tidak Kekal (Guan Xin Wu Chang ).“ Acara ini juga dihadiri oleh 2 orang Shifu (bikkhuni).
Mendedikasikan jiwa, waktu, tenaga, dan kebijaksanaan semuanya disebut berdana.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -