Bangkit dari Keterpurukan Musim hujan sudah akan berakhir di Aceh. Pada malam Idul Adha atau Hari Raya Kurban, di tahun ke-12 dan bulan terakhir dari kalender Islam, becak, motor, dan mobil memenuhi jalan di pusat perbelanjaan di Banda Aceh— ibukota Aceh yang mayoritas penduduknya Muslim. Bangunan lama berdiri di sebelah bangunan yang baru di tengah-tengah kerumunan orang di sepanjang jalan-jalan padat. Beberapa bangunan yang lebih tua selamat dari gelombang mematikan, namun bangunan-bangunan baru telah bangkit dari kehancuran setelah tsunami. Di tengah campur aduk perubahan, kesedihan dan harapan, rakyat Aceh telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pemulihan dari bencana. Mereka telah mengalami kerusakan hebat, tapi sekarang mereka sedang berjuang untuk pemulihan besar. Hidup Harus Terus Berjalan Kejadian tragis pada bulan Desember 2004 itu akan selamanya terukir dalam hati dan pikiran semua orang yang masih hidup dan tinggal di Aceh. Setiap orang dapat mengingat dengan sangat jelas tragedi pada hari itu. Bahkan, menceritakan kisah mengerikan pada saat itu tampaknya menjadi langkah pengobatan yang diperlukan dalam pemulihan dari trauma. Kisah–kisah yang sangat menyedihkan. Korban menceritakan bagaimana air menelan dan menghapus rumah dan bisnis mereka. Mereka bercerita tentang jumlah korban yang terus meningkat dan hingga mencapai jumlah 230.000 korban jiwa. Mereka mencatat data untuk korban selamat yang kehilangan anggota keluarganya. Yang paling tragis, mereka menceritakan tentang orang yang mereka cintai meninggal pada hari itu. Namun, hidup harus terus berjalan meskipun penuh kesedihan dan penderitaan. Ket : - Para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekarang ada yang tinggal di Perumahan Cinta Kasih dan bekerja di sawah di atas bukit. GAM pernah berjuang untuk merdeka dari Indonesia, sampai akhirnya terjadi perjanjian damai pada bulan Agustus 2005 di Helsinki. (kiri) - "Anak- anak di Neuheun memanggil “Ibu Aida” sebagai relawan Tzu Chi yang hebat. Aida Angkasa, paling kanan, telah menjalin persahabatan dengan warga desa dalam waktu selama 5 tahun. (kanan) Selain korban yang tewas, tsunami juga mengakibatkan hampir setengah juta orang tidak lagi memiliki tempat tinggal. Setelah kehancuran di Aceh, bantuan dan cinta kasih dari seluruh dunia dicurahkan ke wilayah itu. Dua puluh tujuh lembaga PBB, 40 negara, dan lebih dari 600 organisasi kemanusiaan membantu membangun kembali Aceh, dengan biaya sebesar US$ 6.4 Milyar. Sebagai salah satu bagian dari organisasi kemanusiaan internasional, Tzu Chi membangun perumahan permanen untuk 2.568 keluarga di 3 komunitas: Perumahan Cinta Kasih I, II dan III, yang terletak di Panteriek, Neuheun dan Meulaboh. Selain tempat tinggal, Tzu Chi di 3 perumahan itu juga membangun 9 sekolah (TK- SMP) dan fasilitas umum lainnya. Mengenal Hampir Seluruh Warga Perumahan Cinta Kasih Aida Angkasa tinggal di Medan, ibukota Propinsi Sumatra Utara, kota tetangga Aceh. Aida seorang relawan Tzu Chi. Ia telah bolak–balik antara rumahnya dan Aceh, dimana ia menghabiskan 1–2 minggu sebulan di salah satu dari 3 lokasi tempat Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Dia menangani permohonan untuk tempat tinggal dan membantu warga pindah ke rumah baru mereka. Dia mengenal hampir setiap keluarga di 3 Perumahan Tzu Chi. “Pada saat pembangunan rumah, kami memprioritaskan keluarga yang memiliki anak kecil,” ujar Aida Angkasa, “awalnya, ada beberapa orang yang tidak yakin ingin pindah, tapi ketika melihat tempat baru mereka, semua ingin pindah.” Selain memiliki fasilitas dan kamar sesuai standar, setiap unit rumah juga anti karat dan kedap dari suara dan panas. Mereka bahkan memiliki halaman depan dan belakang. Warga juga telah mulai membangun bangunan tambahan untuk rumah mereka. “Ini menunjukan bahwa kemampuan ekonomi mereka telah berkembang,” kata Aida Angkasa menjelaskan.(Sumber: Website Tzu Chi Taiwan, tanggal 16 April 2010, diterjemahkan oleh: Rosalyn Lora) |