Hun-Hun, relawan Daai Mama, dengan penuh perhatian mendampingi Clarista Vania Winata, murid Tzu Shao, saat ia membacakan jawabannya tentang prinsip hidup dan kebaikan yang telah ia lakukan.
Setiap pekan kedua, Kelas Bimbingan Budi Pekerti He Qi Pusat diadakan di Gedung Gan En, Tzu Chi Center, PIK. Pada Minggu, 14 September 2025, kegiatan ini diikuti oleh 6 murid Qing Zi Kecil, 11 murid Qing Zi Besar, 9 murid Tzu Shao, 17 orang tua, serta 39 relawan. Kelas berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB dengan penuh semangat, interaksi, dan inspirasi.
Untuk kelas Qing Zi Kecil dan Besar, tema pembelajaran bulan ini adalah Melayani dengan Sepenuh Hati. Kata perenungan yang dibagikan berbunyi: “Kehidupan yang bisa bersumbangsih adalah kehidupan yang paling membahagiakan dan juga paling bermakna.”
Para murid Tzu Shao tampak penuh sukacita ketika mengikuti permainan puzzle, termasuk Hiroyuki yang dengan antusias maju ke depan untuk memperlihatkan puzzle hasil karya kebersamaan bersama teman-temannya.
Melalui permainan puzzle, para murid belajar makna pentingnya kesempatan berbuat baik. Satu murid Qing Zi Besar bertugas membagikan potongan puzzle kepada adik-adik Qing Zi Kecil yang kemudian menempelkannya sesuai gambar. Setiap anak hanya boleh menempel satu potongan sebelum mengambil potongan baru. Kelompok yang berhasil menyusun puzzle paling banyak, rapi, dan cepat menjadi pemenang.
Puzzle ini menjadi simbol perbuatan baik, semakin cepat dilakukan, semakin indah hasilnya. Pesan yang disampaikan jelas; jangan menunda kebaikan, karena kesempatan tidak selalu datang dua kali. Seperti kata perenungan Master Cheng Yen: “Sebaik apa pun kesempatan dan keberuntungan seseorang, jika tidak menggenggam jalinan jodoh dengan baik, maka kesempatan itu akan berlalu dan lenyap.”
Kisah Inspiratif: Benih Kasih Sayang
Selain permainan, anak-anak juga menyimak kisah menyentuh berjudul Benih Kasih Sayang. Kisah ini menceritakan Chen Yu-an, seorang anak yang pada usia 4 tahun menderita leukemia dan harus menjalani transplantasi sumsum tulang. Dari 30 anggota keluarga, hanya sang kakak berusia 7 tahun yang cocok menjadi pendonor. Sejak itu, keduanya berbagi kehidupan hubungan kasih sayang mereka kian erat, tak terpisahkan.
Para murid kelas Tzu Shao bersama para Daai Mama dan Papa tampil kompak memperagakan gerakan isyarat tangan berjudul Di yi dao shu guang (Menyingsing Fajar Pertama), menciptakan suasana hangat dan penuh keceriaan.
Yu-an adalah pecinta serangga yang dengan penuh kasih merawat kumbang tanduk, termasuk seekor yang diberikan kakaknya meski sang kakak takut pada serangga. Saat masa pemulihan, ibunya mengajaknya belajar musik hingga akhirnya membentuk grup musik kecil. Grup ini rutin tampil di rumah sakit, panti jompo, hingga ruang perawatan paliatif. Awalnya beranggotakan lima orang, kini berkembang menjadi 22 anak yang setiap minggu berkumpul di rumah Yu-an untuk berlatih, sekaligus mengumpulkan invoice yang disumbangkan bagi anak-anak penderita kanker.
Kisah Yu-an menunjukkan bahwa penyakit tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga menumbuhkan gelombang cinta kasih yang menginspirasi banyak anak untuk berbagi, berbuat baik, dan menyemangati sesama.
Interaksi Hangat Murid dan Daai Mama
Keceriaan pun hadir saat Daai Mama bertanya: “Xiao Pu Sa sering bantu mama papa?” Anak-anak pun mengangkat tangan dengan antusias. Chanelle mengaku suka membantu menyapu, Chloe mencuci piring, dan Sidney membantu memasak meski jujur menambahkan, “tapi rasanya tidak enak.” Jawaban polos ini mengundang tawa hangat.
Didampingi oleh Suryani Wong selaku Daai Mama, Teresa Carissa, murid Qing Zi Kecil, dengan lugas menyampaikan jawabannya yang penuh makna: Memberikan bantuan kepada orang lain justru membuat kita bahagia.
Teresa Carissa, murid Qing Zi Kecil, dengan bijak berkata: “Memberikan bantuan kepada orang lain justru membuat kita bahagia.”
Saat ditanya apakah mereka pernah ke panti werdha, para murid menjawab belum. Namun, mereka dengan tulus berkata ingin suatu saat berbagi kasih dengan Oma dan Opa di sana.
Pembelajaran Tzu Shao: Harapan Masyarakat
Untuk kelas Tzu Shao, tema pembelajaran adalah Harapan Masyarakat dan Menaati Aturan/Norma. Kata perenungan yang diberikan berbunyi: “Hendaknya kita melatih diri, baik tubuh maupun pikiran, serta menjaga prinsip hidup sebagai manusia; bertanggung jawab atas diri sendiri dan turut memikul tanggung jawab terhadap masyarakat.”
Sebagai penguatan, murid Tzu Shao menonton tayangan inspiratif tentang Jeremy Lin, pemain basket NBA keturunan Asia yang tetap teguh menjaga hati, prinsip, dan keimanan meski menghadapi diskriminasi. Kisah Jeremy Lin mengajarkan arti disiplin, kerja keras, dan keberanian untuk memegang teguh nilai hidup yang baik.
Refleksi Orang Tua dan Relawan
Mama Sidney menuturkan refleksinya: “Diri kita sendiri harus mampu memberi terlebih dahulu. Saat itu dilakukan dengan tulus, kebahagiaan justru akan kembali kepada kita.”
Dalam sesi sharing bersama orang tua, Mama Sidney membagikan refleksinya bahwa memberi dengan tulus adalah kunci kebahagiaan—karena saat kita mampu memberikan terlebih dahulu, kebahagiaan itu akan kembali kepada diri sendiri.
Sementara itu, relawan Daai Mama juga merasakan banyak pelajaran. Suryani Wong, yang sudah 10 tahun mengabdi, mengaku bahwa berinteraksi dengan anak-anak membuat dirinya belajar kembali tentang kesabaran, etika, dan kebahagiaan dari kepolosan mereka. Sedangkan Hun-Hun, relawan lainnya, menuturkan bahwa bersumbangsih di kelas Budi Pekerti ibarat menanam benih kebaikan di hati anak-anak sekaligus memperbaiki komunikasi dengan anak-anaknya sendiri.
Ia menambahkan, “Senyum adalah hal baik yang mudah dilakukan. Saat anak-anak mengingat pelajaran kecil seperti ini, saya merasa sangat bahagia.”
Tak hanya pembelajaran moral, para murid Qing Zi Kecil, Qing Zi Besar, dan Tzu Shao juga mendapatkan pelajaran etika kehidupan sehari-hari, mulai dari cara duduk, berdiri, berjalan, berbaris, hingga etika makan.
Editor: Khusnul Khotimah