Muhammad Rofi Pratama mengajarkan perkenalan diri di kelas Bahasa Mandarin kepada para santri di SMA al-Ashriyyah Nurul Iman, Pesantren Nurul Iman. Dulu, Ia tak pernah menyangka bisa menjadi guru Bahasa Mandarin.
Muhammad Rofi Pratama tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan berdiri di depan kelas, memegang spidol, lalu mengajar Bahasa Mandarin kepada para santri di SMA al-Ashriyyah Nurul Iman, Pesantren Nurul Iman. Dulu, ketika pertama kali datang ke Pondok Pesantren Nurul Iman pada tahun 2017 untuk mondok, ia sama sekali tidak tahu bahwa hidupnya akan dipertemukan dengan sebuah bahasa yang akhirnya mengubah arah jalannya.
Di hari pertama mengenal kelas Bahasa Mandarin, Rofi sempat terkejut. Pesantren biasanya identik dengan Bahasa Arab atau Inggris. Tapi di sini, anak kelas 1 SMA itu menemukan menemukan konsonan “bo-po-mo-fo”, angka “yi-er-san”, dan sapaan sederhana yang terasa asing di lidah. “Awalnya menyenangkan tapi juga aneh,” kenangnya. Namun rasa penasaran itu tumbuh pelan-pelan.
Saat itu, relawan Tzu Chi menjadi pengajar tambahan di pesantren. Mereka datang membawa kelas Bahasa Mandarin, kelas budaya humanis, juga berbagi nilai-nilai kemanusiaan yang sederhana namun membekas. Dari para relawan inilah, Rofi mulai menaruh perhatian. Ia memang tertarik, tapi sempat meragu. “Saya belum nemu jati diri,” ujarnya.
Sampai akhirnya di kelas tiga SMA, ia harus memilih peminatan antara bahasa Arab, Jepang, Inggris, atau Mandarin. Dan di momen itu, sesuatu di dalam dirinya terasa klik.
“Sebenarnya saya cuma bisa angka sampai sepuluh, sisanya belum. Tapi entah kenapa saya ngerasa tertarik banget,” katanya sambil tersenyum kecil.
Di waktu senggang, Muhammad Rofi Pratama banyak menghabiskan waktu berdiskusi dengan teman-temannya di lingkungan pesantren.
Untuk mengejar pelajaran dan mendalami pemahaman Bahasa Mandarin, Rofi punya cara uniknya sendiri. Ia membawa tiga kamus Bahasa Mandarin ke mana-mana. Ia membaca sambil menunggu guru datang, membaca kamus sambil jalan keliling taman pesantren, bahkan, ini ia akui sambil tertawa, latihan percakapan sambil menatap tembok kamar.
Teman-temannya bahkan sering meledek, “Sasisu Sasisu… apa sih itu?” ucap Rofi meniru ledekan temannya. Tapi Rofi hanya membalas dengan senyum. “Mungkin teman-teman pikir saya kayak orang gila kali ya,” lanjutnya malu.
Dari kelas kecil di pesantren itu, langkah Rofi perlahan melebar. Pada 2021, ketika Covid-19 melanda, seorang alumni sekaligus gurunya merekomendasikan beasiswa belajar Mandarin ke Universitas Fuzhou di Tiongkok Selatan. Ia mengira itu hanya penyemangat, pasalnya ia sedang putus asa berpikir bagaimana melanjutkan studi saat semua terasa dibatasi pandemi. Tapi kabar dari alumni itu membangkitkan kembali semangatnya. “Setelah semua berkas diurus, surat-surat dilengkapi, tes dan lainnya, saya dinyatakan lulus dan bisa ikut beasiswa,” katanya senang.
Meski pandemi membuatnya belajar daring selama tiga tahun, semangatnya tidak padam. Tahun 2024, ia akhirnya berangkat menyelesaikan semester akhir dan lulus pada 2025. Dan yang tidak kalah menggembirakan, setelah pulang, ia kembali ke tempat dimana semuanya dimulai.
Seorang pemuda kelahiran Lampung itu kini pulang membawa ilmu, lalu memberikannya kembali kepada adik-adik santri yang sekarang duduk di bangku yang dulu pernah ia tempati. “Rasanya senang banget,” ucapnya. “Nggak pernah sekalipun ada di pikiran saya. Nggak pernah menyangka bisa jadi guru Bahasa Mandarin seperti ibu saya yang juga seorang guru honorer,” lanjut Rofi yang pernah bercita-cita menjadi abdi negara. “Kayak akhirnya bisa memunculkan generasi baru. Mewariskan ilmu.”
Selain kelas Bahasa Mandarin, para santri Pesantren Nurul Iman terus belajar bahasa isyarat tangan melalui lagu-lagu Tzu Chi.
Dari sekian banyak hal yang ia pelajari dari relawan Tzu Chi, ada satu nasihat yang tidak pernah hilang dari kepalanya, “Jangan meremehkan diri sendiri karena setiap orang punya potensi tak terbatas.”
Kalimat itu ia simpan bertahun-tahun, bahkan membawanya sampai ke luar negeri. Dan sekarang, ia berikan kembali kepada setiap santri yang masuk kelas Mandarin dengan rasa gugup yang sama seperti dirinya dulu.
Rofi tahu betul rasanya belajar terlambat. Ia baru serius di 2019. Ia tahu rasanya tersandung nada dan pusing menulis aksara. Ia tahu rasanya ragu. Karena itu, pesannya untuk adik-adik santri sederhana saja, “Tetap semangat belajar. Jangan menyerah. Jangan ikut-ikutan hal yang nggak bermanfaat. Kamu nggak pernah tahu sejauh mana bahasa ini bisa membawa kamu.”
Dan bagi para relawan yang dulu menanam benih pertama itu, ia hanya ingin mengucapkan satu hal, “Terima kasih Shigu Shibo... Terima kasih Tzu Chi… Dari kelas kecil itu, jalan kami terbuka.”
Sehari-Hari Jago Ngomong Bahasa Mandarin
Kisah yang mirip-mirip, datang juga dari Ayu Miftahul Janah yang ketika melangkah masuk ke Pondok Pesantren Nurul Iman, ia datang sebagai anak baru yang tidak tahu apa-apa soal Mandarin. Apalagi bunyinya pun terdengar seperti cang-cing-cong baginya. Tapi dari niat ketidaktahuan itulah, sebuah jalan panjang malah menuntunnya menjadi guru yang kini mengajarkan bahasa yang dulu hanya ia pandangi dengan kagum.
“Pokoknya saya harus bisa bahasa itu,” kata Ayu, mengenang niatnya saat pertama kali tahu ada kelas berbagai bahasa di pesantren, terutama Bahasa Mandarin.
Ayu Miftahul Janah (depan, kiri) bersama santri wanita di kelas Bahasa Mandarin. Ia bersukacita karena bisa mewariskan ilmu kepada adik-adik santriinya.
Ada satu momen yang memantik tekadnya, momen yang mungkin remeh bagi orang lain tapi terlihat wow di matanya. Saat itu ia melihat seorang kakak senior keluar dari masjid sambil mencari sandal dan berkata pelan, “Wǒ de liángxié zài nǎ'er?”
Ayu tak mengerti apa artinya. Yang ia tahu hanya satu, “Ih, kakaknya keren banget!”
Dari situlah semuanya dimulai.
Ia lalu ikut tes jurusan, masuk ke kelas bahasa, dan berjumpa dengan dua relawan Tzu Chi, Shibo Arifin dan Shigu Lien Chu, guru Mandarin yang menurutnya selalu seru. Ayu yang dulunya pemalu itu lalu tumbuh menjadi santri yang selalu penasaran, selalu ingin belajar. Kadang ia menghampiri kakak kelas hanya untuk minta diajari. Walaupun sering sedikit dimarahi, dengan Bahasa Mandarin pula tapi ia tetap datang.
“Nǐ wèi shén me dǎrǎo wǒ? Wǒ zài máng…,” begitu kata kakak seniornya.
Ayu tidak paham apa pun saat itu, tapi ia tidak menyerah. “Ya nggak papa dimarahin, yang penting saya mau belajar,” katanya sambil tertawa.
Belajar Mandarin, bagi Ayu, bukan lagi cuma duduk dan menghafal. Ia lalu menemukan cara belajar dengan hal yang paling sederhana, yaitu mempraktikkan apa yang ia tahu dalam keseharian. Menjemur baju, merapikan kamar, atau membawa ember, semua ia cari Bahasa Mandarinnya.
“Percuma dapat kosakata kalau nggak dipraktikkan,” katanya.
Ketika SMA ia mengambil jurusan bahasa, ia semakin mantap. Bahkan saat kuliah di jurusan Ilmu Qur’an dan Tafsir, Mandarin tetap menempel. Ia ikut klub pengembangan Bahasa Mandarin bernama Language Development of Mandarin, juga kerap memakai Bahasa Mandarin dalam pembuka presentasi di depan dosen yang seringnya membuat teman-teman kampusnya heran, “Kamu bisa Bahasa Mandarin?”
Waktu berlalu, pandemi lewat, dan para kakak kelas pun lulus satu per satu. Ayu sadar, ia tidak lagi berada di posisi santri kecil yang mengejar kakak-kakak. Kini dialah yang dititipi pesan, “Kamu harus belajar ini ya… ini bekal kamu.”
Lie Lie Sioe (tengah, seragam biru putih) bergabung bersama para santri wanita yang sedang berlatih isyarat tangan yang nantinya akan ditampilkan dalam kegiatan Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi di Pesantren akhir pekan ini (14/12/25).
Ayu takut. Tentu saja mahasiswa yang berasal dari Tulang Bawang, Lampung itu takut. Tapi ia juga tahu, suatu saat, harus ada yang meneruskan, mewariskan. Maka ia berdiri di depan kelas untuk mengajari adik-adik santri persis seperti dulu ia diajari. Dan anehnya, meski jantungnya dag-dig-dug, ada rasa bahagia yang sulit dijelaskan.
“Bahasa Mandarin tuh seseru itu,” katanya. Dan baginya, melihat adik-adik mulai berani bicara adalah kepuasan yang tidak bisa dibandingkan apa pun.
Dengan latar belakang Ayah seorang petani, Ibu seorang ibu rumah tangga. Ayu tak pernah menyangka. Tapi kini, ibunya selalu bangga setiap bercerita ke tetangga, “Anak saya bisa Bahasa Mandarin, jadi guru Bahasa Mandarin.”
Dan kepada para guru, para relawan Tzu Chi yang dulu datang dari jauh untuk mengajar, Ayu menyimpan ucapan yang ingin ia sampaikan langsung, “Terima kasih banyak. Mungkin belum ada yang bisa kami balas. Tapi karena Shigu Shibo, kami bisa sampai di titik ini, bisa belajar, bisa bicara Mandarin.”
Warisan Ilmu Tak Tergerus Waktu
Bagi Lie Lie Sioe, salah satu relawan yang dulu turut mendampingi kelas-kelas tambahan di Pesantren Nurul Iman, kesempatan untuk berkunjung dan melihat perkembangan santri yang dulu juga adalah murid-muridnya ini terasa menyenangkan. Sesekali ia masih mengingat nama santri dulu, tapi kebanyakan lupa saking banyaknya yang sudah ikut di kelasnya. Namun begitu, Lie Lie pun tidak menyangka bahwa setelah sekian lama para relawan tidak lagi mengajar secara rutin, Rofi dan Ayu juga para santri justru tumbuh semakin mandiri. Berkali Lie Lie berdecak kagum dengan terobosan-terobosan yang tercipta di kelas Bahasa Mandarin.
“Mereka benar-benar mengembangkan apa yang sudah kami sampaikan,” ujarnya ketika berkeliling pesantren pada Senin, 8 Desember 2025 lalu. Lie Lie melihat bagaimana keduanya tidak berhenti pada pelajaran di kelas saja, tetapi aktif mencari tambahan pengetahuan dari berbagai media dan kegiatan lain. Inisiatif itu, menurutnya, menunjukkan kedewasaan belajar yang tidak semua santri miliki.
Lie Lie Sioe berkeliling bersama santri melihat perkembangan Pesantren Nurul Iman yang kini semakin berkembang dan mandiri.
Yang membuat Lie Lie semakin bangga, ilmu itu tidak berhenti di mereka. “Ternyata berguna banget buat mereka, dan mereka wariskan ke adik-adiknya,” kata Lie Lie. Ia juga melihat nilai humanis dan budi pekerti yang dulu diajarkan kini dipraktikkan dalam keseharian Rofi dan Ayu, menjadi sebuah pedoman yang baginya sangat berarti.
Kini Lie Lie menyoroti, benih yang dulu ditanam perlahan tumbuh menjadi pokok kayu yang kuat. Dan baik Rofi maupun Ayu, santri yang dulu hanya ingin mengerti sepenggal kalimat, kini telah menjadi bagian dari pohon besar itu, menjadi cabang kecil yang kini memberi teduh bagi adik-adiknya.
“Semoga mereka tetap giat dan tidak putus, tidak lelah dalam belajar,” tutur Lie Lie bersukacita.
Editor: Khusnul Khotimah