Kisah Nenek Pasemi

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Siladhamo Mulyono
 
foto

Di gubuk inilah nenek Pasemi (70) menjalani kehidupannya bersama suami anak dan cucunya. Ketiga anaknya merantau ke Sumatera dan Jambi, sehingga kini Pasemi tinggal bersama cucunya, Endang Kurniawan yang masih bersekolah di kelas III SMPN 2 Gabus, Pati.

Ada orang yang ditakdirkan hidup senang sepanjang hidupnya, namun banyak pula orang yang catatan garis hidupnya tak seindah harapan. Bahkan, tak jarang babak penderitaan itu dimulai sejak kecil.

Kehilangan kedua orangtua untuk selama-lamanya menjadi titik awal dimulainya kehidupan pahit Pasemi. Wanita yang kini telah berumur 70 tahun ini terpaksa tinggal dan ikut bibinya hingga besar. Tanpa pernah mengenyam bangku pendidikan, nasibnya pun mengalir laksana air deras menuju tempat yang lebih rendah lagi.

Mengungsi Akibat Banjir
Sambil memegangi ember berisi gayung, kain jarik dan sarung, mata Pasemi menatap lekat air berwarna keruh kehijauan di depannya. Senyumnya ramah mengembang kepada siapa saja yang menyapanya. Di rumah kepala desa yang cukup tinggi tanahnya dibandingkan rumah-rumah penduduk lainnya, bahkan air sempat masuk menggenang hingga semata kaki. Tak terbayang dengan kondisi rumah Pasemi yang sedikit lebih tinggi dari jalan, banjir sepinggang di dalam rumahnya pun membuat ia dan cucunya, Endang Kurniawan, terpaksa mengungsi ke rumah tetangga yang lebih tinggi.

Pagi itu, Sabtu, 8 Maret 2008, Pasemi memang ketiban rezeki, selain mendapat bantuan perlengkapan mandi dan kebutuhan sehari-hari dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing, tak lama kemudian relawan Tzu Chi memberikan kupon kepada warga Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati. Di desa yang letaknya cukup jauh dari jalan raya ini, banjir masih menggenang selutut orang dewasa. Di beberapa tempat memang banjir mulai agak surut, tapi mayoritas masih tetap bisa dilalui perahu kecil. Warga pun menyambut dengan antusias uluran tangan relawan Tzu Chi, terlebih mereka sedang menghadapi kekurangan bahan pangan akibat sawah mereka yang rusak dan hancur terendam banjir. "Ya senang, Mas. Namanya dibantu," kata Tari, tetangga yang mengantar Pasemi.

foto  foto

Ket : - Banjir masih menggenangi beberapa sudut Pati meskipun telah beberapa hari berlalu. Banjir tersebut
           melumpuhkan aktivitas harian mereka. (kiri)
         - Pasemi hidup bersahaja bersama cucunya, Endang Kurniawan. Meski hidup sederhana, namun Endang
           tak pernah malu dan justru berniat membahagiakan neneknya jika sudah dewasa. (kanan)

"Susah Awit Cilik sampai Tua"
Setelah menumpang perahu kecil selama kurang lebih 10 menit, sampailah kami di sebuah rumah yang sangat sederhana, atau lebih tepatnya disebut gubuk. Bukan lantai ubin ataupun semen yang menyambut langkah kami, tapi tanah lempung yang liat dan lengket terkena air. Begitu pintu terbuka, pemandangannya tak lebih baik, bahkan lebih mengenaskan. Selain masih tampak sisa-sisa air di lantai rumah, di dalam pun ruangan terasa amat lembab. Meski tak berdiri tegak lagi, tapi gubuk inilah yang telah menaungi Pasemi bersama suami, anak-anak, dan cucunya. Ditemani Tari dan beberapa tetangga lain yang datang, cerita tentang kehidupan Pasemi pun mengalir dengan lancar.

Setelah besar tanpa kasih sayang orangtua kandung, kehidupan Pasemi setelah menikah pun tak lebih baik. Dia menikah dengan Sarjo yang telah meninggal dunia 7 tahun lalu dan memiliki 3 orang anak. Sarjo yang mengalami cacat mata (buta) tak bisa bekerja. Akibatnya, Pasemilah yang bekerja untuk menafkahi keluarga. Sewaktu masih muda, Pasemi bekerja sebagai buruh tani. Dengan penghasilannya yang tak seberapa, hanya cukup untuk makan, ketiga anak mereka tak ada yang tamat bahkan tingkat sekolah dasar sekalipun. Legina, anak perempuannya, bahkan tak pernah sekalipun mengecap dunia sekolah. Kini di usia tuanya, Pasemi bekerja mengumpulkan sisa-sisa gabah bekas panen orang. "Istilahe ndodot," kata Pasemi sambil tertawa.

foto  foto

Ket : - Karena banjir masih menggenang, warga harus menggunakan sampan untuk beraktivitas. Begitu juga
           warga Desa Babalan ketika menerima kupon bantuan beras dari Tzu Chi. (kiri)
         - Kini genangan air sudah mulai menyusut di muka rumah Pasemi. Sewaktu banjir besar, gubuk ini terendam
           hingga batas sepinggang orang dewasa. Akibatnya Pasemi dan cucunya pun harus mengungsi. (kanan)

Karena tidak memiliki bekal pendidikan, sementara orangtua mereka tak memiliki sawah yang bisa digarap, ketiga anak Pasemi pun kemudian merantau dan bekerja di perkebunan karet di Pulau Sumatera dan Jambi. "Jadi penyadap karet. Pulangnya setahun sekali," ujar Pasemi. Malangnya, anak laki-laki bungsunya hingga kini tak pernah pulang dan tidak diketahui di mana rimbanya. Meski sedih, namun nenek 6 cucu ini mengaku pasrah dan bisa menerima dengan ikhlas.

Sebulan sekali, kedua anak Pasemi mengirim uang sebesar Rp 100.000,-. Jumlah ini tentu jauh dari cukup, mengingat ia juga harus merawat cucunya, yakni Endang Kurniawan yang masih bersekolah di SMPN 2 Gabus, Pati. Dengan kiriman uang sebesar itu, sementara hasil mengumpulkan sisa-sisa gabah tak bisa dilakukannya di kala banjir, maka bebannya pun semakin berat. Beruntung ada bantuan dari pemerintah daerah dan mereka yang peduli pada korban banjir, membuat Pasemi dan cucunya terbantu.

Membahagiakan Nenek
Di mata Endang Kurniawan, Pasemi adalah sosok yang sangat berjasa. Selain menjaga dan membesarkannya sejak kecil, sehari-hari Pasemi jugalah yang menyediakan keperluannya, mulai dari makan sampai dengan sekolahnya. Endang sendiri bukanlah cucu yang pemalas. Sepulang sekolah, ia mencari ranting-ranting pohon untuk kayu bakar ataupun mengambil air di sumur tetangga yang tidak asin. Jika musim kemarau, air di Desa Babalan memang menjadi asin dan tidak bisa diminum. Akibatnya, jika tak menadah dan menampung air hujan, warga desa harus mencari ataupun membeli air bersih untuk minum.

foto  

Ket : - Sui Hoa, relawan Tzu Chi Jakarta memberikan kupon kepada warga Desa Babalan, Kecamatan Gabus,
           Kab. Pati yang terendam banjir hampir 3 bulan lebih. Sebanyak 249 keluarga korban banjir di desa ini
           menerima paket bantuan.

Kini di saat banjir, Endang punya kesibukan baru: memancing ikan. "Lumayan, ikannya bisa buat lauk. Kalau nggak banjir kan mana bisa makan pake ikan," kata Endang senang. Meski tak tahu akan melanjutkan sekolah atau tidak, tapi Endang bertekad untuk bisa membahagiakan sang nenek. "Ya, soalnya kan nenek yang mengurus dan membesarkan saya," tegas Endang. Jika pun tak melanjutkan sekolah ke SMA, Endang berniat menyusul kedua orangtuanya ke Sumatera, menjadi penyadap getah karet. "Habis mau gimana lagi, di sini sulit cari kerja, Mas. Kakak saya saja yang lulusan STM akhirnya kerja di sana," kata Endang menutup pembicaraan. Apapun pilihannya, yang pasti tekad untuk membahagiakan sang nenek, bisa menjadi modal dan awal yang baik dalam bekerja dan berusaha. Ibarat pepatah, doa orangtua menjadi jembatan keberhasilan anak cucu.

 

Artikel Terkait

Kesempurnaan Sebuah Baksos

Kesempurnaan Sebuah Baksos

19 Oktober 2009
Sabtu, 17 Oktober 2009 adalah hari yang penting bagi Aceng Santari dan Muhamad Subekti. Setelah lama menanti kesembuhan, akhirnya pada hari itu mereka bisa mendapatkan pengobatan secara gratis melalui bakti sosial yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan Korem 064 Maulana Yusuf, Banten.
Menjalin Keharmonisan Melalui Syukuran Imlek

Menjalin Keharmonisan Melalui Syukuran Imlek

14 Februari 2017

Kehangatan keluarga besar Tzu Chi Tanjung Balai Karimun selalu terasa dalam setiap kegiatan. Yang terbaru, seperti yang terlihat dalam kegiatan syukuran Imlek yang digelar pada Jumat, 10 Februari 2017. Sebanyak 79 relawan berkumpul dan berbaur satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku, ras, dan agama.

Hanya dengan mengenal puas dan tahu bersyukur, kehidupan manusia akan bisa berbahagia.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -