Hong Tjhin, Sekretaris Umum Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, memberikan sambutan sekaligus memperkenalkan Tzu Chi kepada 150 peserta Konferensi Internasional Transformasi Pesantren.
Di tengah arus perubahan zaman yang kian deras, para pengasuh pesantren dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Jakarta, dalam sebuah kunjungan yang tak biasa. Bukan untuk sekadar studi banding, tapi untuk menggali inspirasi dari sistem pendidikan humanis yang selama ini menjadi jiwa dari lembaga sosial lintas iman tersebut.
Kunjungan ini merupakan bagian dari Konferensi Internasional Transformasi Pesantren, yang diinisiasi oleh Dewan Syuro DPP PKB. Dari total 400 peserta, sekitar 150 pengasuh pesantren mengunjungi Tzu Chi, langkah konkret yang menunjukkan komitmen kuat untuk membuka lembaran baru dalam pendidikan pesantren: pendidikan yang tidak hanya menekankan ilmu dan ibadah, tapi juga membentuk manusia yang utuh dengan jiwa welas asih.
“Silaturahmi ini adalah awal yang baik. Kita harus bergandengan tangan untuk mentransformasi pesantren menjadi pilar pendidikan menuju Indonesia yang lebih baik bersama-sama,” ucap Hong Tjhin, Sekretaris Umum Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa meski berakar pada ajaran Buddha, Tzu Chi bersifat lintas agama dan selalu terbuka terhadap kerja sama dalam semangat kemanusiaan.
Karakter dan Kemanusiaan Menjadi Akar Pendidikan yang Sama
Para peserta disambut dengan pemaparan mengenai filosofi pendidikan Tzu Chi: bahwa membentuk karakter dan memperkuat budi pekerti adalah fondasi utama sebelum berbicara soal pengetahuan. Pendidikan tidak hanya dipahami sebagai transfer ilmu, tetapi sebagai proses membentuk manusia seutuhnya, berlandaskan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Hong Tjhin memperkenalkan semangat celengan bambu kepada Zainul Munasichin (kanan), Wakil Sekjen DPP PKB sekaligus panitia Konferensi Internasional Transformasi Pesantren. Pada kesempatan ini, celengan bambu juga diberikan sebagai suvenir kepada Zainul Munasichin dan Daniel Johan (tengah).
Hal ini ditegaskan oleh Hong Tjhin, yang menyampaikan bahwa pengajaran akhlak harus diperdalam, baik melalui pemanfaatan teknologi digital maupun dengan membangun ekosistem yang memungkinkan nilai-nilai tersebut diterapkan secara nyata. “Jika kita bicara akhlak, maka pengajaran dan praktiknya harus diperdalam, baik melalui pemanfaatan teknologi digital maupun dengan membangun ekosistem yang mendukung penerapan akhlak, baik di lingkungan pesantren, masyarakat sekitar, maupun masyarakat yang lebih luas,” ujarnya.
Senada dengan itu, Master Cheng Yen (pendiri Tzu Chi) menuturkan bahwa pendidikan sejati dimulai dari rumah dan meluas ke masyarakat. “Mendidik satu anak berarti mendidik satu keluarga. Mendidik satu keluarga berarti mendidik masyarakat.” Karena itu, sekolah-sekolah Tzu Chi tidak hanya mengajarkan etika secara teori, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang membentuk karakter peserta didik agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang berbudi pekerti, humanis, penuh empati, disiplin, serta peduli terhadap sesama dan lingkungan.
Freddy Ong, Direktur Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, memaparkan misi pendidikan Tzu Chi kepada para peserta, dengan penekanan pada filosofi dan praktik di Sekolah Cinta Kasih.
KH. Muhammad Bin Ja’far, pimpinan Pesantren Khas Kempek Cirebon, mengaku menemukan banyak kesamaan nilai dengan pesantrennya. “Kami juga berangkat dari pendidikan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Tapi di sini kami belajar bahwa pendekatan humanis bisa ditumbuhkan dengan sangat konkret, lewat manajemen, ruang, dan keteladanan,” katanya.
Ia juga menyebut pentingnya membuka diri terhadap inovasi tanpa kehilangan akar tradisi. “Pesantren kami tetap memberikan pendidikan keagamaan, tapi kami mulai membuka pendidikan formal, teknologi, dan sistem digital. Karena mendidik manusia itu butuh harmonisasi antara nilai dan zaman.”
Tzu Chi sebagai Cermin Transformasi
Bagi Wakil Sekjen DPP PKB, Zainul Munasichin, Tzu Chi adalah contoh nyata lembaga pendidikan yang berhasil mengintegrasikan nilai spiritual, kemanusiaan, dan inovasi modern. “Kami ingin pesantren tidak hanya kuat secara tradisi, tapi juga adaptif. Apa yang kami lihat di Tzu Chi menjadi bukti bahwa pendidikan humanis bisa dikembangkan tanpa meninggalkan akarnya,” ucap Anggota Komisi IX DPR RI itu.
Sebanyak 150 peserta Konferensi Internasional Transformasi Pesantren berkeliling Tzu Chi Center, termasuk mengunjungi Tzu Chi School, untuk melihat langsung penerapan sistem pendidikan humanis di sana.
Zainul yang juga panitia Konferensi Internasional Transformasi Pesantren menyebut bahwa pendidikan model Tzu Chi, yang dimulai dari cinta kasih, lalu membentuk karakter, baru kemudian mengajarkan pengetahuan, sangat sejalan dengan spirit pesantren. Namun, yang membedakan adalah cara mereka membungkus nilai-nilai itu dengan pendekatan sistematis, profesional, dan menyeluruh.
Daniel Johan, anggota DPR RI yang turut hadir mendampingi, bahkan menyebut kunjungan ini sebagai penguatan akar kemanusiaan pesantren. “Tzu Chi mengajarkan bagaimana pendidikan tidak hanya mencetak orang pintar, tapi manusia yang peka dan peduli. Ini yang penting bagi masa depan bangsa.”
Belajar dan Bertransformasi
Silaturahmi dan interaksi ini menandai titik tolak kolaborasi ke depan. Para peserta berharap praktik baik yang mereka lihat dapat menjadi model untuk dikembangkan di lingkungan pesantren masing-masing. Zainul pun ingin nantinya membentuk rencana dan pilot project tentang pendidikan karakter berbasis humanisme di beberapa pesantren sebagai langkah nyata transformasi.
Hal tersebut disambut baik oleh para Kyai yang sebagian besar menjadi peserta konferensi. “Kami tidak bisa instan, tapi bisa bertahap. Yang penting kami siap membuka diri untuk terus belajar dan berkembang. Karena mendidik itu bukan soal metode saja, tapi soal hati,” kata KH. Muhammad Bin Ja’far mengamini.
KH. Muhammad Bin Ja’far (kedua dari kiri) tampak antusias dan aktif berdiskusi, mengajukan berbagai pertanyaan seputar implementasi pendidikan di Tzu Chi.
Sementara itu, Tzu Chi pun menyambut positif semangat kolaborasi tersebut. “Kita boleh berpikir transformasi dalam berbagai bentuk, tetapi jangan lupa akan akar budaya kita. Saya percaya hal itu bisa menjadi nilai bersama dalam membangun kolaborasi ke depan,” tukas Hong Tjhin sumringah.
Semangat kolaborasi ini sejalan dengan nilai-nilai pendidikan humanis yang selama ini ditanamkan oleh Tzu Chi, yang kini telah menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Pendidikan humanis tersebut menekankan bahwa tugas utama pendidikan adalah menyentuh hati dan memanusiakan manusia. Dari Tzu Chi, pesan ini kini dibawa pulang oleh para kyai ke pesantren-pesantren mereka, siap menumbuhkan tunas pembaruan yang penuh kasih dan karakter.
Editor: Hadi Pranoto