Melihat Derita untuk Berucap Syukur

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Johny Chandra (He Qi Barat)
 
foto

Dr Kurniawan saat memeriksa Budiantor di rumahnya. Obat-obatan yang diberikan dapat meredakan rasa sakit yang dirasakan oleh Budianto.

Di pinggir Jalan Baru, Tegal Alur, Jakarta Barat, di antara toko-toko kelontong terdapat sebuah gang kecil yang tak berpapan nama di depannya. Jalan dalam gang ini berkelok-kelok ditebingi oleh tembok-tembok rumah pada kiri-kanannya. Air hujan pada hari sebelumnya hanya menyisakan tanah yang becek dan berlumpur, membuat jalan kecil ini semakin sulit untuk dilalui.

Rumah Budianto berada agak menjorok dari dalam gang. Letaknya berhimpitan dengan rumah-rumah lain yang juga tidak terlalu besar. Di atas lahan 3 x 4 meter ini Budianto tinggal bersama istrinya, dua orang putra, seorang menantu dan cucu. Jendela rumahnya selalu tertutup rapat. Pertukaran udara dan cahaya matahari hanya bisa masuk melalui satu-satunya celah di rumah itu, yaitu pintu utama. Begitu memasuki rumah, udara terasa pengab dan lembab. Rumah ini hanya memiliki satu ruang tamu, satu kamar tidur, dan sebuah dapur. Kamar satu-satunya di rumah itu telah ditempati oleh anaknya yang telah berkeluarga, sedangkan Budianto menempati ruang tamu yang di sebelahnya berdiri altar Buddha.

Penyakit Langka
Di ruang inilah Budianto yang telah berusia lanjut selama satu tahun mengisi hari-harinya hanya dengan berbaring lemas. Tubuhnya terlihat kurus, kulitnya terlihat putih memucat, pribadinya pun tak menampakkan kegembiraan dan semangat hidup. Penyakit Budianto bisa dikatakan sebagai penyakit yang langka. Hampir sebagian dari wajahnya rusak dan tak utuh lagi, disebabkan oleh penyakit itu.

Awalnya di tahun 2004, tiba-tiba tahi lalat yang ada di wajah Budianto terlepas dengan sendirinya dan menyisakan sebuah luka kecil. Budianto hanya mengobatinya dengan dengan salep, kemudian menutupnya dengan plaster. Setelah beberapa hari, luka di wajah Budianto masih belum juga mengering, tapi justru semakin membesar hingga sebesar uang logam. Akhirnya Budianto dan Lina, istrinya memeriksakan diri ke dokter di daerah Kebon Pisang, Jakarta Barat. Menurut dokter di klinik itu, Budianto menderita sakit gula. Selain diberikan obat, Budianto juga harus berpantang makan makanan yang manis-manis. Tetapi penyakit Budianto tak kunjung sembuh, justru semakin hari luka itu semakin melebar di wajahnya. Budianto dan Lina pun akhirnya kembali mengunjungi dokter. Kali ini mereka mengunjungi dokter yang lain di daerah Lingkungan 3. Setelah diperiksa, dokter mengatakan penyakit yang diderita Budianto bukan hanya gula tetapi penyakit kanker. “Oh, ini bukan gula, Bu, tetapi kanker,” terang dokter kepada Lina. Mengetahui dirinya tengah mengidap penyakit kanker, perasaan Budianto sangat terpukul saat itu. Namun karena menyadari kondisi kehidupannya yang tidak mampu, ia hanya bisa memasrahkan dirinya terhadap penyakit yang ia derita.

Dahulu sewaktu muda Budianto pernah bekerja sebagai pemburu babi, setelah beberapa lama akhirnya ia beralih sebagai penangkap burung dan pembuat sangkarnya untuk dijual di pasar. Kini ia telah berusia lanjut, pekerjaan itu tak mampu ia lakukan lagi dan sekarang yang meneruskan profesi itu adalah putranya, Herianto. Selain menangkap burung, Herianto terkadang juga menjual belut dan ikan di pasar. Menyadari kehidupannya yang pas-pasan dan hanya bergantung dari pemberian anak-anaknya, maka Budianto hanya mengobati luka-luka di wajahnya dengan olesan salep dan membalutnya dengan perban. Tetapi semakin lama luka itu semakin meradang hingga beberapa bagian dari wajahnya seperti, gusi, bibir, daging pipi depan, dan daging hidung mengelupas dan hancur.

Malu Bertemu Orang Lain
Hingga di tahun 2008, penyakit itu semakin terasa menyiksa Budianto. Selera makannya kini menurun karena penyakit itu tidak hanya meninggalkan luka dan lubang-lubang pada wajahnya, tetapi juga menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Kucuran darah sering keluar dari wajahnya yang terluka. Penyakit Budianto semakin parah dan ia semakin menderita. Tidak hanya itu, bentuk wajahnya yang berubah membuat Budianto merasa malu untuk bertemu dengan orang-orang di lingkungannya. Pernah suatu hari anak-anak kecil mengejeknya dengan berkata, “Ih serem.” “Ih takut wajahnya bolong,” teriak anak-anak kepada Budianto. “Emangnya gua setan. Nanti gua bilangin ke orangtua elu,” hardik Budianto dengan kesal. Semenjak hari itu Budianto tidak lagi mau keluar rumah. Hari-harinya ia habiskan dengan berbaring di tempat tidur sampai satu tahun lamanya.

foto  foto

Ket : - Menurut dr Kurniawan, Budianto kemungkinan menderita penyakit Basalioma, yaitu suatu penyakit kanker
           yang menyerang jaringan lunak pada tubuh penderitanya. (kiri)
         - Tekanan darah yang tinggi membuat Budianto sering terlihat emosional dalam kehidupan sehari-hari.
           Karena wajahnya yang rusak, Budianto kini lebih suka mengurung diri di rumahnya. (kanan)

Lain Peristiwa di 2008
Saat menyaksikan serial “Pelangi Kehidupan” di DAAI TV pada 2008, Johny mendapatkan sesuatu yang berbeda baik dari kisahnya maupun pengaruhnya terhadap dirinya sendiri. Di serial itu, Johny menemukan kecocokan yang ia alami, hingga membuatnya bertekad untuk mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik.

Judi bukanlah hal yang baru dan asing bagi Johny. Sejak masih di Sekolah Dasar (SD) Johny sudah akrab dengan permainan yang menggunakan taruhan uang itu. Hobinya ini terus berlanjut hingga ia dewasa, bahkan setelah menikahi Nilawati pada tahun 1999 hobinya ini masih belum lepas dari dirinya. Semua jenis permainan judi yang umum di masyarakat seperti remi, qiu-qiu, capsa, pasang nomor, judi bola hingga ke Genting, Malaysia pernah ia jalani. Karena menuruti hobinya ini, Johny pernah meludaskan uang tabungannya hingga hanya tersisa Rp 200.000 saja. Rumah tangganya pun menjadi tidak harmonis. Johny sering bersikap tempramental terhadap istri dan anak-anaknya. Setelah menyaksikan serial drama “Pelangi Kehidupan”, Johny langsung tersentuh dan berkeinginan untuk mengubah dirinya.

Waktu yang ia miliki tidak ia sia-siakan begitu saja. Dengan keinginan yang kuat, setelah mendapatkan informasi yang cukup tentang kegiatan Tzu Chi di Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Gedung ITC Mangga Dua, Jakarta maka Johny menetapkan hati untuk bergabung dengan Tzu Chi pada tanggal 4 Mei 2008.

Selama bergabung dengan Tzu Chi, Johny lebih sering mengikuti kegiatan kasus. Banyak kasus yang ia tangani sampai di awal tahun 2009 jodoh mempertemukannya dengan kasus Budianto. Begitu menemukan kasus ini, Johny bersama Afuk relawan Tzu Chi langsung melihat keadaan Budianto. Melihat kondisinya yang begitu berat, Johny berinisiatif untuk membawa Budianto ke RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat. Di RSKB Cinta Kasih Johny menemui dr Kurniawan untuk dapat segera memeriksa dan memberikan obat kepada Budianto.

Satu minggu kemudian Johny datang mengunjungi Budianto. Budianto yang bertemu Johny langsung bertanya, “Pak Johny kapan mau antar saya ke rumah sakit lagi?” ternyata setelah mengonsumsi obat yang diberikan oleh dr Kurniawan, Budianto merasa kondisinya lebih baik. Rasa sakit di wajahnya sudah mereda dan tidurnya kini sudah tidak gelisah lagi. Kondisi ini membuat Johny merasa gembira dan langsung memberitakan kepada dr Kurniawan, “Dok, ini obatnya ternyata bermanfaat,” kata Johny kepada Kurniawan. Maka setelah itu kasus Budianto segera dibahas agar cepat mendapatkan bantuan.

Tak lama, Budianto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang lama dan ditangani oleh banyak dokter membuat Budianto menjadi lelah dan pingsan sesampainya di rumah. Pengalaman ini membuat Budianto mengendurkan keinginannya untuk berobat. Mengetahui hal ini, Johny tak tinggal diam. Ia menjadi sering mengunjungi Budianto untuk menghibur dan membangun kembali semangatnya yang telah runtuh. Jumat, 22 Mei 2009 Johny bersama Leo Kusno, dr Kurniawan, dan zr Jumiah kembali mengunjungi Budianto. Selain menghiburnya, kunjungan ini juga bertujuan mengontrol kondisi kesehatan Budianto dan memberikan obat-obatan yang diperlukan.

Menurut Kurniawan, Budianto kemungkinan menderita penyakit Basalioma, yaitu suatu penyakit kanker yang menyerang jaringan lunak pada tubuh penderitanya. Untuk mengobati penyakit itu diperlukan waktu yang cukup panjang dan dibutuhkan campur tangan dari berbagai spesialis kedokteran. “Harus dilihat dahulu penyebabnya, apa benar kanker itu. Nanti dari situ dikasih lihat berapa luas rusaknya. Kalau sudah ketahuan baru ditentukan kesembuhannya,” terang dr Kurniawan.

foto  

Ket : - Menurut Johny, relawan Tzu Chi, selama ia bergabung di Tzu Chi ia mengenal arti bersyukur dan berbagi
           terhadap sesama.

Memaknai Hidup dengan Bersyukur
Melihat kondisi Budianto, Johny tidak dapat berharap banyak. Ia hanya berharap agar tim medis segera menemukan pengobatan yang tepat untuk Budianto. Selain itu ia juga mengharapkan agar anak-anak Budianto mau beralih pekerjaan dari penangkap burung ke pekerjaan lain yang tidak lagi mencari nafkah dari mengorbankan makhluk hidup. Johny pernah menyarankan agar Herianto meninggalkan pekerjaannya sebagai penangkap burung. Jalan keluarnya ia bersama seorang relawan bermaksud mengusahakan agar Herianto berdagang jeruk. Tetapi rupanya Heri masih belum bersedia untuk beralih pekerjaan. “Harapannya dapat menyadarkannya. Di Tzu Chi kita kan cinta kasih sedangkan yang mereka perdagangkan ini adalah makhluk hidup,” kata Johny.

Dari semua kasus yang pernah ia tangani termasuk kasus Budianto, sesungguhnya telah memberikan banyak pelajaran bagi kehidupan Johny. “Kita benar-benar dikasih pelajaran agar bisa benar-benar bersyukur. Kita selama ini hanya tahu orang sakit kemungkinan hanya lihat dari koran, sepintas. Saat ini kita benar-benar terjun melihat langsung,” kata Johny.

Sebuah perasaan yang tak ternilai ia rasakan bila pasien yang ia dampingi akhirnya bisa sembuh dan tersadarkan hingga turut menjadi orang yang bisa bersumbangsih. Rasa puas ini menurut Johny melebihi puasnya menerima kemenangan-kemenangan dari berjudi.

Manfaat kebaikan itu tidak hanya ia nikmati sendiri, tetapi juga ia tularkan kepada Nilawati dan kedua anaknya Kevin dan Kerin. Dua bulan terakhir ini Nilawati aktif dalam kegiatan Tzu Chi dengan menjadi Dui Fu Mama (Ibu pendamping) pada Xiao Tai Yang (Kelas Budi Pekerti Tzu Chi) dan kedua anaknya pun ikut sebagai peserta Xiao Tai Yang. “Makna dari ini semua sesungguhnya kita tidak sekadar menolong pasien, tetapi sesungguhnya kita menolong diri sendiri,” ujar Johny.

 

Artikel Terkait

Tzu Ching Fun Day: Be Different, Your Experience with Tzu Chi

Tzu Ching Fun Day: Be Different, Your Experience with Tzu Chi

19 Oktober 2017
Sosialisasi Tzu Ching yang mengusung tema Jiu Shi Bu Yi Young (Be Different, Your Experience with Tzu Chi) ini berhasil mengumpulkan sebanyak 42 peserta yang berasal dari kalangan mahasiwa, SMK dan sederajat, serta umum.
Suara Kasih: Harapan dari Pendidikan

Suara Kasih: Harapan dari Pendidikan

14 Juni 2012 Melihat angkatan demi angkatan wisudawan yang menerima pendidikan kita, saya merasa lebih tenang. Pendidikan adalah harapan bagi manusia, juga merupakan harapan bagi masyarakat. Anak-anak harus dibimbing dengan baik agar setelah lulus sekolah, mereka bisa berkontribusi bagi masyarakat dan menjadi insan yang berkualitas.
Bantuan Kebakaran: Bentuk Cinta Kasih dan Menjalin Tali Silahturahmi

Bantuan Kebakaran: Bentuk Cinta Kasih dan Menjalin Tali Silahturahmi

23 Maret 2016
Relawan Adi Wisastra selaku koordinator kegiatan ini mengungkapkan harapannya yaitu agar para warga yang tertimpa musibah dapat segera bangkit lagi semangatnya.
Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -