Memperkenalkan Budaya Humanis

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

fotoPendeta Arif Multi menilai Tzu Chi telah memberikan langkah nyata dengan memberdayakan kekuatan dari umat atau relawan untuk menjalankan misi kemanusiaan dan pelestarian lingkungan.

 

Seorang manajer berkisah kepada Chia Wen Yu, relawan Tzu Chi. Dahulu ketika Tzu Chi membagikan 50 ribu ton beras kepada warga tidak mampu di Indonesia, sang manajer sebagai salah satu karyawan di perusahaan yang memfasilitasi pembagian beras itu mendapatkan tugas untuk menjaga dan menyalurkan beras. Puluhan ton beras dan jumlah warga yang tidak sedikit untuk dibagikan, membuat manajer ini harus bekerja ekstra keras. Bahkan ia harus rela mengurangi jam istirahatnya.

Kerja Keras yang Tidak Sia-sia
Maka ketika program pembagian beras ini berakhir, sang manajer merasa sangat lega karena telah melewati hari-hari yang sulit, bahkan melelahkan sepanjang ia menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Esok paginya setelah ia bagun tidur, sambil ditemani secangkir kopi hangat ia membaca sebuah surat kabar. Hatinya langsung tersentak ketika headline yang ia baca mengisahkan tentang kegembiraan seorang kakek setelah menerima beras dari Tzu Chi. Seumur hidupnya, baru kali ini si kakek bisa memiliki 20 kg beras. Tanpa terasa air mata pun mengalir dari sudut-sudut matanya. Kini ia baru menyadari jika kerja kerasnya tidaklah sia-sia. “Rupanya beberapa malam saya tidak tidur, beberapa malam saya bekerja keras, (akhirnya) saudara saya telah menerima (hasilnya),” katanya kepada Wen Yu.
           
Demikian pula dengan muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching) yang turut membagikan beras. Ketika ia memikul beras sambil menggandeng tangan seorang nenek, di pertengahan jalan si nenek menghentikan langkahnya. Pemuda ini langsung menoleh dan mendapati si nenek yang tengah menangis. Sambil terisak si nenek berkata, “Seumur hidup anak saya belum pernah menggandeng tangan saya.”

“Itulah ajaran Tzu Chi,” jelas Wen Yu. Menurutnya selama ini seringkali seorang anak melupakan untuk memberikan kasih sayang kepada orangtuanya. Bahkan untuk mengatakan “Papa, Mama aku sayang kamu” menjadi jarang terucap. Tzu Chi selalu mengajarkan berbakti dan cinta kasih kepada semua orang.

“Beras pada suatu hari pastilah habis, tetapi cinta kasih kita kepada sesama selamanya ada di hati,” kata Wen Yu. “Di Tzu Chi, setiap memberikan bantuan kita hendaknya mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah kita berikan bantuan. Selalu mengucap terima kasih itulah yang mengubah langit Indonesia menjadi lembut, menjadi damai,” terang Wen Yu.

foto  foto

Ket: -Chia Wen Yu, relawan Tzu Chi, menerangkan bahwa Tzu Chi adalah tempat pelatihan diri. Relawan tidak            hanya sekadar membantu orang lain, tetapi lebih dari itu adalah menolong diri mereka sendiri. Karena            dengan menolong orang lain, maka relawan dapat terbuka hatinya..(kiri).
        - Sebanyak 66 umat Gereja Sidang Jemaat Allah Betlehem Bogor, Jawa Barat, mendapatkan penerangan                  tentang budaya kemanusiaan Tzu Chi dari relawan..  (kanan)

Menyebarkan Budaya Kemanusiaan
Budaya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha menciptakan budaya dalam kehidupannya. Melalui penciptaan budaya inilah manusia memiliki peradababan yang luhur dari kehidupan sebelumnya yang primitif.

Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Bisa dikatakan untuk membangun masyarakat yang damai tentu harus diterapkan sebuah budaya yang positif. Karena itulah Tzu Chi memfokuskan diri dalam mengembangkan budaya yang berbasis kemanusiaan.

Budaya yang dikembangkan Tzu Chi sesungguhnya adalah budaya hakiki manusia, yaitu cinta kasih dan rasa syukur. Cinta kasih adalah sumber dari kedamaian dan sumber dari keindahan di dunia ini.  Sedangkan rasa syukur merupakan sumber dari keikhlasan hati. Sedikitnya itulah yang disampaikan oleh Wen Yu dan beberapa relawan Tzu Chi kepada jemaat Gereja Sidang Jemaat Allah Betlehem Bogor pada Senin, 2 November 2009, di Jingsi Book and Café Pluit dan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.   

foto  foto

Ket: -Relawan daur ulang sedang menjelaskan kepada salah satu jemaat yang mengunjungi Posko Daur Ulang           Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. (kiri).
       - Hok Lay Shixiong, relawan Tzu Chi sedang menerangkan kepada para jemaat tentang keberadaan Tzu Chi           yang telah ada di 47 negara di dunia. (kanan)

Dalam kunjungan itu, sebanyak 66 jemaat diperkenalkan secara singkat dan luas tentang misi dan visi Tzu Chi. Cinta kasih dan bersyukur tidak hanya diberikan kepada sesama umat manusia, tetapi juga kepada bumi tempat manusia berpijak. Tzu Chi melakukannya dengan menerapkan pelestarian lingkungan. Suriadi, relawan Tzu Chi, menerangkan bahwa di Tzu Chi sampah adalah “emas” dan emas dapat diolah menjadi cinta kasih. Karena melalui sampah yang telah terolah, Tzu Chi mampu menyalurkan bantuan pengobatan bagi masyarakat tidak mampu, dan melalui sampah pula relawan Tzu Chi menjadi tahu menghargai barang, melestarikan lingkungan, dan bersyukur. Semuanya adalah cinta kasih.

Dari kunjungan sehari dalam rangka perkenalan ini, Pendeta Arif Multi berpendapat Tzu Chi sebagai organisasi yang telah sukses memberdayakan kekuatan relawan dalam mewujudkan visi dan misinya. “Saya melihat kita seharusnya tidak cuma bicara tetapi harus ada tindakan nyata. Saya lihat Tzu Chi sudah masuk ke situ. Sudah ada langkah nyata buat memberdayakan kekuatan dari umat atau relawan untuk membangun,” katanya

Menurutnya, melalui kunjungan ini sedikitnya ia mendapatkan gambaran mengenai organisasi kemanusiaan seperti yang telah ia kembangkan di kota Bogor, yaitu pengembangan komunitas. Selama satu tahun pengembangan komunitas berjalan, organisasi ini telah membuahkan hasil berupa berdirinya sekolah gratis Rajawali Indonesia yang dikhususkan untuk masyarakat menengah ke bawah. “Karena sebenarnya kami juga mempunyai rencana di Kota Bogor, yaitu pengembangan komunitas. Kami sedang mengembangkan sekolah gratis bagi masyarakat menengah ke bawah, tetapi masih kecil,” katanya. Setidaknya dari kunjungan ini Pendeta Arif merasa mendapatkan inspirasi untuk dipelajari demi kemajuan komunitasnya. “Kita harus bisa lebih terbuka. Perbedaan jangan membuat kita tidak mau belajar. Justru dengan perbedaan kita akan semakin kaya dengan inspirasi-inspirasi yang ada,” tandasnya.

 
 

Artikel Terkait

Berbagi Sukacita Sambut Idul Fitri Bersama Pencari Suaka

Berbagi Sukacita Sambut Idul Fitri Bersama Pencari Suaka

05 Juni 2018
Memasuki bulan Ramadan hari ke-15, relawan Tzu Chi Sinar Mas bergerak menuju Cisarua, Kabupaten Bogor. Relawan menyalurkan 340 paket lebaran bagi para pengungsi dan pencari suaka di dua lokasi, yaitu Refugee Learning Center dan Refugee Learning Nest.
Memasuki bulan Ramadan hari ke-15, relawan Tzu Chi Sinar Mas bergerak menuju Cisarua, Kabupaten Bogor. Relawan menyalurkan 340 paket lebaran bagi para pengungsi dan pencari suaka di dua lokasi, yaitu Refugee Learning Center dan Refugee Learning Nest.
Suara Kasih: Pengetahuan dan Kebijaksanaan

Suara Kasih: Pengetahuan dan Kebijaksanaan

27 Juli 2011
Selain itu, kita juga harus memahami Jalan Agung. Janganlah kita berkata, "Saya meyakini Dharma dan akan berikrar." "Saya ingin mempraktikkannya, hanya saja belum waktunya." Kita harus tahu bahwa ada dua hal yang tak bisa dihentikan, yakni waktu dan ketidakkekalan.
Who Am I?

Who Am I?

15 Agustus 2019

Dengan mengisi selebaran kertas, anak-anak dapat memikirkan secara langsung dan tidak langsung kepribadian mereka. Ini salah satu kegiatan Gathering Anak Asuh pada Minggu, 4 Agustus 2019.

Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -