Sebanyak 77 relawan mengikuti Pelatihan Relawan Abu Putih III. Pelatihan ini bertujuan memperkuat tekad dan keyakinan relawan, membina diri, serta meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip kemanusiaan Tzu Chi.
"Gen zhe shang ren wen wen de zou (mengikuti langkah Master dengan mantap)" menggema penuh semangat di Aula lantai tiga Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Cabang Medan pada Minggu, 25 Mei 2025. Suara itu disertai gerakan isyarat tangan dari para relawan dalam Pelatihan Relawan Abu Putih III, yang diikuti oleh 77 peserta dan didukung oleh 49 relawan panitia.
Dipandu oleh Sani Husiana, pelatihan ini menghadirkan berbagai sesi yang memperkuat pemahaman peserta tentang visi dan misi Tzu Chi. Mulai dari materi inspiratif, peragaan isyarat tangan, hingga sesi berbagi pengalaman—semuanya dirancang untuk melatih relawan agar mampu menerapkan cinta kasih dan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.
Melatih Diri, Memperkuat Tekad
Master Cheng Yen (pendiri Tzu Chi) selalu mengingatkan bahwa kebajikan harus disertai kebijaksanaan. Itulah sebabnya, pelatihan menjadi bagian penting dalam perjalanan seorang relawan. “Pelatihan ini membantu relawan lebih yakin terhadap misi dan filosofi Tzu Chi, sekaligus memperkuat komitmen untuk menjalankan kebajikan dan menyebarkan cinta kasih,” ujar Lina Kosnen selaku koordinator pelatihan.
Yanny membabarkan prinsip kemandirian Master Cheng Yen, “Sehari tidak bekerja, sehari tidak makan,” yang menjadi teladan dan tradisi keluarga Jing Si hingga terwujudnya Griya Jing Si.
Pelatihan dibuka dengan materi dari Yanny, yang membahas prinsip kemandirian Master Cheng Yen: "Sehari tidak bekerja, sehari tidak makan". Prinsip ini menjadi pondasi berdirinya Griya Jing Si dan menjadi contoh nyata bahwa setiap langkah Tzu Chi dibangun atas kerja keras dan keikhlasan. “Master bahkan menolak persembahan dari siapa pun dan memilih bekerja membuat sepatu bayi bersama pengikutnya demi bertahan hidup,” jelas Yanny.
Griya Jing Si disebut sebagai “kampung halaman batin” bagi insan Tzu Chi—tempat bermula dan bertumbuhnya nilai-nilai kebaikan. Nutrisi spiritual dan kehidupan dipupuk di sana: melatih hidup hemat, tahan derita, dan bersumbangsih dengan hati murni. “Semangat ajaran Jing Si adalah mengendalikan diri, rajin, hemat, dan tabah. Dulu, kini, dan kelak, semangat itu tetap menyala,” pesan Yanny.
Menyelamatkan Bumi, Menyelamatkan Hati
Sesi berikutnya bertema “Sepaham, Sepakat, Sejalan Menjalankan Misi Pelestarian Lingkungan”, dibawakan oleh Tony Honkley, Koordinator Pelestarian Lingkungan He Qi Jati. Ia menceritakan awal mula gerakan pelestarian lingkungan Tzu Chi yang berakar dari ceramah Master Cheng Yen bertajuk "Hidup Penuh Berkah" di Taichung, Taiwan, pada 1990.
Tony Honkley membawakan sesi pelestarian lingkungan bertema Sepaham, Sepakat, dan Sejalan Menjalankan Misi Pelestarian Lingkungan. Ia menjelaskan cara memilah dan mendaur ulang sampah serta manfaatnya.
Sejak itu, misi pelestarian lingkungan terus berkembang. Pada 2005, Master menyerukan lima arah perubahan: peremajaan, pola hidup ramah lingkungan, edukasi, keluarga ramah lingkungan, dan pelestarian batin. Tony menekankan bahwa kegiatan daur ulang bukan sekadar mengelola sampah, tetapi juga melatih kesabaran, bersosialisasi, menjaga tata krama, hingga menjadi teladan bagi lingkungan.
“Misi ini bukan untuk sesaat, tapi harus dijalankan terus-menerus. Setiap relawan wajib menjadi pelaku langsung dan menginspirasi orang lain,” ajaknya.
Melaporkan Kebaikan, Mewariskan Nilai
Liani mengajak relawan memahami misi budaya humanis (ren wen), yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia juga menyoroti peran relawan dokumentasi dalam menyampaikan kebenaran dan menyebarkan kebaikan lewat karya visual dan audio yang menyentuh.
Dalam sesi budaya humanis bertema “Mewariskan Kebenaran, Membimbing Generasi Penerus”, Liani—Koordinator Zhen Shan Mei He Qi Jati—mengajak peserta memahami peran penting relawan dokumentasi. Melalui lensa kamera dan kata-kata, mereka menyampaikan kebaikan dan mencatat sejarah untuk diwariskan.
“Ren ren zhen shan mei—setiap orang adalah mata dan telinga Master Cheng Yen. Siapa pun bisa jadi saksi kebaikan, kapan pun dan di mana pun. Tulislah sejarah Tzu Chi agar generasi mendatang bisa belajar dan terinspirasi,” ujar Liani penuh semangat.
Cinta Kasih dari Meja Makan
Materi penutup dibawakan oleh Handra Sikoko tentang dedikasi melalui pola hidup vegetarian. Ia menekankan bahwa bervegetarian bukan sekadar pola makan, melainkan bentuk welas asih, pengendalian diri, dan cara mencintai bumi.
“Dengan vegetarian, kita menghindari jalinan karma buruk, menjaga tubuh dan batin tetap jernih, serta menunjukkan kasih sayang kepada semua makhluk hidup,” jelasnya. Handra mengingatkan bahwa banyak bencana bermula dari nafsu manusia yang tak terkendali, termasuk dalam hal makan. “Master berharap murid-muridnya mampu berubah dan bertindak nyata sesuai ajaran. Itulah persembahan terbaik,” tuturnya.
Relawan Komite Tzu Chi Medan memperagakan isyarat tangan lagu Ci Bei De Bu Fa (Jejak Langkah Welas Asih), sebagai bentuk visualisasi tema pelatihan.
Pelatihan ditutup dengan peragaan isyarat tangan lagu Ci Bei De Bu Fa (Jejak Langkah Welas Asih), yang menggambarkan makna pelatihan kali ini. Para peserta juga berbagi kesan yang mengharukan.
Farida Ariani, peserta yang baru pertama kali mengikuti pelatihan, merasa sangat terinspirasi. “Semuanya sangat menyentuh dan sesuai dengan nilai kehidupan. Saya paling terkesan dengan materi lingkungan dan vegetarian,” ungkapnya. Ia mengenal Tzu Chi dari DAAI TV dan merasa nyaman karena kegiatan Tzu Chi tidak membedakan agama, suku, atau ras.
Yanty Yunita (kanan) merasa materi pelatihan sangat relevan untuk diterapkan dalam kegiatan relawan sehari-hari. Baginya, pelatihan ini memberikan pengalaman yang mendalam dan bermakna.
Para relawan berfoto bersama relawan panitia seusai pelatihan, sebagai penutup penuh semangat dan kebersamaan.
Senada dengan itu, Yanty Yunita yang sudah mengikuti pelatihan hingga enam kali mengatakan, “Setiap pelatihan memberikan pengalaman berharga. Saya sangat tertarik dengan sesi budaya humanis, karena nilai-nilainya relevan di dalam dan di luar Tzu Chi.”
Editor: Hadi Pranoto