Sebanyak 53 relawan Tzu Chi Surabaya berkumpul mengikuti Training Abu Putih ke-4 untuk memahami nilai-nilai universal Tzu Chi serta penguatan batin bagi masing-masing peserta.
Minggu pagi, 24 Agustus 2025, matahari bersinar hangat. Sepekan setelah peringatan Hari Kemerdekaan, sebanyak 53 relawan Tzu Chi Surabaya berkumpul mengikuti Training Abu Putih ke-4 yang diadakan secara serentak melalui Zoom. Cuaca yang cerah seakan menjadi penyemangat tambahan bagi para peserta yang hadir dengan penuh antusias.
Sejak pagi suasana terasa hidup, pukul 08.00 WIB relawan sudah banyak yang menempati meja masing-masing. Ada yang saling menyapa dengan hangat, ada yang duduk tenang menunggu sesi dimulai, sementara panitia hilir mudik memastikan segala persiapan berjalan lancar. Pelatihan dimulai dengan penghormatan kepada Master, dilanjutkan lantunan Mars Tzu Chi serta 10 Sila Tzu Chi.
Materi pertama dibawakan oleh Anie Widjaja yang mengajak peserta memahami semangat 4in1. Beliau mengisahkan bagaimana struktur ini lahir dari peristiwa topan “He Bo” pada tahun 1996 yang menimbulkan banjir dahsyat di Taiwan, saat warga sekitar bergotong royong membantu korban. Kemudian tahun berikutnya pada tahun 1997, Master mulai menerapkan prinsip Komunitas Relawan untuk mempererat persahabatan dan kerukunan bertetangga “He xin, he qi, hu ai, xie li” yang maknanya bersatu hati, harmonis, penuh cinta kasih, dan saling mendukung, menjadi semangat yang terus diwariskan hingga kini. Pada tahun 2003 saat HUT Tzu Chi ke-30, relawan berkembang pesat sehingga Master membentuk Struktur 4in1 kemudian dilanjutkan tahun 2006 saat sistem ini mulai diterapkan di Indonesia.
Relawan dengan fokus dan seksama mendengarkan setiap materi yang disampaikan oleh pemateri yang disampaikan secara online melalui sambungan Zoom.
Suasana hening terasa saat Wylen menyampaikan materi tentang menjadi teladan. Beliau mengingatkan, “Seperti guru yang mendidik muridnya, kita tak cukup hanya mengajarkan. Kita harus memberi teladan nyata.” Kata-kata ini menancap kuat, mengingatkan relawan untuk bekerja dengan rendah hati, tulus, dan sepenuh hati.
Relawan diharapkan bisa menumbuhkan sikap tanggung jawab, welas asih, dan kepeloporan dalam setiap tindakan. Sejalan dengan pesan dalam Sutra Teratai, “Ketika kita mempunyai arah yang benar di dunia, barulah kita dapat membawa manfaat bagi semua makhluk serta dapat membimbing batin mereka ke arah yang benar.”
Dengan mengasah ketulusan, kebenaran, keyakinan, dan kesungguhan di dalam, serta memancarkan cinta kasih, belas kasih, sukacita, dan keseimbangan batin ke luar, insan Tzu Chi dapat benar-benar menjadi teladan di jalan Bodhisatwa.
Selepas coffee break, aroma kopi masih terasa di ruangan ketika Freddy Ong tampil dengan materi tentang misi pendidikan. Ia bercerita tentang tantangan awal sekolah Tzu Chi, terutama ketika mendampingi anak-anak relokasi Kali Angke. Ceritanya membuat banyak peserta terdiam, membayangkan betapa pendidikan bukan sekadar mengajar ilmu, tetapi juga menata hati, menanamkan tata krama, dan menumbuhkan cinta kasih.
Becky Ciang menyambut hangat relawan yang datang dan dengan penuh suka cita mendampingi relawan yang hadir bila kurang jelas dan ada pertanyaan dari materi yang disampaikan.
Setelah 4 materi berlalu, saat makan siang pun tiba. Tim konsumsi dan pelayanan (sheng huo zu) dari pagi sudah sibuk mempersiapkan berbagai macam snack dan hidangan utama untuk para relawan. Waktu break yang cukup panjang memberikan ruang kepada para relawan untuk saling bertukar cerita dan pikiran. Bahkan sempat diadakan acara penuangan celengan bambu. Uang yang ada di dalam celengan bambu tersebut berasal dari para peserta baksos katarak yang digalang bulan Juli lalu.
Materi-materi berikutnya mengalir, mulai dari Sufei Tan yang mengingatkan pentingnya budaya humanis, hingga Jhonny yang menekankan pelatihan diri sebagai inti dari perjalanan relawan. “Jangan lupa niat awal kita,” ucapnya, “karena setiap kegiatan adalah ladang untuk memupuk kebijaksanaan.”
Pelatihan ditutup dengan materi dari Agus Hartono mengenai 10 sila Tzu Chi. Dengan bahasa sederhana, ia menceritakan bagaimana prinsip-prinsip ini mengubah hidupnya. “Dunia yang keruh bisa dijernihkan dengan cinta kasih yang murni,” katanya, disambut anggukan peserta yang tampak larut dalam renungan. Setiap sesi dilengkapi dengan pengisian form feedback untuk mendorong relawan aktif sekaligus memberi ruang refleksi atau perenungan ke dalam setiap individu, serta memberikan kesempatan kepada pembawa materi selanjutnya untuk memberikan pelatihan yang lebih baik dan materi yang inspiratif.
Relawan Tzu Chi Surabaya dengan sukacita menuangkan celengan bambu yang sudah penuh bersama.
Di sela-sela pelatihan, relawan beristirahat dan makan siang bersama. Momen sederhana ini menghadirkan suasana hangat penuh persaudaraan serta mempererat hubungan antar relawan. Pada kesempatan itu, relawan juga menuangkan celengan bambu yang dikumpulkan saat Baksos Katarak di Surabaya, sebagai wujud nyata cinta kasih dari pasien baksos katarak.
Pelatihan Abu Putih 4 ini juga penguatan batin bagi para peserta. Dengan memahami nilai-nilai universal Tzu Chi, relawan diharapkan semakin mantap menapaki jalan Bodhisatwa, menjadi teladan kebaikan, serta menebarkan welas asih di tengah masyarakat.
Menjelang sore, training berakhir. Para peserta pun pulang dengan wajah cerah, seolah membawa pulang bukan hanya ilmu, tetapi juga energi baru. Training Abu Putih ke-4 menjadi pengingat bahwa relawan Tzu Chi bukan sekadar bekerja, melainkan terus berlatih, berlatih menjadi pribadi yang lebih penuh cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan.
Editor: Metta Wulandari