Menemukan Terang di Tengah Gelapnya Penyakit

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Khusnul Khotimah , Dokumentasi pribadi

Denasari dan tim relawan dari Xie Li Bekasi kembali berkunjung ke rumah Willliam, dalam kondisi William yang sudah sembuh, Kamis 27 November 2025.

Saat teman-temannya sibuk mempersiapkan ujian sekolah dan merencanakan masa depan, William yang saat itu duduk di kelas 11 SMA justru menghadapi babak baru dari perjalanan panjang yang tak pernah ia bayangkan. Semua bermula dari batuk yang tak kunjung sembuh.

Batuk berkepanjangan itu kemudian membawanya pada serangkaian pemeriksaan seperti rontgen, tes darah, hingga akhirnya diketahui bahwa ia terserang penyakit bernama ITP (Immune Thrombocytopenia). Yaitu gangguan autoimun yang menyerang trombosit darah.

“Trombosit saya rendah. Waktu itu seingat saya di 50 ribu,” cerita William. Padahal jumlah trombosit normal antara 150.000–400.000 per mikroliter.

Rumah sakit kemudian jadi tempat yang akrab bagi William. Obat-obatan, suntikan steroid, opname, dan kontrol mingguan yang melelahkan jadi rutinitasnya di tahun 2020 hingga 2023. Setiap pekan grafik trombositnya menurun. Setiap pekan pula William dan keluarga mencoba tetap kuat.

William tetap menjalani kuliah sambil bekerja. Mimpi-mimpinya tak berhenti, meski tubuhnya kadang memaksanya melambat.  

“Saya kerja sambil kuliah pada saat itu.  Waktu itu saya di technical engineer, di bidang IT juga,” katanya.

Tahun 2024 jadi tahun terberat William. Ia drop saat sedang bekerja. Kepala berdenyut hebat, lambung sakit, tubuh lemah. Beberapa kali ia harus masuk UGD untuk transfusi trombosit.

Bulan Juli 2024, William akhirnya resign dari pekerjaannya. Tak berhenti sampai di situ, di bulan Agustus 2024 ia merasakan sakit yang luar biasa di paha, lutut, dan betis kiri-kanan. Ia bahkan sulit berjalan dan harus memakai tongkat.

Satu demi satu diagnosis datang, seperti kabar buruk yang tak mengizinkan jeda. Mulai dari glaucoma akibat penggunaan steroid jangka panjang. Tekanan bola matanya mencapai angka 36, jauh di atas batas aman. Dokter mengingatkannya tentang risiko kebutaan. Ia juga terserang Osteonekrosis, kematian sel tulang yang membuat setiap langkah menjadi perjuangan. Disusul Meniskus robek, salah satu jenis cedera lutut.

Pada masa itu, William tak hanya berjuang dengan rasa sakit fisik, tapi juga ketakutan yang sulit dihentikan. “Kalau saya buta, gimana nanti? Bisa kerja? Bisa kuliah? Kalau kaki saya enggak bisa dipakai jalan, saya harus bagaimana?” kenangnya.

William mengakui di titik itulah mentalnya jatuh.  Namun ia selalu berusaha bangkit dengan cara-cara sederhana. Seperti mendengarkan musik, menonton film, bermain game, intinya mengalihkan pikiran dari rasa sakit.

Budianto, ayah William yang selalu menyemangatinya.

Saat kondisinya paling kritis, kuliah William sempat dijalankan secara online. Baginya, layar laptop juga jadi medan perang lain karena glaucoma itu matanya cepat lelah, sering perih, bahkan cahaya pun terasa menyakitkan.

Orang tua William semakin bingung mencari cara agar pengobatan tetap berjalan. Pada saat itulah ayah William memberanikan diri untuk mengajukan permohonan bantuan ke Tzu Chi Indonesia.

“Saya hanya ingin anak saya sehat, kalau harus kerja apa pun, saya kerjakan. Tapi untuk obat-obatan, saya sudah nggak kuat sendiri.”

Ibu William adalah pekerja kantoran. Dan sejak William sakit, Budianto memutuskan resign dari pekerjaanya dan membuka usaha cuci motor dan mobil, agar punya waktu yang fleksibel sehingga dapat menemani William berobat.

Pengajuan itu kemudian diproses oleh relawan, hingga tim relawan Tzu Chi dari Xie Li Bekasi melakukan survei ke rumah William di bilangan Jati Asih, Kota Bekasi pada November 2024. Denasari masih ingat betul ketika pertama kali berjumpa dengan William yang saat itu William masih berjalan dengan tongkat, wajahnya bulat akibat efek steroid, dan langkahnya berat.

“William keluar dari kamar perlahan, jalannya enggak lancar, wajahnya moon face. Tapi semangatnya ada. Dia masih kuliah, masih mau berjuang,” kata Denasari.

Melihat kondisi itu, relawan sepakat untuk membantu biaya pengobatan, khususnya obat-obatan mahal yang tidak ditanggung BPJS. Denasari dan tim relawan rutin menanyakan perkembangannya, memotivasi ayah William.

Perlahan Membaik

Senyum hangat Denasari (kiri kedua) dan para relawan saat hadir di wisuda William dari Universitas Persada Indonesia Y.A.I, Selasa 18 November 2025.

Awal 2025, kondisi William mulai membaik. Kakinya bisa ditekuk sedikit demi sedikit, mata mulai stabil, dan trombositnya bertahan di angka aman walaupun belum normal. Oktober 2025, ia sudah bisa berjalan jauh tanpa tongkat. November 2025, hasil MRI keduanya keluar. Berita baiknya, tulang-tulangnya membaik, tidak perlu operasi. Pengobatan cukup diteruskan.

Bahkan dokter mengatakan kondisi darahnya kini terkontrol, tanpa pendarahan. Dari seorang mahasiswa yang sulit berdiri tanpa rasa sakit, William kembali dapat berjalan, kuliah, bahkan lulus tepat waktu dengan nilai yang membanggakan.

“Kalau ditanya salah satu yang membuat saya bertahan ya tanggung jawab saya sebagai mahasiswa. Dan keluarga saya, jadi saya harus lulus. Saya juga terima kasih kepada seluruh relawan yang peduli. Saya sangat terbantu, bukan cuma secara biaya tapi juga semangatnya, para relawan sering menyemangatin saya lewat ayah saya,” kata William.

Salah satu momen yang paling membekas bagi keluarga William adalah ketika ia lulus kuliah pada November 2025. Hujan deras mengguyur hari itu, tetapi Denasari dan dua relawan lainnya tetap datang, menembus hujan hanya untuk menyaksikan William menerima toga dan ijazahnya.

“Saya melihat William dari pertama pakai tongkat sampai bisa berdiri di panggung wisuda. Rasanya seperti melihat anak sendiri berhasil bangkit,” kata Denasari.

“Kalau bukan karena relawan, mungkin saya sudah menyerah. Waktu Bu Denasari datang ke wisuda, saya merasa keluarga kami enggak berjuang sendirian,” sambung Budianto, ayah William.

Editor: Anand Yahya

Artikel Terkait

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang Ber-Bhinneka

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang Ber-Bhinneka

29 Maret 2019

Penandatanganan Program Beasiswa Doktoral antara IRTI Bangun Jaya dan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) di Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara (14/3/2019).

Tak Menyerah dengan Keadaan, Bernadin Raih Impiannya Menjadi Dokter

Tak Menyerah dengan Keadaan, Bernadin Raih Impiannya Menjadi Dokter

18 Desember 2017
Kemarin, Minggu 17 Desember 2017 merupakan gathering pamungkas bagi para penerima beasiswa Tzu Chi pada tahun ini. Di tahun ini juga ada salah satu penerima beasiswa Tzu Chi mengucapkan Sumpah Dokter-nya. Namanya Bernadin Wijaya.
Survei Penerima Beasiswa Karir di NTT

Survei Penerima Beasiswa Karir di NTT

06 Agustus 2014 Sejak tanggal 1 Agustus 2014, sebanyak 4 relawan Tzu Chi Jakarta bertolak menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk melakukan survei langsung ke rumah-rumah penerima beasiswa karir Tzu Chi yang nanti akan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint. Carolus, Jakarta.
Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -