Senyum hangat menghiasi wajah Liu Su Mei, Ketua Tzu Chi Indonesia, ketika menyambut tamu istimewa, Tjondro Hoeitomo bersama istrinya, Imelda.
Raut wajah Liu Su Mei pagi itu tampak begitu semringah. Di ruang kerjanya, Ketua Tzu Chi Indonesia tersebut menerima tamu istimewa, Tjondro Hoeitomo (80) dan istrinya, Imelda (72). Pertemuan ini bukan silaturahmi biasa, tapi sebuah nostalgia yang membuka kembali kisah 32 tahun silam. Kisah tentang seorang anak bernama Ferry, pasien pertama yang menjadi saksi awal perjalanan panjang Tzu Chi Indonesia dalam memberikan pendampingan pengobatan jangka panjang.
Ferry lahir dengan kelainan tulang bawaan (osteogenesis imperfecta), kondisi yang membuat tulangnya rapuh dan pertumbuhannya tak normal. Sejak kecil, ia hanya bisa duduk atau berbaring, tak mampu berjalan atau bermain seperti anak-anak lain. Keprihatinan itulah yang menggugah hati para relawan Tzu Chi.
Pada 26 Agustus 1995, relawan membantu pemasangan pen penyangga tulang pada kakinya. Sejak saat itu, pendampingan intensif dilakukan mulai dari pengobatan medis, terapi, hingga tunjangan hidup bagi keluarganya.
Tjondro Hoeitomo menunjukkan foto-foto saat ia dan istrinya, Imelda bersama relawan Tzu Chi kala itu mendampingi pengobatan Ferry.
Tjondro Hoeitomo, kala itu menjabat sebagai bendahara RT di Pesing Jaya Baru, Jakarta Barat, masih ingat jelas bagaimana warga sekitar berusaha mencari jalan keluar. Dari pengobatan tradisional, mencari donasi, hingga akhirnya bertemu dengan relawan Tzu Chi.
“Pelan-pelan diobati, kaki satu lalu kaki dua, lalu latihan jalan,” kenangnya dengan mata berbinar. Meski kemudian kontak dengan keluarga Ferry terputus, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam baginya.
Kerinduan yang Terjawab
Selama bertahun-tahun, Tjondro menyimpan kerinduan untuk kembali bertemu para relawan, terutama Liu Su Mei. Beberapa kali ia mencoba mencari namun tak kunjung berhasil. Hingga akhirnya pada Selasa, 16 September 2025, kesempatan itu datang.
“Kemarin istri saya berobat ke Tzu Chi Hospital, lalu saya bertemu relawan. Saya bilang saya ingin sekali bertemu Bu Su Mei,” ujarnya penuh semangat.
Relawan Tzu Chi Hospital kemudian menghubungi Teksan Luis, relawan senior Tzu Chi Indonesia. Awalnya Teksan tak menyangka bahwa Tjondro adalah saksi hidup dari kasus pertama Tzu Chi. Namun setelah mengetahui kisahnya, ia segera mempertemukan kembali Tjondro dengan Liu Su Mei.
Liu Su Mei muda saat mendampingi pengobatan Ferry. Pendampingan yang diberikan Tzu Chi pada Ferry sendiri berlangsung cukup lama, sekitar lima hingga enam tahun.
Melihat perkembangan Tzu Chi hari ini, Tjondro tak bisa menyembunyikan rasa kagum. “Bukan main, mudah-mudahan bisa lebih maju lagi. Tzu Chi hebat. Tiga puluh tahun itu tidak mudah,” ujar Tjondro.
“Nama Tzu Chi sudah harum, bahkan sampai ke Palu membangun perumahan. Perhatian sekali kepada orang yang susah,” sambung Imelda tulus. Ia tahu persis karena salah satu anaknya bermukim di Kota Palu.
Bagi Liu Su Mei, pertemuan ini bagai membuka kembali lembaran awal perjalanan Tzu Chi di Indonesia. Awalnya ia mengira yang datang adalah orang tua Ferry, namun ternyata yang hadir adalah tetangga sekaligus bendahara RT yang dulu ikut membantu.
“Tak diduga, setelah lebih dari tiga puluh tahun, masih ada orang yang mengingat kasus ini,” ucapnya haru.
Ia juga mengenang keteguhan keluarga Ferry yang meski hidup sulit, tidak pernah meminta-minta. “Kadang mereka malah berkata, ‘Ini sudah cukup bagi kami.’ Itu yang membuat saya sangat terkesan,” tambahnya.
Kondisi Ferry perlahan membaik darisebelumnya yang terkulai seolah tak bertenaga.
Meski Ferry akhirnya meninggal di usia belasan tahun, kisahnya tetap menjadi tonggak penting. “Dulu kami mendampingi sekitar lima sampai enam tahun. Saat itu kasus masih sedikit. Perlahan relawan bertambah, wilayah pendampingan pun diperluas. Tapi kesan dari kasus pertama ini tidak pernah hilang,” kenang Liu Su Mei.
Pertemuan ini bagi Liu Su Mei adalah pengingat bahwa langkah kecil yang tulus dapat meninggalkan jejak besar dalam kehidupan orang lain. Ia menegaskan, kekuatan Tzu Chi bukan semata-mata dari organisasi, melainkan dari hati relawan yang menjalankan pelayanan dengan penuh tanggung jawab.
“Kalau semua hanya merasa ke Tzu Chi untuk senang-senang, hasilnya tidak akan seperti sekarang. Justru di sini semua belajar saling toleransi dan pengertian. Karena setiap orang rela mengecilkan ego dan tidak perhitungan, Tzu Chi Indonesia bisa berhasil,” ujarnya.
Sungguh pertemuan yang penuh makna bagi Liu Su Mei yang kembali dipertemukan dengan sosok yang pernah terlibat dalam kisah awal perjalanan Tzu Chi di Indonesia.
Pertemuan setelah 32 tahun ini bukan hanya sebuah reuni, melainkan cermin perjalanan Tzu Chi Indonesia dari satu kasus penuh makna hingga berkembang menjadi gerakan kemanusiaan besar. Dalam nuansa penuh nostalgia, pertemuan ini menyiratkan pesan bahwa ketulusan yang ditanam puluhan tahun silam dapat berkembang menjadi kekuatan besar bagi sesama.
Editor: Metta Wulandari