Pariaman, Sum-Bar: Pondok untuk Nenek

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 

fotoRudi Suryana, relawan Tzu Chi saat menyurvei untuk memberi bantuan, menyempatkan diri untuk memberi perhatian kepada warga yang telah berusia tua dan menderita sakit.

 

Kamis, 8 Oktober 2009, 4 relawan Tzu Chi menyurvei wilayah Dusun Bari dan Dusun Padang Limau, Kecamatan Tujuh Koto, Pariaman. Kedua dusun ini memang mengalami kerusakan yang parah akibat gempa. Meski gempa sudah lebih dari 7 hari berlalu, namun sisa-sisa kekuatannya masih sangat terasa. Di sepanjang dusun yang kami lalui, hampir semua rumah mengalami kerusakan, dan bahkan banyak di antaranya yang roboh. Hampir di setiap rumah, berdiri tenda yang menjadi tempat berteduh warga, sekaligus tempat mereka tidur. Warga umumnya masih trauma akibat gempa. Selain takut akan bayangan gempa susulan, kondisi rumah warga pun sudah tak layak lagi untuk dihuni. Mereka khawatir akan tertimpa reruntuhan rumah jika memaksakan diri untuk tetap tinggal.

Pondok untuk Nenek
Entah kekuatan apa yang membuat Lisa, gadis berumur 14 tahun ini sanggup menggendong neneknya. Delima (105) yang tengah terbaring sakit digendongnya keluar dari rumah saat gempa mengguncang, Rabu, 30 September 2009 lalu. “Nggak tahu, pokoknya angkat saja,” ucap Lisa.

Saat gempa terjadi, Lisa dan keluarganya sedang berada di dalam rumah. Sang ibu, Dasri (50) sedang memasak nasi di dapur, sementara ayahnya Nasar, sedang bekerja di ladang. Nasar adalah buruh tani. Dasri dan keempat anak lainnya langsung lari menyelamatkan diri. Tinggallah Lisa yang kebetulan posisinya dekat dengan neneknya segera bertindak cepat membawa sang nenek keluar rumah.

Tindakan Lisa sangat tepat. Jika saja ia tak membawa neneknya keluar rumah, nyawa sang nenek terancam bahaya. Sebabnya rumah mereka roboh dan ambruk seketika. Jika dilihat dari jalan, atap rumah itu rata dengan tanah. Tak ada lagi yang tersisa. “Tidak bisa lagi ditempati, kami bikin tenda di depannya,” terang Dasri, yang mengaku masih trauma dengan gempa. “Tanah goyang-goyang kuat kali. Jauh lebih kuat dari gempa dulu (2007 –red),” ujarnya.

foto  foto

Ket : - Dasri dan Nasar membangun pondok untuk ibu dan mertua mereka yang sakit-sakitan sehingga tidak kuat             dengan terpaan angin. Kondisi Delima (105) sangat sulit untuk menyelamatkan diri saat gempa terjadi. (kiri).
         - Delima (kerudung merah muda) untuk sementara mengungsi di rumah tetangganya sampai pondok yang             baru dibuat untuknya selesai dibangun. (kanan)

Jika Dasri dan keluarga bisa tinggal di tenda, tidak demikian dengan sang nenek. Selain kondisi fisik yang lemah, udara terbuka sangat tidak baik untuk kesehatannya. Karena itulah Dasri dan Nasar berinisiatif membangunkan pondok kayu untuk tempat beristirahat Delima. Sangat sederhana memang, tapi lebih nyaman ketimbang di tenda ataupun menumpang di rumah tetangga yang rumahnya mengalami rusak ringan. “Lebih aman di sini, daripada di rumah, takut ambruk nanti malah kenapa-kenapa,” kata Dasri beralasan. Menurutnya, kondisi ini lebih baik, apalagi jika pondok ini jadi, rencananya Dasri dan beberapa anaknya akan turut menemani Delima.

"Yah nggak tahu sampai kapan? Kalau ada uang ya perbaiki, kalo nggak ya kami bertahan dulu di sini,” ujar Dasri. Tanah yang dipakai pun masih milik keluarga besarnya. Dengan kondisi seperti ini, Nasar dan Dasri belum memikirkan untuk memperbaiki rumah mereka, bahkan untuk makan sekalipun mereka masih kesulitan. “Dapat dari posko (dusun),” kata Dasri. Bagi Nasar dan Delima, meski kondisi kehidupan mereka sangat sederhana, ditambah lagi musibah yang menimpa, mereka tetap memikirkan kondisi orangtua mereka. “Jadi kalo ada lagi (gempa), bisa cepat nyelamatinnya,” kata Nasar.     

foto  foto

Ket : - Saat gempa terjadi, Delima (105) diselamatkan cucunya Lisa yang baru berusia 14 tahun, yang tiba-tiba              memiliki kekuatan untuk membopong neneknya keluar dari rumah. (kiri).
         - Lokasi Dusun Bari Kampung Panjang ini dibelah oleh aliran sungai yang lebar. Warga setempat              menamainya Sungai Bajang Mangoe. Sebelum gempa, air sungai ini sangat jernih, namun kini menjadi              keruh karena membawa longsoran tanah yang terjadi saat gempa. (kanan)

Panorama Alam Nan Elok
Dusun Bari letaknya cukup jauh dari jalan raya utama. Wilayah ini seperti wilayah pedesaan lainnya memiliki pemandangan alam yang cukup mempesona. Begitu memasuki Dusun Bari, saya bersama 4 relawan Tzu Chi lainnya merasa kagum akan keindahan dusun ini. Wilayah ini dibelah oleh aliran kali yang lebar. Warga setempat menamainya Sungai Bajang Mangoe. Sayang kami datang pascagempa, sehingga tak sempat menikmati jernihnya air kali itu seperti biasanya. “Sebelum gempa, kali ini jernih sekali,” kata Rudi Hartono, Wakil Kepala Dusun Bari. Air sungai itu memang keruh kecoklatan akibat longsoran yang terjadi di Gunung Tiga yang dilintasi sungai ini.

Dengan menaiki perahu (getek), kami menyeberangi sungai berarus deras itu. Tak sampai 5 menit, kami pun sampai. Beberapa penduduk desa menyambut kedatangan kami dengan senyuman, sementara sebagian lainnya memilih tetap di tempatnya sambil mengamati kedatangan kami.  Sebuah posko bantuan tampak sepi. Udara yang panas membuat penduduk memilih untuk beristirahat di luar. Beberapa dus mi instan terlihat di dalam posko. “Sumbangan dari kerabat dan keluarga yang merantau. Kami belum dapat bantuan dari pihak lain,” kata Rudi.

foto  foto

Ket: - Dengan ditemani Wakil Kepala Dusun, relawan Tzu Chi menyurvei rumah-rumah warga yang terkena              gempa. Relawan melihat langsung kondisi warga meski harus masuk hingga ke daerah pelosok. (kiri).
          - Rumah Asmidar kini rata dengan tanah. Ibu ini selamat dari reruntuhan karena disangga oleh lemari yang              kebetulan ada di dekatnya saat itu. Setelah keluar dan menyelamatkan diri, Asmidar sempat pingsan saat              melihat kondisi rumahnya. (kanan)

Begitu banyak bangunan yang rusak. Tidak hanya rumah, beberapa surau (masjid) pun tampak rusak akibat guncangan gempa. Dengan melewati areal persawahan, kami tiba di rumah Ibu Asmidar. Rumah itu tampak rata dengan permukaan tanah, dan hanya beberapa bagian saja yang menyembul keluar lantaran tertahan oleh lemari. Usut punya usut, ternyata lemari itu pulalah yang menyelamatkan Asmidar dari reruntuhan rumah. “Saya sedang nonton TV, terus nggak sempat lari. Anak-anak sedang main di luar rumah,” kata Asmidar mengenang.

Untunglah Asmidar terlindungi lemari. Nalurinya membawanya untuk keluar merayap dari celah-celah kayu dan tembok reruntuhan dengan dipandu cahaya dari luar. Asmidar pun selamat, tanpa luka satu apapun. Tapi begitu melihat kondisi rumahnya, Asmidar mendadak jatuh pingsan. “Pedih saya lihat rumah jadi begini,” katanya sambil menunjuk bangunan rumahnya yang tandas.

Seperti korban gempa lainnya, Asmidar pun tak tahu harus sampai kapan hidup di tenda pengungsian. Rumah yang telah dibangun dari jerih payah suaminya puluhan tahun silam, kini tak lagi bisa dijadikan tempat tinggal. Satu hal yang menjadi kekuatannya, semua anggota keluarganya selamat dari bencana ini. “Kalau uang bisa dicari, tapi nyawa tidak bisa dibeli,” kata Asmidar.  

 

 
 

Artikel Terkait

Bulan Tujuh Penuh Berkah di Makassar

Bulan Tujuh Penuh Berkah di Makassar

20 September 2017

Tzu Chi Makassar memperingati bulan tujuh dengan menggelar upacara yang dihadiri para relawan dan  tamu undangan, Minggu 10 September 2017. Upacara berlangsung khidmat dengan ritual persembahan bunga dan buah, kemudian dilanjutkan dengan berdoa.

Saling Belajar dan Berbagi

Saling Belajar dan Berbagi

14 Agustus 2015 Di hari keenam kunjungannya (12/08/15), sebanyak 19 Tzu Ching yang didampingi relawan pendamping bertolak menuju Pondok Pesantren Nurul Iman yang terletak di Parung, Bogor. Dalam kunjungannya kali ini, mereka ingin mengenal dan merasakan kondisi lingkungan kehidupan pondok pesantren.
The beauty of humanity lies in honesty. The value of humanity lies in faith.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -