Para mahasiswa Tzu Chi University Taiwan, didampingi relawan Tzu Chi Jakarta, menyusuri gang-gang sempit di Kamal Muara, Jakarta Utara, menuju rumah warga penerima bantuan pembangunan rumah dari Tzu Chi.
Akhir pekan lalu, suasana di kawasan Kamal Muara, Jakarta Utara, terasa sedikit berbeda dari biasanya. Meski bau khas dari pelelangan ikan dan riuhnya pasar tetap menyapa sejak pagi, hari itu ada pemandangan yang tidak biasa. Di antara relawan Tzu Chi yang sibuk dengan kegiatan penyerahan kunci rumah baru dalam Program Bebenah Kampung Tahap Ke-6 (10/7/25), tampak sekelompok anak muda dengan wajah-wajah asing namun penuh semangat. Mereka adalah para mahasiswa dari Universitas Tzu Chi Taiwan yang tengah melakukan kunjungan ke Indonesia.
Kunjungan ini bukanlah agenda jalan-jalan atau studi biasa. Di bawah bimbingan Dr. Chu-Chia Hsu, para mahasiswa ini datang untuk belajar langsung dari lapangan dan ingin merasakan sendiri seperti apa kegiatan kemanusiaan yang selama ini hanya mereka dengar.
“Tujuan kami bukan memaksa mereka bergabung dengan Tzu Chi sepulang ke Taiwan, tapi memberi mereka pengalaman nyata selama di sini,” jelas Dr. Chu-Chia Hsu. “Ini juga pertama kalinya mereka berinteraksi langsung dengan kegiatan Tzu Chi di luar negeri. Kami ingin mereka tidak hanya tahu konsep kemanusiaan secara ‘katanya-katanya’, tapi juga melihat langsung bagaimana kerja keras dan ketulusan para relawan di lapangan,” lanjutnya antusias.
Dr. Chu-Chia Hsu (berdiri, mengenakan masker) mendampingi para mahasiswa yang tengah merakit lemari baru untuk salah satu rumah warga.
Selain berbagi sukacita dalam penyerahan kunci rumah kepada enam penerima bantuan, hari itu para mahasiswa juga ikut membantu mengecat empat rumah warga lainnya yang masih dalam tahap renovasi. Di tengah terik matahari yang menyengat dan keringat yang menetes, mereka tetap bekerja dengan semangat. Ada yang membawa kuas, ada yang mengecat dinding, ada juga yang sesekali berhenti hanya untuk menyeka keringat sambil mengobrol dengan relawan. Suasana terasa cair dan hangat, meski mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Namun tentu saja, semua ini bukan tanpa tantangan. “Awalnya saya cukup kaget,” aku Jian Yiting, mahasiswa jurusan Business and Management saat pertama kali menginjakkan kakinya di Kamal Muara.
“Jalan dari parkiran menuju rumah di sini sangat becek karena melewati pasar ikan. Kami juga harus melewati gang sempit di antara rumah-rumah yang padat. Di Taiwan saya belum pernah melihat kondisi seperti ini,” paparnya.
Tapi rasa kaget itu tak bertahan lama. Saat melihat bagaimana para relawan Tzu Chi, yang sebagian sudah berusia paruh baya tetap semangat membawa kebahagiaan dan sukacita ke dalam gang-gang sempit itu, Jian Yiting mulai memahami. “Saya baru benar-benar sadar betapa besar usaha yang dilakukan relawan untuk bisa membangun rumah di tempat seperti ini. Pasti butuh tenaga ekstra, kesabaran, dan hati yang tulus. Saya sangat kagum,” ujarnya, sambil tersenyum kecil.
Jian Yiting, mahasiswa Tzu Chi University, tampak serius mengecat dinding rumah Ibu Perawati yang masih dalam tahap penyelesaian akhir (finishing).
Tak hanya Jian Yiting, mahasiswa lain pun menunjukkan respons yang serupa. Beberapa bahkan mengaku ini pengalaman paling “nyata” yang pernah mereka rasakan selama belajar tentang kegiatan sosial. Bahkan mahasiswa Tzu Chi University asal Indonesia yang ikut dalam rombongan pun mengaku belum pernah menginjakkan kaki di wilayah seperti Kamal Muara.
“Mereka pikir Jakarta itu semua gedung tinggi dan jalan tol,” canda Lusy, relawan Tzu Chi Jakarta yang hari itu mendampingi mereka. “Padahal, di balik kota yang maju, masih banyak tempat yang butuh perhatian dan bantuan,” imbuhnya.
Dari sanalah nilai pembelajaran itu amat terasa untuk mereka. Para mahasiswa tidak hanya melihat hasil akhir berupa rumah-rumah baru yang kokoh berdiri, tapi mereka juga diajak sekilas menyaksikan dan ikut serta dalam proses pembangunannya, salah satunya mengecat rumah warga.
Sebelum mengecat rumah, relawan poertama menjelaskan bagaimana kondisi rumah tersebut sebelum dibangun. “Nah ini rumah Ibu Perawati, dulunya sudah miring ke kanan, mau ambruk. Lalu karena lebih rendah dari tanah, jadi sering banjir, sehingga Ibu Pera dan suaminya uruk tanahnya dengan kulit kerang. Nah.. seperti ini dulunya,” papar Lusy menjelaskan dengan bahasa Mandarin sembari menunjukkan foto dokumentasi rumah lama Perawati.
Pengalaman turun langsung ke lapangan menjadi momen berharga yang menumbuhkan wawasan dan kepedulian para mahasiswa terhadap sesama.
Jian Yiting yang berkesempatan mengecat rumah Perawati pun mengangguk-angguk, berkali-kali ia menoleh ke belakang seakan membandingkan bentuk rumah sebelum dan sesudah dibangun kembali.
“Kondisi rumahnya sekarang jauh lebih bagus dari rumah lama,” ucap Jian Yiting ikut senang. “Mereka dulu rumahnya masih sering banjir atau terendam, bahkan menggunakan kerang untuk mengurangi kelembapan. Sekarang Tzu Chi memberikan mereka rumah yang begitu besar, saya merasa ini sangat luar biasa. Dan semoga mereka jangan merasa minder atau kurang percaya diri, karena sekarang sudah ada orang yang membantu mereka. Rasanya Tzu Chi benar-benar ada membantu warga.” tambahnya antusias.
Dengan bertemu juga berinteraksi langsung dengan warga, mendengar cerita hidup mereka, dan kesehariannya, membuat para mahasiswa ini menyadari bahwa bantuan yang diberikan bukan sekadar fisik, tapi juga memberi harapan baru.
“Saya merasa pengalaman ini sangat bermakna,” ujar Jian Yiting. “Saya tidak merasa lelah sama sekali. Justru saya ingin membagikan cerita ini ke teman-teman di Taiwan. Bahwa dunia ini luas, dan masih banyak yang bisa kita bantu.”
Dr. Chu-Chia Hsu, pendamping mahasiswa Tzu Chi University pun mengakui bahwa kunjungan kali ini sangat membekas bagi banyak mahasiswa. Bahkan ada satu di antara mereka yang setelah pulang, menyatakan ingin bergabung menjadi relawan Tzu Chi secara aktif. “Bagi saya, itu lebih dari cukup. Artinya, pengalaman ini menyentuh hati mereka,” ujarnya.
Ketika matahari berada di ubun-ubun, para mahasiswa menyelesaikan tugas mereka. Melalui kesempatan terjun langsung seperti ini, para mahasiswa itu nantinya tak hanya pulang membawa cerita, tapi juga membawa kehangatan cinta kasih yang mungkin tak bisa mereka dapatkan dengan hanya belajar di ruang kelas.
“Semoga ini benar-benar menjadi kesempatan belajar yang sangat baik untuk para mahasiswa sehingga mereka bisa merasakan bagaimana sukacita dalam bersumbangsih,” tutup Dr. Chu-Chia Hsu.
Editor: Arimami Suryo A.