Peran Serta Muda Mudi Dalam Dunia Tzu Ching

Jurnalis : Suyanti Samad (He Qi Timur), Fotografer : Suyanti Samad (He Qi Timur)
Hari itu, Sean Tan melalui ZOOM online, menjelaskan bahwa kita harus terus memotivasi anak muda, agar tidak takut untuk mencoba. Dengan mencoba maka kita dapat menemukan jalan keluar ataupun inovasi.

Kondisi relawan muda mudi Tzu Chi (Tzu Ching) dengan Taiwan hampir sama. Relawan muda mudi di Tzu Chi Taiwan semakin sedikit. Regenerasi yang terjadi di Indonesia juga demikian adanya. Saat ini, Tzu Chi Taiwan, dalam menjalankan semua misi Tzu Chi, melibatkan relawan muda mudi agar Tzu Chi ada penerusnya, maka Tzu Chi Indonesia haruslah juga melakukan hal demikian. Demikianlah yang disampaikan Sean Tan, asisten CEO Yan Po Wen kepada 26 Tzu Ching Indonesia pada Minggu, 17 September 2023 di ruang meeting lantai 6, Tzu Chi Center, Tower 2, PIK, Jakarta Utara melalui ZOOM online. Sean menjelaskan bahwa Tzu Chi di Taiwan melakukan pendekatan dengan beberapa cara untuk mengajak muda mudi ikut serta.

“Di komunitas, bagi Tzu Ching terkadang melihat cara kerja senior bagus, maka kita merasa senior sudah cukup. Yang senior harus berani memberikan kesempatan bagi anak muda, menjadikan mereka sebagai PIC (person in charge) dan memikul tanggung jawab. Para senior harus mulai sedikit demi sedikit ada penyerahan (kaderisasi),” jelas Sean Tan. Hari itu, Sean Tan menjelaskan bahwa relawan yang senior harus memotivasi anak muda agar tidak takut untuk mencoba.

Sean melanjutkan bahwa masa Covid-19 telah banyak mengubah pola pikir kita. Sebelum pandemi, kita banyak face to face, namun sejak Covid-19 melanda, tidak mungkin dilakukan face to face. “Karena Covid, kita menemukan cara, kita bisa LIVE lewat online. Misal anak muda di Taiwan yang berusia 20-30 tahun, mereka kerja, pulang kerja sudah pasti capek, bila berkegiatan keluar lagi, kadang mereka enggan, maunya istirahat terutama Sabtu Minggu. Akhirnya kita hanya bisa menggunakan waktu pulang kerja mereka dengan menggunakan online untuk ketemu, meeting, melakukan pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan online. Lewat ini, perlahan-lahan mereka bisa ikut aktif,” imbuh Sean Tan, yang juga seorang konsultan muda mudi di Hualien, Taiwan.

Sean berharap dengan cara yang sama di Indonesia, relawan muda mudi juga lama-lama akan saling kenal, terbangun persaudaraan dan keakraban. Sehingga ketika mau mengajak mereka untuk bertatap muka, akan jadi lebih mudah.

Menggalang dan Memotivasi Relawan Muda Mudi Tzu Chi (Tzu Ching)
Saat ini, di Indonesia telah ada High Speed Train yang baru diluncurkan.  Tujuan adanya kereta cepat ini adalah sebagai transportasi untuk menyelesaikan kemacetan. Wang Yun Jing, relawan Taiwan yang memang hadir di Jakarta karena adanya Kamp Pelatihan 4 in 1 di Tzu Chi Center juga turut berbagi dalam sesi ini. Ia menghubungkan High Speed Train dengan Tzu Ching. “Kita di sini bisa mencoba untuk bagaimana Tzu Ching itu bisa seperti High Speed Train, jadi bisa semakin cepat berkembang,” ujar Wang Yun Jing.

Wang Yun Jing menjelaskan, kita harus memikirkan bagaimana untuk membuat satu jalur, sehingga orang yang masuk ke dalam komunitas bisa terarah.

Ia juga menjelaskan bahwa harus ada satu jalur yang disediakan bagi calon relawan yang akan masuk ke dalam komunitas, sehingga bisa terarah. Seperti High Speed Train, bila saat itu pemerintah tidak bergerak cepat, tidak meminta orang mengerjakan, atau bila tertunda terus, maka sekarang kita tidak akan punya alat transportasi seperti itu. “Kita harus membangun jalur infrastruktur terlebih dahulu. Jadi, ketika ada orang baru yang mau join, sudah ada infrastruktur,” jelas Wang Yun Jing.

Sean Tan menggambarkan muda mudi sebagai sebuah kue pie, yang sudah dipotong beberapa bagian dan dibagi-bagi hingga akhirnya jumlah orangnya semakin berkurang karena mereka ditarik ke sana sini. “Kita harus memikirkan membuat banyak kue pie dengan berbagai rasa. Kita kembangkan ke topik lain dari berbagai elemen anak muda, sehingga nantinya akan semakin banyak anak muda dapat bergabung di Tzu Ching. Mereka yang awalnya berseragam biru muda, kemudian ganti ke seragam abu putih hingga mereka dapat mengemban misi Tzu Chi,” jelas Sean Tan. “Di Tzu Chi, kita selalu dengar tidak ada muda mudi. Itu semua adalah tidak benar, sebenarnya sangat banyak, tetapi tidak kelihatan,” tambah Sean.

Menurutnya di Indonesia, banyak muda mudi yang bisa digalang, seperti anak-anak yang tamat dari Tzu Chi School, anak asuh (gan en hu) yang dibantu Tzu Chi, Tzu Shao yang bergabung di kelas budi pekerti, dan Tzu Ching yang sudah tamat kuliah, serta muda mudi yang telah dilantik menjadi komite. Ia menjelaskan bahwa banyak potensi (bakat) dari muda mudi yang bisa bergabung di Tzu Ching.

Terdapat tiga stage Tzu Ching yang digambarkan Sean Tan. “Stage pertama (periode pendek), adalah mengajak orang baru ikut kegiatan. Melalui kegiatan, mereka mengenal Tzu Chi, kita tangkap mereka, ajak menjadi teman-teman kita (relawan). Stage kedua (periode menengah), kita mengadakan training supaya mereka sudah terbiasa dengan kegiatan kita dan juga ajak mereka supaya menjadi seorang leader. Setelah mereka sudah bisa menjadi seorang leader. Kita mendukung mereka untuk masuk ke periode long term yaitu stage ketiga (periode jangka panjang), supaya mereka bisa dilantik jadi komite,” jelas Sean Tan.

Pada Sustainable Development Goals (arah pengembangan berkelanjutan) terdapat 17 arah, dan semua harus diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah, masing-masing negara. “Misalnya di Afrika, kita membahas tentang tidak ada kelaparan, tetapi bila kita bilang tidak ada kelaparan di Taiwan, itu sama sekali tidak ada hubungan. Di Indonesia pun, kita harus lihat Tzu Ching, lebih cocoknya untuk topik yang apa, atau kita lebih cocok masuk ke mana,” tambahnya.

Pada Covid-19 kemarin, banyak keluarga tidak bisa keluar karena adanya lockdown. Ini menyebabkan permasalahan baru karena orang tua harus bekerja, anak-anak tidak bisa keluar bermain atau sekiolah, yang mau kerja juga tidak bisa keluar. Sean Tan memberikan contoh yang terjadi di Taiwan, “Ini adalah projek, kita mengajak para mahasiswa yang terimbas Covid-19. Sebenarnya di Taiwan, ada 70% mahasiswa bekerja sewaktu liburan musim panas, ini bukan berarti mereka dari keluarga ekonomi buruk, tetapi mereka tidak berani meminta uang kepada orang tuanya. Jadi trendnya, di musim panas banyak anak muda bekerja. Kita bisa mengajak 2.000 mahasiswa untuk mendampingi 700 muda mudi tersebut dan kita berikan gaji.”

Imbasnya bagi para mahasiswa, selama liburan itu tidak ada kegiatan atau hanya di rumah saja, maka dapat menyebabkan penurunan kecepatan belajar, performance. “Ketika mau masuk kuliah kembali, sewaktu mau belajar lagi itu pasti agak susah. Jadi kita tetap membawa kegiatan ini untuk mengajak para mahasiswa bisa berkarya, dan bergabung dalam kegiatan ini,” jelas Sean Tan.

Sean juga memaparkan bahwa perkembangan Artificial Intelligence (AI) saat ini dapat menyebabkan banyak pekerjaan tergantikan. Sebagai anak muda, kita harus memikirkan bagaimana generasi berikutnya dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. “Kita harus mengajarkan Artificial Intelligence (AI) ini kepada sekolah-sekolah supaya mereka mengenal logical thinking lewat program my profit study, dan programming lainnya,” kata Sean Tan.

Di sini, Sean Tan menjelaskan bahwa Tzu Ching banyak melakukan program, tetapi bagaimana caranya supaya mereka bisa masuk, tertarik dengan program tersebut, dan memberikan training kepada mereka, atau memberikan kesempatan mereka untuk mengerti tentang program tersebut. “Beberapa anak muda memiliki bakat dan keterampilan, kemampuan. Bagaimana kita kembangkan leadership-nya mereka. Kita arahkan mereka mengikuti program-program international,” harapnya.

Pada sesi tanya jawab, Nadya Dharma menanyakan peran Tzu Chi senior dalam mendampingi relawan muda mudi (Tzu Ching) yang tidak datang berkegiatan bila temannya tidak datang.

Dalam sesi tanya jawab, Nadya Dharma salah satu peserta yang hadir, menanyakan mengenai masalah yang dihadapi relawan senior dalam mendampingi relawan Tzu Ching yang tidak datang berkegiatan bila temannya tidak datang. Sean Tan menjelaskan, “Tentunya kita harus mengubah motif relawan ikut dalam Tzu Chi. Kita harus mengetahui apa yang mereka sukai di Tzu Chi, apa saja yang bisa ia kembangkan di Tzu Chi sehingga ia memiliki inner motive, bukan dari karena diajak atau bila tidak diajak maka tidak datang.”

“Setiap orang memiliki motif masing-masing, ada yang datang ke Tzu Chi karena Buddha Dharma. Ada yang karena seru. Ada yang karena diajak teman. Kita bisa mengubah mindset mereka supaya mereka berada di Tzu Chi karena suka. Kesukaannya apa? Selama di Tzu Chi, mereka bisa menemukan perkembangan diri ke arah yang lebih tinggi. Ini adalah tugas kita bersama,” ucap Sean Tan kepada 26 relawan Tzu Ching yang hadir.

Adi Nugroho Tanujaya terinspirasi atas sharing Sean Tan mengenai generasi Z.

Ketika membicarakan perbedaan umur, misalnya generasi Z yang jarak umurnya cukup jauh, terkadang belum tentu mereka tertarik untuk mengikuti kegiatan yang ada. “Poin penting, tidak boleh membuat kegiatan hanya untuk menarik orang-orang. Bukan membuat kegiatan supaya mereka ikut kegiatan, tetapi kita buat kegiatan, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan di masyarakat, bagaimana memiliki dampak lebih luas ke masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang bisa membawa antusias bagi anak-anak baru,” jelas Sean Tan. Ia menekankan bahwa ini semua adalah tugas kita bersama.

Mendengar sharing mengenai generasi Z, Adi Nugroho Tanujaya menjadi terinspirasi dan ikut berpendapat. “Perbedaan generasi merupakan tantangan yang harus kita jawab, sehingga kita harus mengenal karakteristik generasi Z, yang mana lebih mengutamakan kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya dan memberikan nilai tambah pada perjalanan karir mereka ke depan. Pendekatan dan cara penyampaiannya pun haruslah disesuaikan, dari sebelumnya yang menekankan tentang tanggung jawab individu, menjadi menitik beratkan pada pengembangan diri dan dampak positif untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar,” ujar Adi.

Para peserta dan Wang Yun Jing foto bersama usai kegiatan sharing.

Menurutnya calon relawan Tzu Ching harus dirangkul melalui kegiatan. “Yang telah berhasil dirangkul, mulai dilatih untuk mengemban tugas sesuai kemampuan. Yang telah lama berada di Tzu Ching pun, jangan lupa untuk didukung menjadi relawan di komunitas, sehingga dari Tzu Ching bisa melahirkan relawan-relawan yang berbakat, siap terjun ke komunitas, dan menambah barisan Bodhisatwa dunia,” harap Adi Nugroho Tanujaya.

Editor: Erli Tan

Artikel Terkait

Ketika Tzu Ching Jakarta Berkumpul Kembali

Ketika Tzu Ching Jakarta Berkumpul Kembali

10 Maret 2014 Gathering Tzu Ching 2014 ini begitu seru dan bermakna dan penuh motivasi, Diharapkan Tzu Ching Jakarta dan Indonesia akan terus dan lebih bersemangat lagi pada tahun 2014 ini.
Tzu Ching Camp: Melihat Dunia dengan Hati

Tzu Ching Camp: Melihat Dunia dengan Hati

02 Desember 2011 Pikiran pertama yang terlintas saat mendengar “Tzu Ching Camp” adalah Camp di dalam tenda dengan api unggun di tengah – tengahnya. Tepat di bulan Agustus 2010, saya mengikuti Tzu Ching Camp V yang dikemas sebegitu menariknya hingga membuat saya terharu dan mengenal Tzu Chi lebih dalam.
Kenangan Indah Empat Tahun Silam

Kenangan Indah Empat Tahun Silam

11 Agustus 2015
Senin, 10 Agustus 2015 sebanyak 19 muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching) dari Taiwan berkunjung ke Sekolah Cinta Kasih dan Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan mereka dalam mengenal budaya masyarakat Indonesia dan melihat jejak Misi Pendidikan Tzu Chi di Indonesia.
Hadiah paling berharga di dunia yang fana ini adalah memaafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -