Di hadapan peserta, Efi tampak tegap dan fokus, membawakan materi dengan tenang sementara seluruh ruangan larut mengikuti alur penjelasannya.
Tekad seorang relawan kerap bersemi ketika hati tersentuh oleh kesadaran bahwa hidup ini sesungguhnya dipenuhi berkah. Dorongan untuk merawat kebaikan itu terasa kuat di Fu Hui Ting, Aula Jing Si lantai dua, Tzu Chi Center PIK, pada 30 November 2025. Pelatihan perdana relawan abu putih yang digelar oleh komunitas He Qi Pluit dan He Qi Angke mempertemukan 97 peserta dan 57 panitia, dalam sebuah ruang di mana langkah-langkah kecil disatukan oleh semangat belajar dan ketulusan. Bagi sebagian peserta, kegiatan ini merupakan awal perjalanan, bagi yang lain, momen untuk memperdalam kembali jalan kerelawanan yang telah mereka lalui.
Keheningan pagi berangsur mencair ketika Heppy membuka pelatihan dengan ajakan lembut untuk menengok niat awal. “Kita datang ke Jing Si dengan niat menjadi pribadi yang lebih baik, mengasah karakter, dan memperkuat spirit Tzu Chi,” tuturnya. Ucapan tersebut menjadi jembatan batin untuk menyambut tema hari itu: Menyadari Berkah, Menghargai Berkah, dan Menciptakan Berkah.
Lie Na kemudian menegaskan tujuan pelatihan yang digelar empat kali setahun agar para relawan benar-benar memahami materi dan meneguhkan tekad berjalan di jalan Tzu Chi. “Kita belajar bukan hanya teori, tetapi praktik,” pesannya. “Segala kebaikan berawal dari tekad yang tulus.” Sambutan itu membuka ruang bagi peserta untuk menyimak setiap materi dengan kesadaran yang lebih dalam.
Peserta terlihat asyik mencatat, mengabadikan isi materi dalam tulisan mereka sendiri, sebuah potret komitmen dalam proses pembinaan.
Kisah asal mula Tzu Chi yang dibawakan Kartini membuat suasana semakin hening. Ia menuturkan bagaimana pengalaman hidup Master Cheng Yen melahirkan gerakan welas asih yang kemudian berkembang menjadi delapan misi. “Inilah jalan Bodhisattva Tzu Chi,” ujarnya, “menyucikan hati sendiri, mengurangi penderitaan orang lain, dan membawa harapan bagi dunia.”
Paparan berlanjut dengan penjelasan Efi mengenai misi amal sebagai fondasi perjalanan Tzu Chi. Ia mengingatkan bahwa gerakan ini tumbuh dari kebiasaan sederhana yang dilakukan terus-menerus. “Kebajikan dimulai dari hal kecil,” ujarnya. Bantuan bukan hanya materi, tetapi juga kehadiran dan pendampingan yang tulus. Prinsip “cepat, tepat, langsung” kembali menegaskan bahwa sentuhan hati sering jauh lebih berarti daripada bentuk bantuan apa pun.
Nilai tersebut tampak nyata dalam kisah Andrew tentang pendampingannya bersama Andi dan Viriya kepada almarhum Iwan Sutanto dan istrinya, Jeni. Sebuah perjalanan yang dimulai dari kebutuhan pengobatan dan berakhir menjadi kedekatan keluarga. “Jika kehidupan diisi cinta kasih, kita bisa bersatu hati dan saling membantu, maka hidup tidak akan terasa kesepian,” ucapnya, menghadirkan keheningan lembut di antara peserta.

Didampingi Stephen, Melliza mengenalkan tata cara makan dalam budaya humanis Tzu Chi secara langsung kepada peserta di Lobi Fu Hui Ting.
Sebelum memasuki sesi pembinaan diri, para peserta diajak menyelami Budaya Humanis Tzu Chi melalui tiga praktik sederhana namun penuh makna: makan, berjalan, dan berpenampilan. Peserta dilatih berpenampilan rapi sebagai bentuk hormat, berjalan dengan tenang untuk melatih kejernihan batin, serta makan dengan penuh kesadaran. Praktik ini menjadi jembatan lembut menuju sesi berikutnya, yang akan membawa peserta menyelami pembinaan diri secara lebih mendalam dan personal.
Langkah Pembinaan Diri di Jalan Bodhisatwa
Memasuki sesi berikutnya, pelatihan bergerak ke ranah yang lebih personal, perjalanan batin para komite baru yang baru saja dilantik oleh Master di Taiwan. Setiap kisah menyimpan kekuatan tekad dan rasa syukur.
She Siung membuka sesi berbagi dengan hati yang masih dipenuhi haru. “Saya sangat senang dan terharu bisa dilantik langsung oleh Master,” ujarnya. Momen itu membuatnya memahami lebih dalam empat misi Tzu Chi dan tekad seorang relawan di tengah tantangan hidup masing-masing. Kisah itu mengalir menuju pengalaman The Hany, yang disemangati oleh keteguhan tiga relawan senior berusia 75, 85, dan 90 tahun saat dilantik.
Delapan komite baru tampil di depan, membagikan kisah perjalanan batin yang mereka bawa pulang dari Taiwan.
“Melihat Master Cheng Yen masuk ke aula rasanya seperti melihat Bodhisatwa agung,” tuturnya. Pesan Master Cheng Yen untuk kembali ke “kampung halaman batin” menjadi pegangan yang ia genggam erat. Suasana tersebut diperdalam oleh Sylvia, yang telah menantikan perjumpaan dengan Master selama tiga tahun. “Saat tangan Master Cheng Yen menyentuh tangan saya, rasanya seperti menerima berkah yang sangat dalam,” kenangnya. Meskipun diterpa badai Fung-Wong, pengalaman itu mengubahnya menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan lebih sadar untuk menjalani hidup penuh welas asih.
Perjalanan batin tersebut tersambung lembut menuju kisah dari komunitas HuAi Jelambar. Dewi Yanti mengingat awal langkahnya yang bertunas dari kenangan menonton kegiatan Tzu Chi bersama sang mama. “Setelah mama meninggal, saya ikut kegiatan untuk melatih welas asih dan kebijaksanaan,” ujarnya.
Pertemuan dengan Master Cheng Yen meneguhkan tekadnya untuk tidak hanya membina diri, tetapi juga menginspirasi sesama berjalan di jalan yang sama. Kisah tersebut menyatu dengan perjalanan Yusni, yang dulunya nyaris hidup sepenuhnya di toko. “Setelah bergabung, saya belajar dari teman-teman relawan,” tuturnya.
Perlahan ia mulai aktif hingga akhirnya dilantik. Kini, dengan anak-anak yang sudah bisa membantu menjaga toko, ia memiliki ruang lebih luas untuk melayani dan berikrar untuk terus berkontribusi dengan seimbang antara pekerjaan dan pengabdian.
Usai dilantik sebagai relawan abu putih, 27 peserta berpose bersama para koordinator, sebuah bingkai yang menorehkan awal langkah mereka di jalan kebajikan.
Kedalaman refleksi hari itu dilengkapi oleh Martha, yang menuturkan tiga prinsip batin yang menjadi pegangannya: “Tiada yang tidak kucintai, tiada yang tidak kupercayai, tiada yang tidak kumaafkan.” Baginya, perjalanan bersama Tzu Chi bukan tentang kesempurnaan, tetapi menumbuhkan kekuatan hati agar terus melangkah. Ia menutup dengan harapan lembut, “Semoga langkah kita panjang, dan suatu hari kita benar-benar menjadi murid Master Cheng Yen.”
Christine menutup rangkaian dengan kisah yang mengajak peserta menengok perjalanan masing-masing. Ia mengenang awal mula pada 2010, ketika kunjungan ke panti jompo menyadarkannya bahwa dalam memberi, sesungguhnya diri sendirilah yang dibina. “Hidup bukan tentang memiliki, tetapi memberi,” ucapnya. Menjadi relawan komite baginya bukan tentang status, tetapi komitmen merawat nilai. Kini hatinya lebih tenang dan lapang, dengan tekad mengajak relawan baru berjalan bersama menjaga cahaya kebaikan.
Kisah Panitia dan Peserta
Variaty, ketua pelaksana kegiatan, menjelaskan bahwa rangkaian pelatihan kali ini sengaja dirancang berbeda. Ia ingin peserta tidak hanya mendengar materi, tetapi benar-benar memahaminya melalui praktik langsung. “Kami mencoba agar peserta dapat lebih memahami materi yang disampaikan melalui praktek langsung - latihan makan, berjalan dan berpenampilan di Tzu Chi. Sehingga peserta setelah mengikuti pelatihan ini mendapatkan sesuatu yang baru,” ujarnya.
Ia menyadari bahwa tantangan ke depan adalah menghadirkan materi yang menarik dan tidak membosankan, agar peserta tetap antusias mengikuti setiap sesi dan mampu mempraktikkannya dalam kegiatan sehari-hari.
Wiwiek (kanan) menerima seragam abu putih dengan wajah sumringah, momen sakral yang menegaskan tekadnya untuk terus meniti langkah penuh welas kasih.
Di tengah suasana pelatihan ini, hadir pula Wiwiek, relawan asal Semarang yang hari itu resmi mengenakan seragam abu putih. Ia mengenal Tzu Chi dari menonton DaAi TV. Pada usia 49 tahun, langkah barunya ini terasa sangat berarti.
“Merasa senang dan bangga bisa menjadi salah satu relawan dan keluarga besar di Tzu Chi,” ungkapnya. Setelah berganti seragam, ia meneguhkan tekad: “Sebisa mungkin selalu ikut kegiatan di Tzu Chi.” Bagi Wiwiek, pelatihan hari itu membantu dirinya bercermin dan bertumbuh. “Belajar melatih diri biar lebih baik,” tuturnya.
Youmi bersama empat kakak beradik yang perkenalannya menjadi benang kecil dalam rangkaian kebajikan hari itu.
Kisah perjalanan batin para relawan ini kemudian dilengkapi pengalaman hangat dari Youmi, yang mendampingi empat relawan baru dalam langkah awal mereka. “Empat saudara yang kemarin dilantik sebagai abu-putih berawal dari pertemuan singkat saya dengan Ibu Mety, saat sedang piket di Tzu Chi Hospital. Saat saya makan di kafetaria, Ibu Mety menghampiri saya dan bertanya bagaimana cara menjadi relawan. Setelah bertukar nomor, setiap ada kegiatan saya mengabari, dan ia selalu berusaha ikut.. sering kali sambil mengajak saudara-saudaranya, Yety, Lim Gwek Hoen, dan Rita.”
Yang bermula dari satu sapaan ringan itu kemudian tumbuh menjadi sebuah jalinan jodoh yang kuat. “Hanya dari perjumpaan sebentar, ternyata tumbuh empat Bodhisattva baru yang begitu bersukacita, sampai tak henti menarik saya untuk berfoto bersama di Jing Si. Melihat ketulusan mereka, hati saya sungguh tersentuh dan dipenuhi rasa bahagia,” ungkapnya.
Melalui pelatihan, perjalanan pribadi, penyambutan hangat, hingga pertemuan yang sederhana, tampak jelas bahwa benih kebajikan dapat tumbuh di mana saja, selama ada hati yang mau belajar, mendengar, dan melangkah dengan tulus.
Editor: Khusnul Khotimah