Selalu Berucap Syukur

Jurnalis : Suyanti Samad (He Qi Pusat), Fotografer : Suyanti Samad (He Qi Pusat)
 

foto
Selama rumahnya direnovasi, warga mengosongkan rumah mereka dan pindah ke kontrakan sementara. Relawan datang untuk membantu pindahan barang-barang warga ke kontrakan baru mereka.

Di awal tahun 2013, relawan komunitas Xie Li Pademangan, He Qi Pusat melakukan survey Bebenah Kampung dalam beberapa kali tahapan. Relawan mengalami kesulitan untuk memutuskan kampung warga yang layak untuk dibenah, beberapa kendalanya disebabkan warga tidak ada di tempat saat relawan datang, serta hasil foto survey rumah warga yang diambil oleh relawan hasilnya tidak terlalu jelas.

Program Bebenah Kampung di Pademangan, dimulai sejak tahun 2007 dan telah merenovasi ratusan rumah warga yang kondisinya memprihatinkan. Pada tahun 2013 ini, relawan melakukan survey terhadap 53 rumah, dan 38 rumah disetujui untuk mendapatkan bantuan renovasi rumah ini, dan pihak kontraktor telah selesai menggambarkan 20 sketsa rumah warga.

Merasakan Penderitaan, Selalu Bersyukur
Minggu pagi yang cerah, di pertengahan bulan Desember 2013 tepatnya tanggal 15, saya bersama Sepnawati Shijie dan Yopie Shixiong, yang merupakan Koordinator Program Bebenah Kampung di Pademangan, melaju dalam mobil menuju ke Kantor Kelurahan Pademangan Barat. Sekitar pukul 09.00 wib, kami sudah sampai di Kantor Kelurahan Pademangan Barat. Di sana telah menunggu 3 relawan biru putih yang merupakan warga Pademangan dan 2 tim DAAI TV. Kami saling memberi salam “Selamat Pagi”. Sambil menunggu relawan lain, kami saling bercanda, tertawa dan menanyakan kabar hari ini. Walau Sabtu kemarin saya sudah bertemu dengan mereka pada acara Sosialisasi Relawan bagi Warga Bebenah Kampung tahap kedua, di ITC Mangga Dua Lantai 6, kami selalu menjalin keakraban, walau ada perbedaan agama, ras, dan suku bangsa.

Setengah jam kemudian, Yopie Shixiong mengajak relawan dan tim DAAI TV untuk memulai kunjungan. Kami akan memarkir mobil di sebuah pom bensin dekat kantor kelurahan dan berjalan kaki menuju kampung warga yang akan kita bantu memindahkan peralatan (perabot) rumah tangga. Keceriaan dan canda masih tetap berlansung saat relawan berbaris dua-dua dan berjalan bersama menuju ke rumah warga benah kampung. Ada 9 relawan dan 2 tim DAAI TV yang datang membantu pagi ini.

Rumah pertama yang kami datangi adalah rumah Pak Joko. Gang yang dilalui untuk menuju rumah itu sempit, pendek, becek, permukaannya tidak rata, dan gelap. Relawan harus menunduk, ataupun sedikit jongkok agar bisa masuk ke gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh 1 orang. Sesampai di sana, pintu masih digembok dan kami harus meminta tolong warga memanggil Pak Joko. Saat Pak Joko membuka pintu, saya sangat kaget dan nyaris tidak percaya, rumah yang pendek itu tergenang air kotor setinggi 30 cm lebih, dan bau. Pak Joko langsung masuk ke dalam rumah, bersama relawan mengestafetkan barang yang akan dipindahkan.

“Pak Joko, apa air ini hasil dari hujan tadi malam?” tanya saya. “Biasanya saya membuang air ini pake pipa, dan di dekat pintu saya memakai selang. Kita sekeluarga mandi di sini (sambil menunjuk tempat dia berdiri, di samping kamar mandi), kamar mandi sudah tidak bisa berfungsi. Jadi tiap hari pasti banjir,” ceritanya menjelaskan. Saya berpikir bila ruang sempit terbuka yang penuh air kotor bau ini berfungsi sebagai tempat mandi, sekaligus tempat memasak, sesungguhnya sangat tidak sehat. Pak Joko mengajak saya naik ke lantai atas, ia meminta saya untuk memijak lantai pintu, lalu berpijak ke anak tangga pertama. “Tidak Pak, saya nggak berani, takut jatuh,” tolak saya.

foto   foto

Keterangan :

  • Rumah Pak Joko yang digunakan sebagai kamar mandi darurat, tergenang air. Saat relawan datang, ia membuka pintu dan relawan mulai membantu mengeluarkan barang-barang dari dalam rumah (kiri).
  • Saat relawan datang, Pak Kusnan sedang berkumpul dengan keluarganya. Tinggi rumah pak Kusnan hanya setinggi orang dewasa yang sedang duduk (kanan).

Kemudian kami meninggalkan rumah Pak Joko, menuju ke rumah Sabeni. Di depan rumah Sabeni, sudah tercium bau pesing yang menyengat, dan rumah juga sudah kosong. Bagian depan rumah ini berfungsi sebagai ruang mandi terbuka tanpa pintu.  Dari depan, saya sudah melihat ada kamar di lantai atas rumah itu. Yopie Shixiong meminta relawan untuk naik ke lantai atas, melalui tangga depan samping rumah. Anak tangga dari kayu itu sudah mulai lapuk, berlubang dan tidak terpaku, saya harus cukup berhati-hati mengijak anak tangga. Sesampai di anak tangga terakhir, saya berhenti, bingung harus menginjak apa, di depan mata ada papan yang goyang. Tiba-tiba ada seorang laki-laki menawarkan tangannya. “Ibu pijak papan bagian tengah, dan pegang tangan saya,” ucapnya. Saya segera mengulurkan tangan, dan laki-laki itu menarik tangan saya hingga saya bisa naik ke atas. “Saya mau mengambil foto dan menunjukkan foto ini kepada saudara saya. Selama ini mereka tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka miliki,” cerita Yenny Shijie yang tersentuh melihat kondisi rumah Sabeni.

Beberapa menit kemudian, 3 relawan lain menyusul naik ke atas. Mereka membantu mengestafet barang dari lantai atas kepada relawan yang menunggu di bawah. Saat mau turun, saya berhenti sekali lagi, takut dan bingung harus memijak papan mana. Ibu Sabeni yang menunggu di dekat anak tangga,  mengulurkan tangannya dan menarik tangan saya untuk menuntun. Dengan hati-hati, saya turun anak tangga.

Perjalanan kami masih berlanjut, ke rumah Pak Miroh, Ibu Suhartini, Pak Wikie, juga Ibu Uni. Di rumah-rumah ini relawan membantu mengangkat barang-barang ke luar. Hanya di rumah Pak Bajuri yang sudah terkunci, dan tidak nampak siapa pun.

Saat relawan menuju ke rumah Pak Kusnan, ada 3 relawan lain yang sedang menunggu kedatangan kami. Rumah Pak Kusnan memiliki penerangan yang kurang dan tingginya hanya setinggi orang dewasa yang sedang duduk. Ruang sempit itu berfungsi sebagai ruang tidur, istirahat, makan, dan masak. Relawan harus berjalan jongkok agar dapat masuk ke dalam dan membantu memindahkan barang-barang ke rumah kontrakan sementara.             

Rumah terakhir yang dikunjungi adalah rumah Kaswanto Shixiong, yang juga menjadi Ketua Xie Li Pademangan.  Barang-barangnya sudah dirapikan, dan relawan langsung membawa barang-barang tersebut menuju ke kontrakan baru yang tidak jauh dari rumahnya. 

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 13.30 ketika relawan kembali ke Kantor Kelurahan Pademangan Barat dengan berjalan kaki. Kemudian semuanya menikmati makan siang bersama. Sambil makan, relawan masih bercanda, tertawa, dan tak menujukkan rasa capek. Sebab dalam hati, mereka dapat merasakan bahwa “Bersyukurlah kepada orang yang menerima bantuan kita, karena mereka memberikan kesempatan baik bagi tercapainya pembinaan rasa cinta kasih kita.”

  
 

Artikel Terkait

Banjir Jakarta: Membina Welas Asih Di Tengah Derita

Banjir Jakarta: Membina Welas Asih Di Tengah Derita

20 Januari 2013
Di tengah penderitaan besar membina rasa welas asih. Pada saat banyak sesama yang menderita, banyak orang yang terketuk untuk mengulurkan tangan, melahirkan Bodhisatwa dunia.
Perayaan Waisak di Sekolah Putra Bangsa Berbudi

Perayaan Waisak di Sekolah Putra Bangsa Berbudi

09 Juni 2023

Komunitas relawan Tzu Chi di He Qi Jati Hu Ai Titi Kuning Medan mengadakan Doa Bersama dalam rangka Perayaan Waisak di Sekolah Putra Bangsa Berbudi. 

Sembako untuk Warga Jagabita

Sembako untuk Warga Jagabita

22 Juni 2018
Pembagian paket sembako untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri masih terus dilakukan. Kali ini, relawan membagikan paket tersebut kepada warga Desa Jagabita, Parung panjang, Bogor pada Minggu, 10 Juni 2018.
Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -