Semangat Hidup yang Terus Membara

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Agus Yatim (He Qi Utara)
 

fotoKegiatan sosial mampu memberikan kepuasan batin bagi Sujono (memakai topi). Meski hidup pas-pasan, ia tetap bersemangat untuk bersumbangsih pada lingkungan.

 

Lelaki paruh baya itu bertubuh tinggi, berpostur tegap dengan balutan kulit berwarna gelap. Tulang pipi yang tinggi dan mata yang dalam, mengekspresikan wajah yang keras namun terkesan ramah. Kata-katanya penuh semangat, seperti semangatnya saat menyusuri setiap sudut pasar guna mengumpulkan sampah-sampah organik. Meski kini penglihatannya menurun karena rabun, dengan antusias ia tetap menjinjing karung lalu mengisinya dengan dedaunan layu sisa penjualan di pasar. Setelah penuh, sampah-sampah organik itu kemudian ia serahkan ke depo komposcing— yang dikelola Tzu Chi dan warga Pademangan Barat, Jakarta Utara.

 

 

 

Semasa Kecil
Dari sebuah keluarga petani sederhana, Sujono lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara di kampung Bangun Gali, Tegal pada Juli 1951. Surya Sujono adalah nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya dengan harapan kelak ia menjadi lelaki yang “cerah” laksana surya. Tetapi belum genap tiga tahun, kedua orangtuanya meninggal dunia. “Orangtua saya meninggal ketika saya masih kecil,” katanya mengenang.

Sepeninggalan mereka, Sujono diasuh oleh kakak perempuannya yang tertua. Mulailah ia mengisi kehidupannya tanpa belaian dan kasih sayang orangtua. Kendati demikian, Sujono tetap menikmati masa kecilnya secara wajar, tumbuh dan bermain. Ketika memasuki usia sekolah, kakaknya mendaftarkan Sujono ke sekolah rakyat di kampungnya. Lokasinya di bawah pohon bambu. Belajarnya menggunakan sabak, sebuah batu lempeng tipis yang diberi bingkai dan sebilah kapur sebagai penanya. Di sekolah ini setiap murid harus memiliki ingatan yang tajam karena apa yang disampaikan oleh guru tidak bisa dimuat dalam catatan. “Menulis lalu dihapus. Itu saja cara belajarnya,” kata Sujono.

Waktu terus bergulir. Saat berusia 9 tahun, kakak pertamanya kembali meminta Sujono untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Berhubung ia bermukim di Mangga Besar, Jakarta Barat, yang mayoritas dihuni oleh etnis Tionghoa, Sujono mulai mencoba hidup mandiri dengan berjualan koran berbahasa Mandarin. Usahanya yang gigih membuat ia memiliki banyak pelanggan. Pendapatannya dalam sehari ia gunakan sepenuhnya untuk kebutuhan hidup. Berapa pun rezeki yang ia peroleh akan ia habiskan pada hari itu juga. “Dulu belum ada tabungan, dapat hari ini ya habis hari ini. Sekali pun ada juga dibagikan ke teman-teman,” jelasnya. Dari berjualan koran ini pula Sujono kemudian sempat mengikuti pendidikan sekolah Tionghoa di Pah Cung, Mangga Besar. “Yang yin ni ren (orang Indonesia -red) cuma saya satu-satunya. Lainnya zhong guo ren (orang Tionghoa -red),” ujarnya. Namun karena alasan mencari nafkah, pendidikannya terpaksa terhenti di sekolah dasar.

Datangnya penyakit
Kembali mencari nafkah berarti kembali menggeluti hidup. Kegigihan akhirnya mengantarkan Sujono untuk memiliki usaha sendiri— di bidang bengkel las ketok dan jual beli mobil bekas. Pada tahun 1970, Sujono menikah dengan Muhkliha. Usaha yang berkembang dan kehidupan rumah tangga yang baik membuat kehidupan Sujono penuh dengan kebahagiaan. Semua berjalan dengan lancar sampai komplikasi penyakit liver, lambung, dan cedera pinggang yang datang secara tiba-tiba pada tahun 1978 membuat Sujono terpaksa meninggalkan pekerjaannya dan menjalani pengobatan bertahun-tahun yang tak kunjung sembuh.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit harta yang ia miliki terjual demi kebutuhan sehari-hari, biaya pengobatan, dan biaya sekolah kelima anaknya. Tidak memiliki pekerjaan tetap ditambah pengeluaran yang tak kenal kompromi membuat kehidupan Sujono harus berakhir pada kemiskinan. “Karena tidak memiliki pengolahan yang baik, belakangan hidup kita jadi morat-marit. Selama berpuluh-puluh tahun saya hidup dalam kesusahan seperti ini,” katanya mengingat. Setelah semua harta berharga yang ia miliki habis, baru pada tahun 1996 komplikasi penyakitnya mulai membaik. Derita seolah tak mau berpisah dengannya, pada Juni 1998 istrinya meninggal karena serangan jantung. Peristiwa ini sangat memukul perasaan Sujono yang tengah dilanda kesulitan. “Dia meninggal tiba-tiba. Tidak disangka-sangka. Justru disangkanya saya yang lebih dulu meninggal,” katanya lirih.

foto  foto

Ket : - Sejak pukul 5.30 pagi Sujono sudah meninggalkan rumah untuk mengambil sampah-sampah organik di             pasar. Ia berangkat lebih awal agar tidak kehabisan sampah organik yang juga biasa dicari para peternak             kambing. (kiri).
         - Tidak semua sampah organik bisa dijadikan bahan baku komposcing. Daun pisang, kulit jagung, kulit jeruk,             dan buah nanas adalah organik yang tidak bisa dijadikan komposcing. Karenanya Sujono                memilahnya sedari awal. (kanan)

Di tengah keterpurukan itu, semangat hidup Sujono kembali bangkit. Kali ini ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya. Kemiskinan dan kehilangan orang yang dicintai tidak boleh membuatnya menyerahkan pada kepasrahan. Ia berusaha sebisa mungkin mencari nafkah dengan bekerja serabutan walau penghasilannya sangat seadanya. “Nasib tidak boleh mengendorkan semangat kita untuk hidup. Kita harus hidup, maka saya mencari makan untuk hidup,” terangnya. Kegusaran hatinya ia gantikan dengan semangat membantu kegiatan sosial di lingkungannya. Melalui kepengurusan di RW 12 Pademangan Barat, Sujono mengkonsentrasikan perhatiannya pada masalah kebersihan lingkungan. Sebagai daerah pemukiman yang padat penduduk, Pademangan memiliki permasalahan yang tak pelak untuk dihindari, itu tak lain adalah sampah. Maka selama 3 periode menjabat sebagai pengurus RW, Sujono berusaha keras untuk menertibkan kebersihan di lingkungannya. Meski berbagai usaha terus dilakukan, jumlah sampah yang menggunung tetap saja menjadi permasalahan lingkungan yang tak pernah tuntas untuk diatasi.

Hal itu terus terjadi sampai sekitar tahun 2005 Sujono berkenalan dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia melalui pembagian sembako untuk warga Pademangan. Saat itu, Sujono berperan sebagai ketua kelompok di dalam komunitasnya. Pada pembagian beras selanjutnya, ia tetap berperan menjadi relawan sekaligus penerima bantuan.  “Jauh sebelum bedah rumah dan terlepas dari bedah rumah saya sudah mengenal Tzu Chi dan sudah membantu setiap Tzu Chi mengadakan kegiatan di Pademangan,” akunya.

Dari banyaknya kegiatan Tzu Chi yang terkonsentrasi di Pademangan setahap demi setahap Sujono mengenal Tzu Chi lebih baik. dan keinginan untuk bergabung sebagai relawan Tzu Chi pun terbesit dalam benaknya. Keterbatasan biaya untuk membeli seragam relawan tidak membuat Sujono merasa kehilangan identitas sebagai relawan. “(Saya) ini relawan. Cuma bajunya saja yang belum ada, sejak dulu saya sudah ikut kegiatan Tzu Chi, dan sudah merasa sebagai relawan,” katanya.

Bedah Rumah
Waktu terus bergulir kejenuhan pun mulai muncul dibenak Sujono. Jenuh menghadapi kesulitan yang tak kunjung reda, dan keinginan beristirahat untuk melepaskan semua kepenatan yang ada di pundaknya. “Wajar kalau manusia memiliki kejenuhan,” kata Agus Yatim relawan Tzu Chi. kemudian ia lanjut berkata “Dalam salah satu Hadis, Allah berfirman: Suatu saat umatmu akan menemui kejenuhan. Hanya Akulah yang tidak jenuh. Jadi sesungguhnya manusia ini punya titik jenuh,” jelas Agus. Dengan hadirnya kejenuhan dan menyerahkan diri pada Yang Maha Kuasa niscaya manusia akan memperoleh kembali kekuatannya entah dalam bentuk yang lain. Demikian pula yang dialami Sujono. Ketika kejenuhan itu hadir, Tzu Chi kembali datang dalam wujud pemberian bantuan bedah rumah. Tempat tinggal Sujono yang dinilai tak layak huni memenuhi syarat untuk dibangun menjadi lebih baik pada awal tahun 2009.

foto  foto

Ket : - Sudah dua bulan ini Sujono memasok sampah organik setiap harinya ke Depo Komposcing. Produktivitas              penggilingan kompos di depo pun kini mulai lancar kembali. (kiri).
          - Agus Yatim mengagumi Sujono sebagai sosok pria yang tegar dalam menghadapi himpitan hidup. Menurut              Agus, sebagian kecil kisah hidup Sujono memiliki kemiripan dengannya, penuh dengan perjuangan             dan duka. (kanan)

Sejak saat itu, bagai sebuah letupan bunga api, semangat Sujono kembali bangkit dalam melihat kehidupan yang penuh pergolakan. Seiring pembangunan posko komposcing pada Mei 2009 di Pademangan, Sujono yang bertugas sebagai seksi kebersihan di RW 12 dan sekitar pasar Pademangan menawarkan bantuan untuk menyediakan sampah organik untuk bahan baku kompos. Namun niat baik itu sempat bertepuk sebelah tangan. “Bukannya menolak bantuan pak Sujono. Tapi sekarang kita sedang fokus untuk melatih kepedulian warga dan tukang sampah terlebih dahulu. Kalau biasanya tukang sampah memilah untuk dijual, tetapi sekarang kita melatih mereka untuk berderma,” ujar Agus Yatim. Tetapi dalam kenyataanya memang tidak mudah bagi para ibu rumah tangga untuk memilah sampahnya, terlebih lagi para petugas sampah. Alhasil sampah yang tertampung di posko tetap dalam bentuk sampah rumah tangga yang belum terpilah. Pekerjaan di posko pun semakin bertambah dan produktivitas pengolahan kompos menjadi terhambat.

Tiba-tiba di bulan September 2009 Sujono kembali mendatangi Agus Yastim di depo komposcing. Kemunculannya tetap seperti niatnya semula – menawarkan diri menyediakan bahan baku kompos. Saat itu, depo memang sedang kekurangan ketersediaan bahan baku dan sedang ada rencana penambahan jumlah cacing, maka dengan senang hati Agus Yatim menerima niat baik Sujono. Sejak itu mulailah Sujono aktif membantu misi pelestarian lingkungan Tzu Chi. Sejak pukul 05.30 pagi, ia mengumpulkan sampah-sampah organik di sekitar pasar. Dalam sehari Sujono sedikitnya mampu menyerahkan tiga karung sampah yang siap diolah.

Satu hal yang membuatnya berbeda dari warga lain yang menyerahkan sampah organic adalah setiap sampah yang diserahkan oleh Sujono selalu sudah bersih dari sampah non organik dan organik yang tak baik untuk kompos. Kulit jagung, kulit jeruk, daun pisang, dan buah nanas merupakan sampah organik yang tidak bisa diolah menjadi kompos. Menurutnya kulit jagung dan daun pisang tidak bisa dikompos lantaran sifat senyawanya yang tidak terurai dengan baik. Sedangkan kulit jeruk dan nanas memiliki kandungan minyak serta asam yang tinggi, sehingga tidak baik untuk cacing. “Sampah dari pak Sujono memang benar-benar sudah dipilah. Sudah steril dari sampah non organik. Sangat membantu sekali,” ungkap Agus Yatim.

Sejak kahadiran Sujono, Agus Yatim menilai Sujono sebagai sosok orangtua yang gigih dalam menghadapi cobaan hidup dan bersumbangsih terhadap lingkungan. “Sejak dulu saya mengenal pak Sujono. Ia pernah sukses. Ketika jatuh sakit yang tahunan, jatuh juga usahanya tetapi ia tidak malu di masyarakat untuk mengerjakan pekerjaan ini (memilah sampah). Suatu jiwa yang membaja,” pujinya. Sujono pun berharap selagi masih memiliki tenaga yang prima ia akan tetap memberikan sumbangsihnya kepada Tzu Chi karena ia memahami betul aktivitas Tzu Chi selama ini. Itulah yang membuatnya sangat antusias bergabung menjadi relawan Tzu Chi.  “Selagi (saya) memiliki potensi mengapa tidak membantu, maka apa saja setiap ada kesempatan saya akan bantu demi kebaikan dan kemanfaatan,” katanya yakin. Dari usahanya ini ia berharap jumlah sampah yang ada di sekitar lingkungannya dapat berkurang dan kini sedikit demi sedikit terbukti karena sampah di sekitar pasar Pademangan sudah terlihat lebih rapi.

 
 

Artikel Terkait

Pemberkahan Akhir Tahun: Sebuah Acara Lintas Agama

Pemberkahan Akhir Tahun: Sebuah Acara Lintas Agama

13 Januari 2014 Dalam sharing itu para warga mengungkapkan bahwa mereka tak sekadar menerima bantuan, tapi lebih dari itu mereka juga diajarkan tentang kasih sayang lintas batas, berbuat untuk sesama, dan budaya humanis.
Semua Orang Bisa Melakukan Kebajikan

Semua Orang Bisa Melakukan Kebajikan

14 Juni 2013 Demi memberikan bantuan secara efisien, selain membutuhkan dana dari para donatur, jumlah relawan yang berpartisipasi dalam kegiatan Tzu Chi juga merupakan faktor penting. 
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -