Semangat untuk Bekerja Kembali

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

* Patra dan istrinya, Supiyah tersenyum bahagia setelah operasi hernia yang dijalani Patra berhasil dengan baik. Kini Patra bisa bekerja kembali setelah hampir 3 bulan menganggur di rumah akibat hernia yang dideritanya.

“Dokter, perawat dan relawannya baik-baik. Saya kagum, pelayanannya sangat baik, menyembuhkan dan menghormati saya yang kondisinya miskin seperti ini.” (Patra, pasien penderita hernia dari Pamekasan, Madura)

Entah apa yang dibicarakan ketiganya, Patra (36), Supiyah (28) dan Fitriyah (4), tapi yang pasti senyum mereka tak pernah berhenti mengembang sepanjang sore itu.

Patra yang terbaring lemah di ruang pemulihan pasien hernia, tampak senang dan bahagia karena dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya (istri dan anak) dengan setia menemani dan menghibur dirinya. “Senang aja, suami sudah sehat,” kata Supiyah haru. Sementara, Fitriyah tampak lekat duduk di samping ayahnya. Bocah ini seolah tahu bahwa ayahnya nanti sudah bisa bekerja mencari nafkah kembali.

Tidak Bisa Mencari Nafkah
Sebenarnya, sudah 2 tahun silam, Patra menderita hernia. Namun, rasa sakit itu ia tahan sambil tetap bekerja sebagai tukang bangunan demi menghidupi keluarga. “Sebenarnya dokter dah bilang nggak boleh ngangkat yang berat-berat, tapi mau gimana lagi?” kata Patra pasrah. Bahkan, dokter di rumah sakit Pamekasan, Madura sudah mewanti-wantinya untuk segera dioperasi. Tetapi, peringatan itu lagi-lagi diabaikan. Bukannya Patra ‘bandel’ dan tak mau mengikuti nasehat dokter, tapi kemiskinan membuatnya tak berdaya menghadapi penyakitnya.

Semakin lama didiamkan, penyakit hernia Patra makin parah. Akhirnya, pada Maret 2008, Patra tak lagi kuat menanggung rasa sakitnya. Ia tidak bisa lagi bekerja dan terpaksa ‘menyerah’ dan beristirahat di rumah, sambil sesekali mencoba tetap mencari nafkah lain dengan bergabung bersama teman-temannya mencari ikan teri (ikan-ikan kecil). “Prinsip saya, saya harus tetap bekerja dalam kondisi apapun,” tegas Patra. Jika menghadapi kendala, tugas yang mengharuskannya mengangkat beban yang berat-berat, Patra akan meminta pertolongan temannya. “Sebenarnya sih takut juga, ada teman yang berpenyakit sama (hernia), pas kambuh saat kerja, akhirnya meninggal dunia,” kata Patra lirih. “Kalau sedang kumat, sakitnya bukan main,” sambungnya.

Bagi pekerja keras seperti Patra, kemungkinan terkena ‘hernia’ sangat besar. Maklum saja, pekerjaan sebagai tukang bangunan sangat mengandalkan kekuatan fisik dan otot-ototnya. Balok-balok kayu yang besar, pasir, batu kali dan bata, serta semen terkadang harus ia angkat dan panggul sendirian. “Habis mau kerja apalagi, saya cuma lulusan sekolah dasar,” kilahnya. Sebagai guru ngaji, orangtua Patra memang terbilang sangat sederhana. “Bahkan seragam sekolah saya saja dibelikan oleh guru,” terang bungsu dari 3 bersaudara ini. Meski demikian, Patra tidak menyalahkan ‘keadaan’ (orangtua), ia justru menyesali dirinya yang tidak berusaha bersekolah dengan fasilitas gratis, kejar Paket A. Akibatnya, Patra pun tak bisa lagi mencari pekerjaan yang lebih baik dan hanya mengandalkan kekuatan fisik (tukang bangunan) dan sedikit keterampilan mencari ikan di laut.

foto   foto

Ket : - Supiyah (istri), keponakan Patra, dan Fitriyah (anak) dengan setia menemani Patra yang terbaring di ruang
            pemulihan pascaoperasi hernia dalam baksos kesehatan Tzu Chi ke-48. (kiri)
         - Meski tak ditemani anggota keluarga, para pasien ini tak pernah kesepian, karena bagi mereka relawan
            Tzu Chi adalah bagian dari anggota keluarga mereka. Dengan tulus relawan Tzu Chi melayani kebutuhan
            para pasien di RS Bhayangkara Polda Jatim.(kanan)

Tidak seperti kebiasaan masyarakat Madura yang suka merantau, Patra lebih memilih hidup di kota kelahirannya, Pamekasan. Paling jauh, ia bekerja di kota lain di wilayah Madura, yakni Bawean. “Kalo di Bawean upahnya lebih besar daripada di desa saya,” kata Patra. Selisih penghasilan itu memang terbilang cukup lumayan. Jika seorang tukang bangunan di desa-desa Pamekasan hanya dihargai Rp 30.000/hari, maka di Bawean, upahnya bisa mencapai Rp 75.000. “Tapi sering juga nggak ada kerja bangunan, jadi nyari ikan,” terang Patra. Ikan yang dimaksud bukanlah ikan-ikan besar laiknya nelayan lain, tetapi ikan-ikan kecil (teri). “Paling dapat 5 sampai 10.000 sehari, tapi kalau lagi banyak tangkapan bisa lebih,” ujarnya. Jika melaut, sejak pukul 4 dinihari, Patra sudah berangkat dan pulangnya selepas pukul 13.00 WIB. “Yah lumayanlah, daripada nggak ada penghasilan sama sekali,” tegasnya. Cita-citanya hanya satu, selain bisa menghidupi keluarga, ia ingin bisa menyekolahkan Fitriyah anaknya sampai ke jenjang yang tinggi. “Paling tidak lulus SMA,” harapnya. Namun dengan penyakit yang menderanya, Patra pun khawatir tak bisa mewujudkan impian itu.

Tak Lagi Jauh Panggang dari Api
Tapi, kini tampaknya cita-cita itu tak lagi ‘jauh panggang dari api’. Sabtu, 17 Mei 2008, Yayasan Buddha Tzu Chi bekerja sama dengan RS Bhayangkara Polda Jatim mengadakan kegiatan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-48 dalam rangka menyambut Hari Waisak 2552 dan HUT Bhayangkara ke-62. Patra termasuk salah satu dari 708 pasien—hernia, bibir sumbing, katarak, dan bedah minor—yang berhasil ditangani, selain 1.500 pasien pengobatan umum lainnya. Setelah sempat menginap seharian di Asrama Haji Surabaya, akhirnya upaya Patra dan keluarganya untuk memperoleh kesembuhan pun menuai hasil. Operasinya berjalan lancar, tanpa kendala apapun.

foto   foto

Ket : - Dengan penuh kesabaran dan welas asih, relawan Tzu Chi menghibur dan menenangkan pasien anak yang
            menangis setelah menjalani operasi bedah minor di dekat telinganya. (kiri)
         - Tidak hanya mengobati fisik, perhatian yang tulus dari relawan Tzu Chi juga sanggup member kesan
            tersendiri di hati setiap pasien dalam Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-48 di Surabaya. (kanan)

Di ruang pemulihan pasien—koridor yang disulap menjadi ruang rawat inap—inilah, Patra, Supiyah dan putri mereka bisa merasakan kebahagiaan yang tak terkira. “Kalau operasi sendiri, mana saya mampu,” kata Patra seraya tersenyum. Senyum yang tulus dan memiliki harapan, karena tak lama kemudian, anak dan istrinya pun ikut tersenyum menyambut pulihnya nahkoda keluarga mereka. Meski dirawat di tempat yang sederhana, tapi Patra merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Ini karena sikap para dokter, perawat, dan relawan Tzu Chi yang dengan ramah dan tulus melayaninya. “Dokter, perawat dan relawannya baik-baik. Saya kagum, pelayanannya sangat baik, menyembuhkan dan menghormati saya yang kondisinya miskin seperti ini,” katanya. Ketika apa yang didapat melebihi apa yang diharapkan, tentu ini akan menjadi berkah tersendiri dan berkesan di hati setiap orang. “Terima kasih, kalau sudah pulih, saya mau cari kerja lagi. Cari uang untuk biaya anak saya ini,” kata Patra sambil menunjuk Fitriya yang tetap setia menemaninya.

 

Artikel Terkait

Dimulai dari Diri Sendiri

Dimulai dari Diri Sendiri

06 April 2011 Minggu, 27 Maret 2011, para muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching) turut berkarya dalam misi pelestarian lingkungan dengan melakukan pemilahan sampah daur ulang di Posko Daur Ulang Tzu Chi Kelapa Gading Jakarta Utara.
Melatih Kesabaran dengan Hati Bersyukur

Melatih Kesabaran dengan Hati Bersyukur

22 November 2012 Sabar. Kata itu kembali muncul dalam benak. Entah sampai kapan Turimma harus bersabar. Dan ia pun tidak tahu, apakah kesabarannya itu akan membuahkan kesembuhan yang ia nantikan. Yang terpenting adalah, harapan tidak boleh hilang, dan kita hendaknya menjalani semuanya dengan hati bersyukur.
Aku, Kamu, dan Kita Adalah Berkah

Aku, Kamu, dan Kita Adalah Berkah

11 September 2014 Saya bertekad untuk terus menghargai orang tua saya, papa, mama, meskipun saya masih sering berbuat salah kepada mereka, meskipun saya sering dimarahi oleh mereka, tapi tiada sedetikpun saya akan lupa untuk menyayangi mereka, saya sayang papa, mama sampai angka 13 di temukan di jarum jam.
Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -